Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Tantangan Pengembangan Jaminan Pensiun di Asia Tenggara
14 Januari 2025 10:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pensiun, sebagai penopang kesejahteraan di usia senja, masih menjadi barang mewah, khususnya bagi penduduk di kawasan Asia Tenggara. Kawasan ini, yang mencakup negara-negara dengan populasi besar dan muda seperti Indonesia, hingga yang mulai menua seperti Thailand, menghadapi tekanan demografi akibat penuaan populasi yang berlangsung cepat.
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan dari Manulife Investment Management & the Sau Po Centre on Ageing at the University of Hong Kong tentang lanskap pensiun di Asia, menunjukkan bagaimana negara-negara di kawasan ini harus memutar otak untuk menghadapi tantangan besar ini.
Perbandingan Sistem Pensiun
Asia Tenggara memiliki tingkat keragaman sangat tinggi dari sisi demografi. Negara seperti Indonesia dengan populasi yang sangat besar, memiliki sekitar 11,75% penduduk Lansia (BPS, 2024). Diperkirakan pada tahun 2045, jumlah lansia ini diproyeksikan akan meningkat menjadi menjadi 14,61 persen tahun 2045 .
Ketimpangan ini mencerminkan tingkat kesiapan sistem pensiun yang juga beragam. Malaysia, contohnya, pernah dikenal sebagai salah satu Negara dengan tingkat penggantian pensiun (replacement rate) tertinggi di dunia. Namun, dampak pandemi COVID-19 telah menimbulkan masalah karena melahirkan gelombang penarikan dana pensiun lebih awal. Akibatnya, cadangan dana pensiun tertekan dan mendorong kebutuhan untuk memperpanjang usia kerja.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Indonesia, dengan cakupan pensiun yang terbatas, masih harus berjuang dengan tingkat kepesertaan yang masih rendah. Sistem berbasis kontribusi murni (fully funded defined contribution system) sering kali gagal menjamin kecukupan finansial lansia yang bekerja di sektor dengan penghasilan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi sistem berbasis kontribusi dan manfaat (PAYG defined benefit system) perlu diterapkan (Ahmad dkk, 2022 ). Program Jaminan Sosial Nasional pun akhirnya menghadapi tantangan dalam memberikan manfaat yang memadai bagi semua pekerja, terutama sektor informal yang justru mendominasi ekonomi.
Dari tabel/gambar di atas terlihat bahwa Indonesia memiliki tingkat cakupan pensiun terendah di kawasan, terutama karena besarnya sektor informal yang sulit dijangkau oleh sistem formal. Sementara itu, Malaysia memiliki sistem yang kuat melalui EPF (Employee Provident Fund) , tetapi keandalan jangka panjang terganggu akibat kebijakan penarikan dana selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Thailand dan Vietnam menghadapi tekanan demografi dengan penuaan populasi yang cepat, sementara tingkat literasi keuangan dan asuransi masih menjadi tantangan. Singapura telah mengembangkan sistem pensiun yang relatif stabil dengan CPF, tetapi menghadapi isu kesenjangan kontribusi antar kelompok pekerja. Filipina memiliki cakupan moderat, tetapi akses untuk pekerja informal dan pendanaan jangka panjang juga masih menjadi kendala besar.
Strategi dan Skema Alternatif
Di Hong Kong, sistem pensiun didukung oleh kombinasi kontribusi individu dan jaminan sosial negara, meskipun tekanan dari populasi yang menua menjadi tantangan besar. Pemerintah telah meluncurkan program-program seperti Old Age Living Allowance untuk mengurangi kemiskinan di kalangan lanjut usia. Namun, bahkan di tengah subsidi yang luas, kesenjangan dalam persiapan pensiun tetap nyata, dengan banyak warga yang khawatir akan kekurangan dana di masa pensiun.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Taiwan memiliki Long-Term Care Plan 2.0 yang berfokus pada perawatan berbasis komunitas dan subsidi bagi warga lanjut usia, yang dimulai sejak usia 50 tahun. Upaya ini memperlihatkan pentingnya investasi dalam perawatan jangka panjang untuk mendukung masyarakat yang semakin menua.
Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia masih sangat bergantung pada dukungan keluarga dan komunitas. Di Indonesia, jumlah peserta JP per akhir November 2024 baru 14,8 juta pekerja . Sementara itu, kepesertaan jaminan hari tua (JHT) sebanyak 18,32 juta orang, jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) sebesar 28,35 juta pekerja. Padahal, di Indonesia ini ada 142,18 juta orang yang tercatat bekerja (BPS, Februari 2024 ). Artinya, ada lebih dari 100 juta jiwa pekerja yang tidak memiliki tabungan pensiun.
ADVERTISEMENT
Sementara itu di Malaysia, meskipun tingkat penggantian pensiunnya tinggi, tren usia pensiun yang relatif rendah, ternyata juga menciptakan tekanan pada cadangan dana pensiun nasionalnya. Untuk Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, menaikkan usia pensiun, meningkatkan partisipasi angkatan kerja, dan meningkatkan produktivitas pajak menjadi prioritas dalam reformasi sistem pensiun. Namun, kebijakan seperti menaikkan usia pensiun sering menghadapi resistensi politik, terutama dari generasi muda yang merasa kesempatan mereka untuk promosi tertunda
Perbedaan skema dan strategi di Asia Tenggara ini memberikan pembelajaran yang sangat penting. Thailand dan Taiwan, dengan fokus pada sistem perawatan kesehatan dan pensiun universal, menunjukkan bagaimana intervensi pemerintah yang komprehensif dapat meningkatkan kualitas hidup para lansia. Sebaliknya, pengalaman Malaysia dan Indonesia menunjukkan masih pentingnya mendorong kesadaran finansial individu untuk memperkuat tabungan pensiun secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Namun, ada kesamaan mendasar: hampir semua negara menghadapi tantangan struktural dalam menciptakan sistem pensiun yang berkelanjutan.
Dengan populasi yang menua secara cepat, tidak ada negara yang dapat bergantung sepenuhnya pada sistem pensiun tradisional. Kebutuhan untuk memperluas jangkauan program, meningkatkan kontribusi sukarela, dan menciptakan skema tabungan yang inovatif menjadi semakin mendesak.
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa langkah dapat diambil. Pertama, reformasi kebijakan harus menjadi prioritas, termasuk menaikkan usia pensiun secara bertahap dan memperluas kepesertaan secara lebih masif. Kedua, inovasi teknologi dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran dan literasi keuangan atau pensiun.
Secara budaya, masyarakat di Asia cenderung memprioritaskan kebutuhan keluarga di atas kebutuhan mereka sendiri. Namun kini mulai muncul pergesaran yang disebut konsep “neo-keluarga”. Berbeda dengan individualisme Barat, “neo-keluarga” menekankan bahwa individu dan keluarga adalah hal yang sama pentingnya.
Ketiga, penting untuk memadukan peran pemerintah, pasar, komunitas dan keluarga dalam menyediakan jaminan pensiun. Sebab, sebagian besar sistem pensiun di kawasan ini, sependek ini hanya berfungsi sebagai “aksesori,” sehingga banyak lansia tetap bergantung pada dukungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, negara-negara dengan tingkat kepesertaan rendah, seperti Indonesia, harus belajar dari pendekatan universal seperti di Hong Kong atau Taiwan.
ADVERTISEMENT
Keempat, perlu implementasi konsep "active ageing" sebagai solusi jangka panjang untuk mengurangi beban biaya kesehatan lansia dan meningkatkan produktivitas mereka. Pendekatan ini menekankan pentingnya memastikan lansia tetap sehat dan aktif secara sosial maupun ekonomi.
Di tengah tantangan demografi yang berat tersebut, Asia Tenggara tetap memiliki peluang untuk melahirkan terobosan dan inovasi sistem pensiun. Tentu saja diperlukan kolaborasi regional dan pembelajaran lintas batas yang lebih intensif, agar kawasan ini dapat mengembangkan model pensiun yang tidak hanya tangguh, tetapi juga lebih inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan.