ICW: Pansus Hak Angket KPK Cacat Hukum

31 Mei 2017 16:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tama S Langkun dan Donal Fariz (Foto: Diah Harni/kumparan)
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai, pembentukan panitia angket KPK oleh DPR memiliki banyak persoalan.
ADVERTISEMENT
"Dari awal pengesahan hak angket ini sudah cacat hukum. Fahri Hamzah berlaku tidak demokratis dan tidak sesuai prosedur," jelas Donal kepada wartawan, di sekretariat ICW, Jalan Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (31/5)
Menurut dia, palu paripurna diketuk di tengah teriakan interupsi anggota DPR yang tidak setuju terhadap penggunaan hak angket DPR. Anggota DPR, kata dia, tidak diberikan waktu sebagaimana mestinya untuk menyampaikan pandangannya.
"Akibatnya, terdapat anggota dari tiga fraksi (Gerindra, PKB, dan Demokrat) yang melakukan aksi walk out," tambahnya.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menambahkan, daftar nama panitia angket yang diumumkan secara resmi oleh Wakil Ketua DPR, tidak terdiri dari semua unsur fraksi DPR. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 201 UU No 17 Tahun 2014 MD3.
ADVERTISEMENT
"Pasal tersebut menjelaskan bahwa keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Upaya angket ini dari berbagai macam sisi tidak sah secara hukum," tegas Tama.
Selain itu, Donal mengatakan, materi penyelidikan dalam hak angket DPR memuat poin-poin yang dapat mengintervensi proses penanganan kasus korupsi e-KTP. Pasalnya, wacana penggunaan hak angket ini berawal dari Komisi III DPR yang mendesak KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani.
"Sulit dibantah bahwa upaya angket adalah intervensi dalam proses hukum. Tujuan angket sesungguhnya mengganggu informasi yang sifatnya rahasia dan tidak boleh dibuka oleh publik," urai Donal.
Materi penyelidikan dalam hak angket tersebut, kata dia, juga memuat poin yang bertentangan dengan Pasal 17 huruf a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penyidikan suatu tindak pidana, tergolong pada informasi yang dikecualikan.
ADVERTISEMENT
"Sedangkan dalam penggunaan hak angket, panitia angket akan memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan dan dokumen yang diminta panitia angket. Padahal, angket DPR terhadap KPK ini memuat poin yang bersinggungan dengan penanganan kasus e-KTP," tuturnya.
Pembentukan panitia angket ini, kata Donal, juga sarat akan konflik kepentingan. Masinton Pasaribu, misalnya, anggota panitia yang berasal dari fraksi PDIP, merupakan pihak yang dalam kesaksian Novel Baswedan di persidangan tanggal 30 Maret, disebut sebagai salah satu pihak yang menekan saksi Miryam S. Haryani untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang.
Terakhir, pembentukan panitia angket berpotensi menimbulkan kerugian negara. "Karena mekanismenya cacat hukum sejak awal, maka biaya untuk berjalannya hak angket dianggap sebagai potensi kerugian negara," tegas Donal.
ADVERTISEMENT
Laporan reporter kumparan Diah Harni