Konten dari Pengguna

Langkah Ujian Nasional menuju Evaluasi Pendidikan Inklusif dan Holistik

Zilmi Haridhi
Seorang paralegal dan peneliti hukum di Edi Yunara, S.H & Associates Law Firm
24 Januari 2025 15:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelaksanaan Ujian Nasional di Jayapura. Foto: Indrayadi TH/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Pelaksanaan Ujian Nasional di Jayapura. Foto: Indrayadi TH/Antara
ADVERTISEMENT
Ujian Nasional (UN) sejak tahun 1950-an telah menjadi unsur penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Dengan berbagai nama dan format, UN dirancang untuk menstandardisasi mutu pendidikan nasional. Namun, pelaksanaannya kerap menuai kritik karena menimbulkan tekanan psikologis pada siswa dan kurang mencerminkan kemampuan siswa secara menyeluruh. Selain itu, disparitas kualitas pendidikan di berbagai wilayah Indonesia sering kali memengaruhi hasil UN sehingga memunculkan isu ketidakadilan (Fajri, 2025).
ADVERTISEMENT
Pada 2021, UN digantikan oleh Asesmen Nasional (AN) yang menitikberatkan pada literasi, numerasi, serta survei karakter dan lingkungan belajar. Pergantian ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada siswa dan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang mutu pendidikan di Indonesia. Meski demikian, AN juga memiliki keterbatasan, seperti hanya menggunakan sampel siswa sehingga hasilnya dinilai belum cukup representatif untuk seluruh populasi (Aranditio, 2025; Nugroho & Yudi, 2024).
Wacana pengembalian UN muncul kembali di penghujung tahun 2024. Pada Taklimat Media Akhir Tahun 2024, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa sistem evaluasi pendidikan akan dirancang dengan format baru yang lebih relevan dan adaptif (Yudi, 2024). Hal ini menimbulkan beragam respons, baik dukungan maupun kekhawatiran dari berbagai kalangan. Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi sejarah, kritik, dan potensi transformasi UN menjadi sistem evaluasi pendidikan yang lebih inklusif, serta memberikan rekomendasi bagi DPR RI dalam mengawal kebijakan ini agar mendukung mutu pendidikan yang merata dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT

Sejarah Ujian Nasional

Sistem evaluasi pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai transformasi yang mencerminkan upaya pemerintah untuk menyesuaikan metode evaluasi dengan kebutuhan zaman. Setiap sistem memiliki keunggulan dan tantangan, mencerminkan dinamika sosial, politik, dan pendidikan yang berubah.
Ujian Penghabisan (1950–1964) merupakan upaya pertama pemerintah untuk menstandardisasi capaian belajar siswa secara nasional. Namun, pendekatan sentralistis ini mengabaikan konteks lokal, mendorong lahirnya Ujian Negara (1965–1971), yang berfokus pada keseragaman mutu pendidikan, tetapi dinilai kurang inklusif (Harian Kompas, 2024; Prayitno et al., 2021).
Pada 1972, Ujian Sekolah memberi kewenangan lebih besar kepada sekolah, memungkinkan penyesuaian dengan kebutuhan lokal. Namun, kurangnya standar nasional menyebabkan kesenjangan kualitas pendidikan yang mencolok antarwilayah. Kesadaran akan pentingnya standar nasional membawa perubahan dengan hadirnya Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebta) (1980–2002), yang memisahkan evaluasi mata pelajaran nasional dan lokal. Meski lebih mendetail, manipulasi nilai demi citra sekolah mengurangi validitas hasil evaluasi (Harian Kompas, 2024; Prayitno et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Tahun 2003, UN diperkenalkan dengan tujuan menetapkan standar kelulusan nasional. Namun, fokusnya pada aspek kognitif menimbulkan tekanan psikologis dan ketidakadilan bagi siswa di daerah terpencil (Fajri, 2025). Kritik terhadap UN akhirnya membawa perubahan pada 2021 dengan digantikannya oleh AN. AN menekankan literasi, numerasi, dan survei karakter, menggunakan pendekatan holistik yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Meskipun demikian, AN menghadapi tantangan, termasuk infrastruktur yang belum merata dan keterbatasan representasi karena hanya menggunakan sampel siswa (Aranditio, 2025; Nugroho & Yudi, 2024).
Transformasi sistem evaluasi ini dipengaruhi oleh kebutuhan menyesuaikan diri dengan standar internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), serta untuk menciptakan sistem pendidikan yang relevan dengan tantangan global. Pemerintah akan tetap berupaya menghadirkan evaluasi yang lebih adil dan inklusif, menilai capaian akademik sekaligus aspek sosial-emosional dan karakter siswa (Sunudyantoro, 2024).
ADVERTISEMENT

Kritik dan Perspektif

Rencana kembali dilaksanakannya UN telah memunculkan berbagai kritik yang mencerminkan tantangan lama dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Salah satu kritik utama adalah tekanan psikologis yang dirasakan oleh siswa, guru, dan orang tua. Sebagai penentu kelulusan, UN kerap memaksa siswa untuk mengikuti bimbingan belajar tambahan demi mencapai hasil optimal. Hal ini tidak hanya meningkatkan beban mental siswa, tetapi juga menambah tekanan ekonomi bagi keluarga, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah (Putra, 2025).
Di samping itu, disparitas fasilitas dan mutu pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan menimbulkan ketidakadilan dalam hasil evaluasi. Siswa dari sekolah dengan fasilitas terbatas sering kali dirugikan dalam sistem yang mengandalkan standar nasional. Sebagai contoh, survei di Kabupaten Garut menunjukkan bahwa hanya sekitar 50% siswa dan guru memahami tujuan AN, yang menggantikan UN pada 2021 (Prayitno et al., 2021). Hal ini mencerminkan tantangan sosialisasi dan implementasi evaluasi pendidikan di wilayah dengan infrastruktur terbatas.
ADVERTISEMENT
Kritik lain yang sering muncul adalah terkait dengan konsep high-stakes testing yang diterapkan dalam UN lama (Harian Kompas, 2024). Ketergantungan pada hasil ujian tidak hanya menentukan kelulusan siswa tetapi juga memengaruhi citra sekolah. Kondisi ini memicu praktik manipulasi nilai untuk menjaga reputasi sekolah sehingga menciptakan lingkungan evaluasi yang tidak sehat dan menjauhkan esensi pendidikan dari pengembangan siswa secara holistik.
Kekurangan UN juga telah menjadi subjek keputusan hukum. Pada 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa pemerintah lalai dalam memenuhi hak pendidikan anak, khususnya bagi siswa yang menjadi korban pelaksanaan UN. Putusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung pada 2009, yang menyerukan pemerintah untuk meninjau ulang sistem UN (Harian Kompas, 2024). Namun, meskipun kritik dan tekanan hukum terus berdatangan, pelaksanaan UN tetap dilanjutkan hingga akhirnya dihapus pada 2021.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, tidak semua pihak sepenuhnya menolak wacana pengembalian UN. Beberapa kalangan, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), menyarankan agar UN kembali diterapkan dengan format baru yang lebih inklusif. Mereka mengusulkan agar UN tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan, melainkan difokuskan pada transformasi pembelajaran yang lebih holistik (Putra, 2025). Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa evaluasi seperti AN perlu diperluas menjadi sistem sensus untuk memberikan potret pendidikan yang lebih adil bagi seluruh siswa di Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa kritik terhadap UN dan AN menunjukkan perlunya reformasi dalam kebijakan evaluasi pendidikan. Sistem evaluasi seharusnya mampu mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan kembali muncul. Pemerintah juga perlu memastikan kesiapan infrastruktur, seperti ketersediaan komputer dan akses internet, untuk mendukung pelaksanaan evaluasi berbasis digital secara merata di seluruh wilayah.
ADVERTISEMENT

Transformasi ke Depan

Pemerintah tengah merancang format baru UN untuk menjawab berbagai kritik yang telah lama muncul terhadap sistem evaluasi pendidikan sebelumnya. Dengan pendekatan baru ini, pemerintah berupaya menciptakan sistem evaluasi yang lebih relevan dan inklusif, serta mampu mendukung pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Salah satu perubahan utama adalah penerapan evaluasi holistik yang tidak hanya menilai kemampuan akademik siswa, tetapi juga aspek non-akademik seperti kreativitas, karakter, dan kemampuan kerja sama. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai potensi siswa, melampaui sekadar angka dalam laporan hasil ujian (Yudi, 2024).
Digitalisasi menjadi pilar utama transformasi. Pemerintah merencanakan adopsi ujian berbasis komputer untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan transparansi. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi masalah klasik seperti kebocoran soal serta menyederhanakan proses administrasi. Namun, pelaksanaan digitalisasi juga menghadapi tantangan signifikan. Di beberapa tempat, seperti Kabupaten Garut, hanya 20 sekolah dasar yang mampu menyelenggarakan AN secara mandiri, sementara 114 sekolah lainnya harus menumpang fasilitas di tempat lain. Bahkan, insiden seperti pencurian perangkat komputer di sejumlah sekolah menunjukkan perlunya pengamanan yang lebih baik untuk memastikan kelancaran pelaksanaan ujian berbasis teknologi (Prayitno et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu terus berupaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi dan perusahaan lokal, untuk mendukung pelaksanaan evaluasi. Kolaborasi tidak hanya membantu mengatasi keterbatasan sumber daya, tetapi juga memastikan bahwa desain sistem evaluasi mencerminkan kebutuhan spesifik daerah. Tujuannya adalah untuk mengurangi disparitas pendidikan antara wilayah maju dan tertinggal sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang setara untuk sukses dalam sistem pendidikan nasional.
ADVERTISEMENT