Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ada Upaya Pembodohan Masyarakat Mengenai Peran Organisasi Profesi Kedokteran
23 Juli 2023 10:11 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terkait dengan UU Kesehatan yang baru saja disahkan, kitab isa melihat secara kasat mata adanya upaya besar kementerian kesehatan (Kemenkes) untuk mendegradasi peran organisasi profesi (OP) kesehatan, menjadikan OP yang hanya memiliki fungsi sebagai sebuah serikat pekerja yang hanya perlu memikirkan kesejahteraan anggotanya saja.
ADVERTISEMENT
Selain melalui pasal-pasal dalam batang tubuh UU Kesehatan, upaya ini antara lain juga melalui pelbagai narasi sesat seorang menkes, misal narasi perbedaan kasta antara dokter dan perawat dan narasi OP melakukan pemerasan terselubung.
Kalau saja narasi yang bersifat menuduh dari pejabat publik tersebut benar, mestinya harus diikuti upaya hukum untuk membuktikan kebenarannya.
Tuduhan lain Menkes kepada IDI bahkan jelas sampai menyebut angka uang 430 M terkait pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR), dan uang lebih dari 1 T terkait pengurusan Satuan Kredit Profesi (SKP) dokter (video TikTok @drtonysetiobudi).
Seorang Menkes tentu tidak buta hukum, serta memiliki cukup sumber daya untuk melaporkan semua tuduhan yang diucapkan di depan publik kepada aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya upaya hukum yang menindak lanjuti tuduhan kepada OP tersebut, maka muncul anggapan bahwa tuduhan pejabat publik tersebutlah yang tidak didasari atas bukti yang cukup, alias asal bunyi yang dalam bahasa kekinian bisa dibilang sebagai hoaks.
Narasi lain juga banyak dimunculkan terkait upaya mendegradasi pengertian dan peran OP. Seperti yang disampaikan berulang-ulang dalam banyak forum oleh seorang staf khusus Menkes. Stafsus Menkes tersebut, yang meski bergelar dokter tapi dia bukan seorang praktisi/profesi medis, tentu saja tidak pernah mengurus STR dan Surat Izin Praktik (SIP), dan jelas tidak mengenal apalagi mempraktikkan etika profesi seperti yang tertuang dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Asumsi saya, Menkes dan para petinggi Kemenkes tidak bisa atau sulit untuk memahami apa itu kesejawatan dan apa itu etika profesi. Makna kesejawatan atau kolegialitas tidak mungkin dan tidak mudah dipahami oleh mereka yang tidak pernah menjalani praktik dokter sekalipun dia bergelar professor, atau seorang menteri, seorang bankir, atau presiden sekalipun.
ADVERTISEMENT
Tanpa kesejawatan dan etika profesi seorang dokter sama dengan seorang pedagang/ pebisnis yang bisa membuka usaha di mana pun seizin penguasa guna mencari keuntungan semata.
British Medical Council (BMC) sering dijadikan rujukan dalam upaya degradasi peran OP para dokter dan nakes, tetapi dengan informasi yang parsial dan tendensius.
Benar bahwa selain berperan sebagai sebuah OP, BMC juga berfungsi sebagai sebuah “ormas” (Trade Union atau serikat pekerja) di sana, yang memperjuangkan tarfp layanan misalnya. Yang pasti, tidak satu pun OP di dunia ini yang hanya berperan sebagai sebuah serikat pekerja/ormas yang khusus hanya memperjuangkan kesejahteraan anggotanya.
IDI adalah bagian dari World Medical Association atau WMA yang beranggotakan 115 OP yang masing-masing mewakili setiap negara. Selain sebagai OP tunggal yang mewakili asosiasi dokter di negara masing-masing, salah satu syarat keanggotaan pada WMA adalah independensi OP (tidak berada dalam kooptasi pemerintahan, atau di bawah Lembaga Pemerintah).
ADVERTISEMENT
Tugas pokok dari sebuah OP adalah “Guiding the Profession-Protecting the People”, artinya tanggung jawab terbesar OP adalah menjaga para anggotanya dalam mempraktikkan ilmu kedokteran.
Praktik kedokteran harus berdasarkan kaidah dan landasan sains yang sudah memiliki evidence based, serta dilaksanakan dengan berpedoman pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Semua ketentuan terkait etika profesi ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari praktik dokter yang tidak beretika, yang memanfaatkan ketidaktahuan pasien demi keuntungan materi semata (melakukan operasi pada kasus yang sebenarnya tidak perlu dioperasi, atau meresepkan produk ‘obat’ yang seolah bisa mempercepat kesembuhan, bahkan mempraktikkan tindakan/metoda pengobatan yang masih uji coba, belum berdasarkan EBM, semata hanya berdasarkan testimoni tokoh/pejabat).
Stafsus menkes tersebut, dengan logical fallacy-nya, mencampuradukkan antara kewenangan regulasi pemerintah dengan hak dari organisasi apa pun termasuk OP untuk mengatur dirinya sendiri, sebagaimana setiap rumah tangga punya hak untuk membuat aturan internal rumah tangga tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataannya “Sejak 2004, wewenang penuh pemerintah untuk menerbitkan SIP dan dialihkan sebagian besar ke IDI” adalah sebuah kebohongan besar, karena semua kewenangan tersebut sejak dulu ada di tangan negara, dhi Konsil Kedokteran, untuk STR dan Dinas kesehatan kota/bahwa kabupaten untuk SIP.
Makna regulasi yang jadi kewenangan pemerintah dengan hak OP untuk meregulasi dirinya adalah dua hal yang tidak sama. Dalam OP apa pun termasuk OP Arsitek, Akuntan, Notaris, Psikolog, apalagi OP Kesehatan, masing-masing punya aturan terkait keanggotaan, sertifikasi kompetensi/ profesi, dan aturan tentang kode etik profesi (menjabarkan nilai-nilai moral, apa yang benar dan tidak benar).
Para anggota OP ini sadar bahwa ikatan moral dan kepercayaan masyarakat kepada dokter, misalnya, harus dijaga baik sehingga mereka rela diatur oleh kode etik yang isinya tidak mungkin dibuat atau diambil alih oleh pemerintah. Jadi IDI pun sebagai sebuah OP punya kewenangan untuk membuat dan memiliki regulasi terkait profesi.
ADVERTISEMENT
Kewenangan OP seperti di atas tentu tidak ada dalam sebuah serikat pekerja. Sebuah serikat pekerja lebih diatur oleh peraturan perusahaan, dan punya kewenangan membuat perjanjian kerja maupun penyelesaian perselisihan perburuhan, dan memperjuangkan kesejahteraan para pekerja.
Memperjuangkan kesejahteraan anggota adalah tugas utama sebuah serikat pekerja tapi bukan jadi fungsi utama atau tugas pokok sebuah OP.
Kewenangan yang dimiliki OP untuk meregulasi dirinya sendiri ini bisa berangkat dari kesadaran nilai-nilai luhur profesi akan tanggungjawab dan ikatan moral untuk melindungi masyarakat, bisa juga karena tugas/ mandat yang diberikan undang-undang kepada profesi (sebagaimana diatur dalam UU 29-2004).
Hanya di negara-negara otoriter seperi di Kuba, China, dan Korea Utara sajalah semua kewenangan profesi untuk meregulasi profesinya diambil alih oleh pemerintah. Dan sayangnya arah ada UU Kesehatan Indonesia ini sepertinya menuju ke sana.
ADVERTISEMENT
Menkes bahkan akan membentuk majelis khusus untuk menjaga menjaga Kodeki. Ini adalah sebuah logical fallacy lain dari seorang menkes yang tidak tahu perbedaan antara Etika Profesi dan Disiplin Profesi (terlihat jelas pada dialog menkes dengan Rosiana Silalahi pada acara Rosi-Kompas TV-15 Juni 2023).
Disiplin Profesi adalah ketentuan berupa pedoman tata laksana pelayanan medis, yang biasanya tersusun dalam bentuk standar pelayanan yang spesifik untuk setiap jenis penyakit. Sedangkan Etika Profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah dalam pelaksanaan profesi, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral.
“Menurut saya, kita sedang susun nih, ada bagusnya meniru Dewan Pers. Jadi masuknya perkara pidana ke sini juga sebelum dia masuk ke ranah hukum. Yang penting kredibilitasnya perlu dijaga,” ucap Menkes. Pedoman terkait etika profesi hanya bisa disusun oleh anggota profesi itu sendiri, bukan oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Artinya, orang lain di luar profesi medis tidak akan pernah tahu apakah keputusan yang diambil dokter masih sesuai atau sudah menyimpang dari etika profesi. Etika dan moral dokter itu dijaga dengan sumpah Hippocrates, bukan oleh Menteri atau presiden.
Tugas menkes adalah menjaga moralnya sendiri dan moral pegawai kemenkes supaya jangan korupsi dan jangan bikin hoaks, kan pernah ada 2 menkes yang masuk penjara karena korupsi,” demikian ucap prof Djohansyah Marzoeki, Guru Besar dari Universitas Airlangga dalam sebuah unggahannya.