Tragedi Kapal Feri Sewol, Sebuah Pengingat untuk Tidak Lalai

Zikra Mulia Irawati
Mahasiswi Jurnalistik dan editor di pers mahasiswa GEMA Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
16 April 2021 18:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zikra Mulia Irawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simbol pita kuning yang identik dengan peringatan tragedi Kapal Feri Sewol.
zoom-in-whitePerbesar
Simbol pita kuning yang identik dengan peringatan tragedi Kapal Feri Sewol.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tenggelamnya Kapal Feri Sewol pada 16 April 2014 tak hanya meninggalkan kesedihan, tetapi juga kekecewaan di hati masyarakat. Penyebabnya adalah proses evakuasi penumpang yang buruk dan orang-orang yang lalai akan tanggung jawab profesinya.
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi bermakna bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Profesi memunculkan sebuah otoritas. Berdasarkan eksperimen Milgram, otoritas itu membuat orang yang memiliki profesi lebih dipatuhi oleh orang lain.

Evakuasi buruk dan kapten yang menelantarkan Kapal Feri Sewol

Sayangnya, kepatuhan tersebut justru membuat Tragedi Kapal Feri Sewol menjadi lebih buruk. Saat kapal makin miring, penumpang tidak segera dievakuasi. Petugas justru memerintahkan penumpang untuk diam di tempat. Akibatnya, hanya 172 orang selamat, sementara 304 orang lainnya tewas.
"Jangan bergerak dari posisi Anda sekarang," bunyi pengumuman yang terekam di video yang diambil salah satu pelajar.
Video berjudul "What happened inside Sewol ferry 2014.04.16" itu dapat disaksikan di YouTube.
ADVERTISEMENT
Pengumuman itu terdengar berkali-kali. Di pengumuman lain, terdengar bahwa kapal penyelamat segera datang di saat kemiringan kapal kian parah. Pelajar yang merekam video itu bertanya-tanya apakah bantuan itu dapat menyelamatkan 300 orang lebih yang ada di kapal ini.
Cerita buruknya proses evakuasi itu juga dibagikan oleh seorang penyintas bernama Jang Ae Jin. Pada sebuah wawancara di kanal YouTube Korea Now, ia bercerita tentang bagaimana ia keluar dari kapal tersebut.
"Kami sedang berada di ruangan yang luas. Di sana ada banyak kabinet (lemari) untuk menyekat ruangannya. Namun, kami mendengar seseorang berteriak dari kejauhan. Tiba-tiba kabinet berjatuhan. Jika bukan karena itu, kami tidak akan pernah berhasil keluar," ujarnya.
Ia dan teman-temannya lalu berjalan menyusuri lorong. Karena keadaan kapal yang terlalu miring, ia harus berjalan di dinding. Setibanya di luar, ia mengaku tak ada seorang pun di sana untuk menyelamatkannya. Saat itu, jaraknya dengan laut hanya satu langkah.
ADVERTISEMENT
"Kami sangat ketakutan, jadi kami hanya diam. Lalu, air laut tiba-tiba menyerbu kapal. Saya berpegangan pada sesuatu dan bertahan. Namun, sepertinya banyak teman yang terbawa (arus air). Saat itu, saya sadar bahwa saya harus segera pergi dari sana. Orang-orang di luar kemudian menarik saya. Begitulah saya lolos dari kapal," tuturnya.
Tak hanya itu, kekecewaan kian terasa kala nakhoda yang bertanggung jawab atas kapal itu, Kapten Lee Jun Seok, justru diselamatkan terlebih dahulu. Ia terekam lolos dari kapal sekitar pukul 09.47 waktu setempat. Walaupun keluar hidup-hidup, ia akhirnya dipenjara seumur hidup karena telah menelantarkan kapal. Sementara itu, awak kapal lainnya mendapatkan hukuman penjara yang lebih ringan.

Reporter melanggar aturan liputan

Selain petugas kapal, para reporter juga menuai kekecewaan publik. Masih dari cerita Jang Ae Jin, ia menyaksikan berita bahwa penumpang lain di kapal telah diselamatkan. Namun, beberapa waktu kemudian, ia menemukan bahwa kabar sebelumnya tidak benar.
ADVERTISEMENT
Sebelum itu, ia juga merasa sikap reporter sedikit kasar karena langsung mengarahkan kamera kepadanya yang baru sampai di daratan. Hal tersebut masih terjadi bahkan saat ia dan para penyintas lain berkumpul di Gimnasium Jindo.
"Semua temanku menangis, tetapi para reporter tetap merekam mereka. Mereka juga mencoba untuk mewawancarai. Teman-temanku mencoba untuk tenang pada kekacauan ini. Saya sangat geram melihatnya."
Surat kabar Dong-A Ilbo (dilansir dari Wall Street Journal) mengatakan dalam tajuknya bahwa banyak wartawan yang melanggar aturan liputan bencana yang dibuat oleh Asosiasi Jurnalis Korea saat meliput tenggelamnya Kapal Sewol. Jika dianalisis, pelanggaran itu antara lain liputan yang salah, provokatif, tidak dilakukan pengecekan ulang terhadap bahan berita, serta pengambilan gambar tanpa izin.
ADVERTISEMENT
"Reaksi awal terhadap bencana inilah yang menjadi masalah," simpul Jang.
Ia menilai, jika saja pengumuman dibuat lebih cepat, harapan penumpang yang selamat akan lebih besar.
"Kita seharusnya tidak pernah melupakan tragedi ini. Jika kita melupakannya, situasi seperti ini bisa saja terjadi lagi," pesannya.
Pengalaman adalah guru yang berharga. Manusia dapat menjadi lebih baik dengan belajar dari masa lalu. Melalui peringatan tragedi Kapal Feri Sewol, harapan-harapan terpanjat agar kejadian nahas maupun kelalaian serupa tidak terjadi lagi.
Kapal Sewol yang telah diangkat Foto: Yonhap via AP