Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Kemiskinan Ekstrem Sulit Diatasi?
1 Maret 2024 19:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Orang miskin ekstrem menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk makanan. Akan tetapi, makanan yang mereka makan seringkali belum mencukupi kebutuhan nutrisinya. Kalaupun bekerja, pekerjaan mereka biasanya memiliki upah sangat rendah. Pekerjaan mereka juga serabutan dan musiman, sehingga tidak dapat diandalkan.
ADVERTISEMENT
Saat bekerja, mereka harus menahan perut yang separuh kosong dan kadang-kadang harus melewatkan waktu makan karena belum cukup uang untuk membeli. Malnutrisi pun berdampak pada morbiditas dan kesehatan yang buruk. Inilah kenyataan sehari-hari bagi orang miskin ekstrem.
Kemudian, kesehatan ibu yang buruk dan kurang gizi menyebabkan lahirnya bayi-bayi yang kurang gizi, yang memulai hidup mereka dengan kekurangan fisik maupun psikologis. Bahkan, jika anak-anak mereka mampu bersekolah, cenderung akan tertinggal dalam pelajaran, dan akhirnya putus sekolah.
Anak-anak ini pun tumbuh dan bergabung dengan barisan pekerja tidak terampil, tidak memiliki aset, tanpa pendidikan dasar, sehingga jauh lebih mungkin untuk terus terperangkap dalam kemiskinan ekstrem ketika mereka dewasa dan membentuk keluarga.
Banyak rumah tangga miskin ekstrem ini dipimpin oleh perempuan, yang telah ditinggalkan atau ditinggalkan suaminya. Terkadang, rumah tangga ini terdiri dari janda, anak perempuan dan anak-anak mereka yang masih memerlukan perawatan. Hal ini menciptakan struktur demografis yang sangat rentan.
ADVERTISEMENT
Orang miskin ekstrem cenderung memiliki aset sosial dan ekonomi yang terbatas. Mereka pun sering luput dari bantuan keuangan mikro. Orang miskin ekstrem tidak memiliki tanah atau tempat tinggal. Sebagian besar barang yang dimiliki biasanya dikumpulkan atau diperoleh secara gratis (pemberian orang atau mengumpulkan barang bekas).
Jika beruntung, mereka bisa tinggal di tanah para pelindung mereka, seperti kerabat atau pelindung yang relatif lebih sejahtera. Hal ini membuat eksistensi mereka sangat terikat pada struktur patronase. Mereka pun antara ada dan tiada karena dianggap sebagai sub-rumah tangga dari pelindung mereka.
Orang miskin ekstrem lainnya cenderung tinggal di daerah yang lebih miskin, yang membuatnya berada dalam perangkap kemiskinan spasial. Daerah-daerah seperti itu memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah karena hambatan teknologi dan/atau infrastruktur. Secara politis, daerah-daerah seperti itu juga cenderung terpinggirkan, gagal untuk memobilisasi dukungan politik yang diperlukan. Akibatnya, investasi yang tepat dan berskala besar sulit masuk ke daerah-daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Mengingat keparahan dan deprivasi yang dialami oleh orang miskin ekstrem dalam kehidupan sehari-hari mereka, biaya mengorganisasi mereka pun juga menjadi tantangan besar. Keuangan mikro, yang sering dianggap menjadi titik masuk yang populer dan efektif untuk mengorganisir orang miskin, bukanlah sesuatu yang bisa segera dimanfaatkan oleh orang miskin ekstrem. Menambah beban utang dan tanggung jawab pada orang miskin, seringkali justru membuat mereka makin sulit keluar dari kemiskinan.
Di banyak negara, pendekatan dominan untuk pengurangan kemiskinan ekstrem biasanya melalui bantuan sosial (Bansos) pangan (food aid) atau sembako, yang meskipun penting, hanya memberikan keamanan pangan jangka pendek. Biasanya mereka juga menerima Jamsos berupa bantuan iuran asuransi kesehatan (PBI JKN - dalam konteks Indonesia). Program-program ini biasanya memiliki batas waktu dan setelah berakhir, situasi kesejahteraan orang-orang yang menerimanya tidak banyak berubah.
ADVERTISEMENT
Alternatif jalan keluar?
Pertanyaannya, apakah mungkin untuk menyusun skema intervensi (Bansos) sehingga mereka yang miskin ekstrem dapat memperbaiki nasib mereka? Naik statusnya secara bertahap dari miskin ekstrem, miskin, hampir miskin (rentan) hingga keluar dari kemiskinan (kelompok menengah). Perlu waktu berapa lama dan berapa generasi rumah tangga miskin ekstrem bisa mencapai itu?
Membuat argumen untuk program khusus bagi orang miskin ekstrem adalah hal yang menantang. Mungkinkah kombinasi antara pemberian uang tunai (Unconditional Basic Income (UBI)) dan makanan bisa menjadi solusi yang cukup?
Sekilas, pendekatan yang efektif bagi orang miskin ekstrem tampaknya tidak bisa tunggal dengan memberikan bantuan pangan. Ia perlu titik masuk yang beragam, mengingat kompleksitas simpul yang mereka jebak di dalamnya. Apakah mungkin Bansos pangan, tunai, sembako, keuangan mikro hingga pelatihan keterampilan (pemberdayaan) diberikan sekaligus?
ADVERTISEMENT
Sejauh ini kita belum melihat ada data ‘tunggal' dan 'real time’ untuk memantau mereka. Angka kemiskinan ekstrem diproduksi oleh BPS melalui Susenas yang dirilis setiap bulan Maret dan September. Data Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) digunakan oleh Kemenko PMK dan 25 K/L lainnya untuk menyalurkan Bansos masing-masing, termasuk CPP. BKKBN juga memiliki basis Pendataan Keluarga (PK) yang juga memotret tingkat kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi keluarga di Indonesia.
Sementara itu, Kemensos masih menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai acuan. Bappenas memiliki data Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) untuk simulasi integrasi Bansos dan Jamsos.
Dengan beragamnya sumber data kemiskinan di atas, tentu diskusi kita perlu diputar kembali bukan pada bentuk skema dan intervensi Bansos atau Jamsos yang dibutuhkan. Tetapi memastikan dulu apakah negara bisa dan mampu memantau siapa, di mana, dan bagaimana kondisi penduduk miskin ekstrem di Indonesia ini secara tepat dan akurat?
ADVERTISEMENT