Polemik Data, Harga dan Ketersediaan Beras

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
26 Februari 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai sumber makanan pokok, beras menjadi komoditas yang sangat vital. Sekitar 98,35% rakyat Indonesia mengkonsumsi beras (BPS, 2022). Per September 2023, rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia mencapai 6,81 kg/bulan. Masyarakat perkotaan mengonsumsi 6,37 kg/bulan, sedangkan masyarakat pedesaan 7,41 kg/bulan.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan yang sangat tinggi pada beras ini tentu saja menimbulkan banyak masalah. Terlebih ketika populasi kita terus bertambah. Disisi lain, lahan sawah semakin menyempit akibat dari alih fungsi lahan yang massif.
Menurut data Kementan, laju alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian sudah mencapai angka sekitar 102.000 ha/tahun. Pada tahun 2022, luas lahan sawah di Indonesia tinggal tersisa 9,88 juta ha, rekor terendah sejak tahun 2014. Ditambah dengan masalah cuaca ekstrim (El Nino yang menyebabkan pergeseran masa tanam), usia petani yang semakin menua (55 tahun), hingga harga pupuk yang semakin mahal, menyebabkan produktivitas dan produksi beras dalam negeri terancam terus menurun. Ini adalah sebagian persoalan di hulu.
Sementara itu, di hilir, kita juga mengalami masalah seperti matinya penggilingan-penggilingan padi skala kecil dan besar. Penggilingan padi ini memiliki peran penting sebagai tempat penyimpanan gabah dan beras sebagai penunjang ketahanan pangan nasional.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dalam periode tahun 2012-2020 saja, jumlah usaha penggilingan padi nasional mengalami penurunan dari 182.199 unit menjadi 169.789 unit, atau turun 6,81%. Dalam periode yang sama, usaha penggilingan padi skala besar menurun sebesar 49,11%, dari 2.075 unit usaha menjadi 1.056 unit (BPS, 2021).
Akibatnya, muncul ketidakpastian stok beras, baik dari produksi dalam negeri maupun impor dari luar negeri, serta penurunan produksi secara keseluruhan yang disebabkan oleh kombinasi permasalahan hulu dan hilir.
Tren Kenaikan harga Beras
Meskipun demikian, Kementerian Pertanian masih menganggap stok beras cukup dan bahkan surplus. Data total produksi beras Januari-Desember 2023 tercatat 30,83 juta ton. Ditambah total beras impor Bulog 2,9 juta ton, maka stok akhir tahun diperkirakan 33,73 juta ton. Dengan kebutuhan setahun 30,84 juta ton, berarti akhir tahun masih akan ada surplus 2,89 juta ton.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, data ini seperti bertolak belakang dengan situasi di lapangan yang menunjukkan kelangkaan dan kenaikan harga beras.
Bahkan, tren kenaikan harga beras ini sudah terjadi sejak tahun 2022. Kenaikan harga yang cukup signifikan terjadi pada September 2022, Februari 2023 dan Oktober 2023. Kenaikan harga ini terjadi baik untuk beras premium, medium maupun luar kualitas. Data BPS menunjukkan harga di September 2022 untuk beras premium di tingkat penggilingan rata-rata adalah Rp. 10,252/kg, lalu di bulan Februari 2023 menjadi Rp. 11,818/kg, dan melonjak lagi di bulan Oktober 2023 menjadi Rp. 13.371/kg.
Harga beras hingga Januari 2024 cenderung tetap tinggi di kisaran Rp. 13.662/kg. Ini adalah harga di tingkat penggilingan, tentu saja di tingkat grosir dan konsumen akan lebih tinggi harganya, bisa menyentuh Rp. 15.000/kg bahkan terkini hingga Rp. 18.000/kg, tertinggi sepanjang sejarah. Hal serupa juga terjadi di Thailand. Di waktu yang sama, harga beras di Vietnam cenderung stabil. Menurut FAO, pada Januari 2024 indeks harga beras global naik 1,2% (mtm).
Gambar 1. Tren rata-rata harga beras bulanan di tingkat penggilingan. Sumber: BPS (2022-2024)
Harga ini berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Badan Pangan Nasional No 7/2023. HET beras yang berlaku sejak Maret 2023 adalah Rp. 10.900/kg medium dan Rp 13.900/kg untuk premium di wilayah Jawa, Lampung, dan Sumsel. HET yang sama juga untuk wilayah Bali dan NTB. Lalu untuk wilayah Sumatera selain Lampung dan Sumsel, HET dipatok sebesar Rp 11.500/kg untuk beras medium dan Rp 14.400/kg untuk beras premium.
ADVERTISEMENT
Beras, Inflasi dan Kemiskinan
Tingginya tingkat konsumsi beras menjadikan komoditas ini sebagai pendorong inflasi y-to-y maupun m-to-m. Beras juga menjadi penyumbang angka kemiskinan, mengingat 50,32% pengeluaran warga miskin Indonesia dihabiskan untuk makanan, yang bagian pokoknya adalah beras. BPS dan Bank Indonesia (BI) melaporkan, komoditas beras masih mengalami inflasi sebesar 0,64% (m-to-m) dengan andil inflasi sebesar 0,03% pada Januari 2024. Hal itu menyebabkan komponen inflasi volatile food (komponen bergejolak) meningkat menjadi 7,22%.
Meskipun sebagian pihak meyakini bahwa kenaikan harga beras tidak berpengaruh pada angka kemiskinan, namun sesungguhnya dua hal ini sangatlah terkait.
Beras memiliki arti penting bagi mayoritas warga berpendapatan rendah. Setiap kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, utamanya beras, maka akan menambah jumlah dan porsi pengeluaran mereka. Hingga saat ini, beras masih menjadi pengeluaran terbesar bagi penduduk miskin.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ketika pengeluaran meningkat tapi pendapatan tetap atau tidak bertambah, maka beban ekonomi rumah tangga miskin tersebut akan semakin berat. Terlebih jika kenaikan harga merembet kepada barang kebutuhan pokok lainnya.
Pemerintah pun mengambil langkah dengan mengadakan operasi pasar dan pasar murah di berbagai daerah. Harapan dari operasi pasar ini adalah warga dapat mengakses beras dengan harga yang lebih murah. Kita melihat antrian warga berdesak-desakkan untuk mengantri beras murah di berbagai tempat.
Gambar 2. Warga antri beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di Kantor Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (20/2/2024). Sumber: Jawa Pos
Wajah kemiskinan dan keputusasaan warga ini tentu bukan potret yang baik. Miris melihat bagaimana sebuah negara yang dulu pernah swasembada beras, pernah mendapat julukan negara agraris, dan menjadi eksportir beras dunia, kini bahkan kewalahan menyediakan sumber pangan pokok untuk warganya sendiri.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi beralasan kenaikan harga ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara lain. Bahkan, bagi-bagi Bansos beras 10 Kg dianggap sebagai sebagai kebijakan yang 'membanggakan' karena hanya ada di Indonesia dan tidak dilakukan oleh negara lain. Pertanyaannya adalah, berapa lama operasi beras murah ini dapat dijalankan? apakah operasi pasar mampu menstabilkan harga atau hanya menekan agar tidak naik sementara waktu?
Siapa yang bisa menjamin perubahan iklim dan pergeseran musim tanam akan kembali normal? bagaimana jika justru semakin tidak menentu? Jika produksi dalam negeri tidak meningkat dan negara-negara produsen beras lainnya melarang ekspor (restriksi), dari mana kita akan mampu mencukupi kebutuhan pokok beras ini? Apakah Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate (lumbung pangan) yang dianggap sebagai solusi sudah mampu menunjukkan hasilnya? atau justru menambah daftar masalah baru berupa pemborosan anggaran dan deforestasi yang ugal-ugalan?
ADVERTISEMENT
Jika solusinya adalah diversifikasi dan kembali ke pangan lokal, sudah sejauh mana Negara dan kita semua melawan ketergantungan pada beras ini secara serius?