Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Perut Fandi keroncongan sepulang kerja. Meski dompetnya kosong, ia mampir ke restoran sop buntut di sebuah mal di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Ia tak ragu memesan dua porsi sop buntut. Satu untuk dia, satu untuk temannya. Oh, Fandi sebetulnya tak bawa duit. Tapi itu bukan masalah—asal tak mati listrik. Berbekal aplikasi pembayaran digital di ponselnya, ia membayar sop lezat itu seharga Rp 100 ribu. Ehm, tepatnya Rp 80 ribu karena ia ternyata mendapat cashback senilai Rp 20 ribu dari transaksi via pembayaran digital itu.
“Lumayan. Emang sekarang gue juga udah jarang bawa cash,” kata Fandi. Dan ia bukan satu-satunya orang yang menggunakan uang elektronik berbasis aplikasi untuk alat pembayaran. Pertengahan 2019 ini, menurut Bank Indonesia, pengguna uang digital di Indonesia tumbuh 66,6 persen—angka yang menunjukkan perkembangan pesat industri ini.
Sejumlah pemain besar pun terjun meramaikan industri uang digital. Sebut saja Gojek, OVO, DANA, dan LinkAja. Gojek misalnya serius menggarap pasar ini sekitar 1,5 tahun belakangan melalui anak perusahaannya, GoPay.
GoPay berkembang dari alat pembayaran layanan transportasi online Gojek menjadi “mata uang” dalam aplikasi tersebut. Selanjutnya, ia meluaskan jangkauan dengan menggandeng ribuan merchant sebagai mitra.
Berbekal promo potongan harga serta cashback di ribuan merchant, GoPay menggaet pengguna seperti Fandi untuk menggunakan uang digitalnya. Ia pun punya fitur GoDeals yang menjual ragam voucher potongan harga untuk produk kuliner hingga busana.
Keseriusan Gojek menggarap industri pembayaran digital dimulai tahun 2017 kala ia mengakuisisi tiga perusahaan fintech lokal, yakni Midtrans, Kartuku, dan Mapan. Akuisisi tersebut memuluskan langkah Gojek untuk memperkuat infrastruktur teknologinya sekaligus memperluas jangkauan penetrasi GoPay.
Akhir 2017, GoPay memulai layanan pembayaran offline-nya. Ia menggelar uji coba lewat acara bernama GoFood Festival. Pembayaran di berbagai merchant kuliner pada festival itu menggunakan sarana pemindaian QR code—barcode dua dimensi untuk menyimpan data. Dari situ, GoPay makin berkembang.
Kini GoPay merambah transaksi yang lebih luas seperti pembayaran transportasi publik Trans Semarang, pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), hingga pembayaran asuransi BPJS.
GoPay mengklaim penggunanya bahkan lebih banyak dari pengguna Gojek, namun menolak membeberkan angka sesungguhnya. Menurut Managing Director GoPay Budi Gandasoebrata, Gojek digunakan di 90 kota, sedangkan GoPay sudah digunakan di 120 kota.
Sementara untuk transaksi keseluruhan di aplikasi Gojek, separuh penggunanya membayar dengan GoPay.
“Aplikasi Gojek sudah di-download lebih dari 130 juta. Dari semua transaksi itu, termasuk transport, food delivery, dan lainnya, sekitar 50 persen sudah menggunakan GoPay,” kata Budi kepada kumparan di kantor GoPay di Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (2/7).
Kini, Gojek berencana memperkokoh kehadiran GoPay dengan memecah usahanya dari Gojek. GoPay akan menjadi perusahaan terpisah yang berdiri dengan nama PT Dompet Anak Bangsa.
GoPay tak sendirian menggarap pasar pembayaran digital. Mereka berhadapan dengan OVO, perusahaan yang dikembangkan Visionet milik raksasa bisnis Lippo Group.
Seperti GoPay, OVO berdiri tahun 2017. Berbekal jaringan bisnis usaha yang dikelola Lippo Group, OVO langsung fokus menggarap pasar pembayaran digital untuk retail (perdagangan) di Indonesia. Ia menggebrak dengan promo gila-gilaan hingga pengguna cukup membayar Rp 1 untuk layanan jasa GrabCar, GrabBike, dan di mal-mal yang dikelola grup bisnis Lippo.
Potongan harga memang jadi cara OVO untuk menggaet pengguna. Persis seperti GoPay. Selain itu, OVO memiliki OVO Points yang didulang dari tiap transaksi. Poin-poin itu kemudian bisa ditukar dengan aneka voucher diskon.
Kehadiran OVO semakin luas kala menggandeng perusahaan layanan transportasi online asal Malaysia, Grab, pada 2018. Sejak saat itu, Grab secara resmi menjadikan OVO sebagai “mata uang” transaksi digitalnya.
Tak hanya dengan Grab, OVO juga menggaet Tokopedia dan menjadi alat pembayaran di perusahaan e-commerce itu. Kerja sama dengan Tokopedia dan Grab itu disebut OVO berhasil meningkatkan jumlah penggunanya sebanyak 400 persen sejak kali pertama ia beroperasi.
“Kami ada di 115 juta device karena kita punya open ecosystem dan partnership dengan Grab dan Tokopedia,” kata Director of Enterprise Payment OVO Harianto Gunawan.
Di lini transaksi transportasi online, OVO pun menjadi pesaing utama GoPay. Ia, berdasarkan survei Snapcart pada Mei 2019, bahkan mampu mengungguli GoPay. Tercatat sebanyak 71 persen responden lebih memilih OVO sebagai alat pembayaran transportasi online favorit, mengalahkan GoPay yang dipilih 29 persen responden.
Di samping GoPay dan OVO, ada pula DANA. Aplikasi dompet digital yang saham mayoritasnya dikuasai PT Elang Mahkota Teknologi Tbk atau Emtek itu menebar berbagai promo, seperti beli satu gratis satu untuk pembelian tiket nonton di jaringan bioskop XXI dan diskon 50 persen untuk transaksi di sejumlah gerai makanan dan minuman.
Meski demikian, DANA tak mau dikenal sebagai perusahaan yang sekadar bersandar pada promo besar-besaran untuk menjaring pengguna. Ia mengklaim memiliki keunggulan yang tidak dimiliki aplikasi pembayaran digital lain.
Keunggulan itu, menurut Chief Communication Officer DANA Chrisma Albandjar, ialah kemampuan melayani cash out (pencairan dana) bagi pengguna melalui bank-bank mitranya. Selain itu, pengguna dapat melakukan transaksi walau saldo DANA mereka tak cukup. Caranya dengan memindai QR code kartu debit atau kartu kredit milik pengguna yang sudah terdaftar di akun DANA.
Fitur-fitur itu membuat DANA cukup percaya diri meski ia terhitung pemain baru. “Kalau masalah konsumen mau pakai dompet yang mana, kita beradu user experience. Orang lebih nyaman pakai yang mana,” kata Chrisma.
DANA yang baru diluncurkan Desember 2018 disebut Chrisma telah memiliki 20 juta pengguna, dengan 30 persennya merupakan pengguna aktif. “Jumlah transaksi sekarang mencapai 1,5 juta per hari,” ujarnya.
Tak hanya sektor swasta yang bermain dalam sistem pembayaran digital. BUMN pun tak ketinggalan mengeluarkan aplikasi pembayaran digital pembayaran lewat LinkAja.
LinkAja merupakan pengembangan perusahaan dompet digital milik Telkomsel, yakni T-Cash. Modal awal LinkAja diperkuat dari patungan sejumlah perusahaan BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, Pertamina, Jiwasraya, dan Danareksa.
CEO LinkAja Danu Wicaksono mengatakan, sejumlah perusahaan pelat merah lain akan bergabung pada akhir 2019 untuk memperkuat perusahaannya. “Kita akan mendapatkan beberapa tambahan, yaitu beberapa BUMN besar, termasuk Jasa Marga, KAI, Angkasa Pura, dan lainnya.”
Danu mengatakan, LinkAja akan menyasar segmen masyarakat menengah ke bawah. “Di segmen itu, boro-boro ngomongin F&B (food and beverage). Mereka ya bayar untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Danu.
Oleh sebab itu, LinkAja masuk ke ranah pembayaran sejumlah BUMN seperti transaksi pembayaran pengisian bahan bakar di SPBU Pertamina, MRT, jalan tol, tiket pesawat dan kereta, sampai pembayaran tagihan di perusahaan air Aetra.
Pengguna LinkAja diklaim Danu menyentuh angka 30 juta, dan warga Jabodetabek bukan penyumbang terbesar. “Targetnya masih tinggi. Sampai akhir tahun kurang lebih 40 juta pengguna,” ujar Danu.
LinkAja bahkan menggandeng pesaing mereka, Gojek, untuk memperluas penggunanya. “Dengan bisa diterima ke dalam aplikasi Gojek, artinya nanti pengguna LinkAja itu bisa pakai LinkAja untuk bayar GoFood, GoRide, dan sebagainya,” kata Danu.
Survei Morgan Stanley pada Februari 2019 menunjukkan OVO masih menguasai pasar pembayaran digital sebesar 73 persen, disusul GoPay sebesar 71 persen, LinkAja (saat masih dalam bentuk T-Cash) sebesar 33 persen, dan DANA baru mencapai 1 persen.
Persaingan utama untuk sektor retail, menurut analis ekonomi INDEF Bhima Yudhistira, masih akan dikuasai GoPay, OVO, dan DANA. Sementara LinkAja berpeluang di sektor kebutuhan dasar. “Jadi persaingan di market yang berbeda.”
Cashback jadi senjata tarung di antara penyedia pembayaran digital. Menjelang 17 Agustus ini, misalnya, GoPay menggeber promosi “Semangat Merdeka” dengan memberikan cashback Rp 10.000 untuk setiap transaksi minimal Rp 20.000. Ia juga memiliki program bulanan GoPay Pay Day yang memungkinkan pengguna bertransaksi dengan merchant dan mendapat cashback hingga 60 persen.
Menurut Head of Corporate Communication GoPay Winny Triswandhani, GoPay memberikan cashback guna memberikan pengalaman bagi pengguna agar terbiasa menggunakan sistem pembayaran digital. “Tapi kami harus kasih value di luar promosi, apakah (sistem ini) praktis dan mudah diakses.”
OVO memasang strategi mirip Gojek. Akumulasi OVO Points yang didapat pengguna pada tiap transaksi dapat ditukarkan dengan beragam voucher potongan harga di banyak merchant. Pemberian cashback tersebut, menurut Director of Enterprise Payment OVO Harianto Gunawan, akan terus dievaluasi apakah berpengaruh pada loyalitas pengguna.
Sementara DANA menerapkan potongan harga sekali dalam sepekan untuk setiap transaksi di masing-masing merchant.
Semarak diskon 20 persen, 30 persen, sampai 50 persen alias separuh harga, bertebaran demi mendongkrak pengguna uang digital.
“Memberikan promo itu bukan hal yang haram. Itu bagian dari strategi korporasi, ” kata ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Dan saat ini adalah tahap perebutan pasar oleh para penyedia jasa.
“Yang penting kami sudah hitung cost. Ketutup nih cost modal, cost operasional, dan segala macam. Kan barangnya (DANA) baru delapan bulan (berdiri). Bikin warung juga delapan bulan belum balik modal,” kata Chief Communication Officer DANA Chrisma Albandjar.
Target DANA saat ini bukan meraup keuntungan secara langsung, tapi membangun infrastruktur dan pasar. Sementara target OVO untuk memperkenalkan produk kepada konsumen dan memperluas jaringan dengan merambah berbagai jenis pembayaran
Menurut Bhima, kerugian sama sekali bukan soal bagi layanan pembayaran digital tersebut. “Karena tujuan dari investor itu bukan profitabilitas.”
Persoalan akan jadi berbeda bila adu kuat ini nantinya meninggalkan dua pemain saja. “Di situ masyarakat akan mulai ketagihan, ketergantungan, kecanduan, untuk memakai dua uang digital ini, sehingga dalam jangka panjang akan merugikan konsumen,” kata Bhima.
Promo, termasuk cashback gila-gilaan, bukan turun dari langit begitu saja. Sejumlah perusahaan raksasa berada di belakang untuk menyuplai dana bagi ragam platform pembayaran digital itu.
GoPay yang bernama PT Dompet Anak Bangsa, misalnya, berbagi tumpangan dengan Gojek (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa) yang merupakan startup unicorn . Gojek pada 2017 disuntik dana Rp 16 triliun oleh Google, raksasa digital dari Amerika Serikat.
Selain Google, belasan pemodal lain ikut menanamkan saham di Gojek. Sebut saja Sequoia, Farallon Capital, Warburg Pincus, dan Capital Group Private Markets dari Amerika Serikat; Rakuten Capital dari Jepang; Tencent Holdings, JD.com, Meituan Dianping, dan New World Strategic Investment dari China; Temasek, Northstar Group, dan Hera Capital dari Singapura; serta Astra International dan GDP Venture dari Indonesia.
Sementara OVO dibekingi oleh Lippo Group dan Grab. Di belakang Grab sendiri terdapat sejumlah pemodal seperti SoftBank, OppenheimerFunds, Ping An Capital, Macquarie Capital, dan Lightspeed Venture Partners.
Berikutnya, DANA disokong oleh Emtek yang merupakan konglomerasi media di Indonesia, serta Ant Financial (Alipay) yang berafiliasi dengan Alibaba Group asal China.
Piter Abdullah, pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE), mengatakan persaingan harus berlanjut dengan sehat hingga setiap pemain tumbuh kuat, karena single winner akan membahayakan.