Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rekaman Suara Debt Collector Lecehkan Nasabah Pinjaman Online
12 November 2018 12:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Fatmawati (bukan nama sebenarnya) berusaha keras menahan keinginan untuk menangis. Ia tak pernah membayangkan harus menghadapi cercaan dan pelecehan verbal sedemikian rupa. Entah sudah berapa kali ia disebut “goblok” dan “diminta bugil” oleh orang di seberang saluran telepon selulernya.
ADVERTISEMENT
Fatma ialah nasabah pinjaman online (fintech lending), dan orang yang tengah memaki-makinya di telepon adalah debt collector.
Berikut rekaman pelecehan oleh sang debt collector yang direkam oleh Fatma dan diberikan kepada kumparan (suara disamarkan demi keamanan narasumber).
Jerat pinjaman online telah membuat Fatma mesti berurusan dengan para debt collector yang dengan gila-gilaan menghubungi rekan-rekan kantor dan keluarganya. Ia betul-betul kehilangan muka.
Kepada kumparan, Rabu malam (7/11) di sebuah kafe di daerah Glodok Jakarta Barat, Fatma menceritakan kisahnya.
Bagaimana Fatma bisa terjerat pinjaman online?
Awalnya, pertengahan 2016, saya menggunakan aplikasi ini hanya untuk biaya transportasi. Karena waktu itu saya baru diterima bekerja, jadi kurang etis rasanya kalau saya yang karyawan baru mengajukan kasbon (mengambil lebih dulu sebagian gaji yang akan diterima) ke kantor.
ADVERTISEMENT
Saya masuk ke aplikasi Play Store, saya ketik “pinjam uang cepat”, dan muncul banyak aplikasi. Saya download yang paling atas. Begitu saya download, mereka cuma minta KTP sama foto doang. Dan dalam hitungan menit, mereka langsung verifikasi dan info ke nomor handphone saya yang saya daftarkan.
Mereka bilang sudah mencairkan dana sebesar Rp 500 ribu ke rekening saya, dan begitu saya cek itu benar. Waktu itu tenggang waktu 14 hari. Awalnya saya bisa membayar. Begitu gajian, saya bayar Rp 650 ribu (plus bunga).
Sistem mereka langsung kasih SMS ke saya, menawarkan pinjaman dengan limit lebih tinggi, Rp 800 ribu, dan tenggat waktu tetap 14 hari. Saya kemudian berpikir, sayang kalau tidak ambil tawaran itu. Sebab mudah banget―dan siapa sih orang yang nggak butuh uang.
ADVERTISEMENT
Jadi Fatma ambil?
Akhirnya saya tergiur untuk mengklik lagi tawaran dari mereka. Kemudian Rp 800 ribu masuk lagi ke rekening saya.
Tapi setelah 14 hari, saya merasa mandek. Soalnya (waktu pinjam uang) itu masih awal bulan. Saya mesti pulangin Rp 950 ribu (dengan bunga) dalam tenggat waktu 14 hari.
Sebelum 14 hari, sebenarnya saya sudah mulai kelimpungan, tapi masih merasa aman, karena ada sisa gaji yang kemarin. Dan di hari ke-14 itu, saya bayar. Begitu bayar, mereka menawari lagi dengan limit lebih besar, Rp 1 juta dengan tenggang 30 hari, dikembalikan sebesar Rp 1.250.000.
ADVERTISEMENT
Gaji saya sudah habis untuk bayar yang Rp 800 ribu itu kan, jadi saya kliklah yang tawaran Rp 1 juta ini. Dengan tenggat waktu 30 hari, saya pikir amanlah. Eh pas 30 hari, itu sudah lewat hari gajian, di pertengahan bulan. Otomatis saya mulai pusing. Gaji sudah habis. Saya lalu cari pinjaman Rp 200 ribu-Rp 300 ribu ke teman buat nutupin.
Setelah saya bayar, mereka kasih tawaran lagi, tapi tetap Rp 1 juta, dan harus dikembalikan Rp 1,4 juta, dalam waktu 30 hari. Waktu itu saya nggak pikir panjang karena sudah kadung punya utang sama teman, dan itu juga sudah tanggung bulan, butuh buat biaya transport.
Itu membuat saya terdesak dan klik lagi (mengiyakan) tawaran Rp 1 juta.
ADVERTISEMENT
Seperti ketergantungan, ya?
Iya. Sampai akhirnya (utang plus bunga) Rp 1,4 juta itu dua kali doang bisa saya bayar. Saya lalu buka aplikasi (pinjaman online) yang baru, supaya nggak pinjam uang sama teman (buat nutupi utang online).
Waktu itu saya nggak ngeh aplikasi itu (terdaftar di) OJK atau enggak. Juga nggak ngecek. Waktu itu, seolah-olah aplikasi-aplikasi pinjol itu tahu bahwa saya pernah pinjam, dan banyak SMS dari fintech berdatangan kasih tawaran ke saja. Ada yang kasih limit Rp 500 ribu, Rp 800 ribu, Rp 1 juta. Padahal saya nggak pernah download aplikasi mereka.
Saya pikir, mungkin sistem (di antara mereka) sudah muter. Jadi sekali pinjam di fintech yang ini, semua seperti tahu kalau saya pernah pinjam.
ADVERTISEMENT
Ketika waktu jatuh tempo berdekatan antara keempatnya, saya pusing. Gimana bayar utang di 4 pinjol ini? Selisihnya 1-2 hari, dan saya mesti cari uang Rp 1 jutaan untuk masing-masing pinjol.
Salah satu dari empat aplikasi yang saya gunakan, pada H-2 dari tenggat waktu tiba-tiba nge-blast dengan SMS ke semua kontak yang ada di handphone saya, memberitahukan saya ada utang di aplikasi mereka.
ADVERTISEMENT
Saya kaget, satu kantor tahu saya punya utang di aplikasi fintech. Orang kantor mulai menekan saya untuk beresin ini. Saya malu. Tapi bagaimana lagi, sudah terjadi. Saya juga nggak tahu lagi mau cari duit ke mana lagi. Saya pasrah.
H+1 setelah tanggal jatuh tempo, saya dapat telepon. Debt collector-nya cewek, maki-maki dan telepon ke kantor. Mungkin waktu saya pinjam uang, saya beri izin akses mereka ke semua nomor kontak di handphone saya.
Apa yang terjadi waktu Fatma ditagih?
ADVERTISEMENT
Padahal baru telat satu hari. Saya langsung dapat teguran keras dari manajer. Dia nanya, “Ini kantor ramai gara-gara lu punya utang.” Akhirnya saya mohon-mohon untuk minta kasbon ke kantor buat nutupin utang. Nggak langsung di-acc.
Tiap hari debt collector telepon terus. Orangnya beda-beda. Kadang cewek, kadang cowok.
Saya angkat terus telepon supaya nggak dipecat. Saya mesti jaga itu line telepon. Kalau nggak saya angkat, akan (berdering) terus.
Setelah diangkat, debt collector nyerocos terus, nggak kasih kesempatan ke kami (para nasabah). Lalu mereka ngomong (kata-kata) binatang sampai telepon ditutup, ngomong “Tolol lu,” “Dasar maling, lu!”
Saya pikir, kok ada ya agensi yang mempekerjakan orang kayak gitu.
Tahu dari mana debt collector itu dari agensi?
ADVERTISEMENT
Karena kalau saya tanya dari mana, mereka nggak pernah mau bilang dari aplikasi yang mana. Selalu bilang nama doang. Terus besoknya, yang telepon lain lagi namanya.
Ada teman-teman saya yang polos, kasih akses WhatsApp ke debt collector, terus WA-an. Si debt collector kasih gambar muka orang nelen kotoran manusia, dikirim ke WA nasabah. Ada juga gambar orang kayak dimutilasi, terus debt collector-nya bilang, “Bayar utang lu kalau nggak mau begitu.”
Itu gertakan-gertakan. Tapi walaupun orangnya (nasabah) masih napas, serasa sudah mati.
Keluarga Fatma juga ditelepon debt collector?
Orang tua saya yang jauh ditelepon. Semua jadi tahu. Parah banget, padahal waktu itu baru telat dua hari. Saya depresi. Takut kerja, takut keluar rumah, takut ngapa-ngapain. Malu.
ADVERTISEMENT
Sampai lewat sekitar sebulan 11 hari―waktu itu saking takut, saya delete aplikasi pinjolnya―ketika saya dapat telepon (dari debt collector). Cowok. Nadanya nggak tinggi, tapi kayak orang ngeledek.
Dia bilang, “Gue kasih lo solusi, gue lunasin utang lo.” Saya bilang, “Saya akan bayar semampu saya. Saya mohon untuk sabar. Kalau Anda ribut-ribut di kantor saya, lalu saya dipecat, saya nggak bisa bayar kalian.”
Dia juga ngomong, “Gua dateng ya ke rumah lu.” Itu membuat saya tertekan. Dan dia tanya-tanya status (perkawinan) saya. Dia tanya, “Lu ada suami nggak?” Saya bilang, “Nggak, saya single parent, cari uang sendiri.”
ADVERTISEMENT
Dia bilang, “Oh pantas ya, lu janda. Ya udahlah, kebetulan karena lu janda, lu nari-nari aja depan gua. Lunas.”
(Simak rekaman suara debt collector yang menagih utang Fatma di bagian atas artikel ini).
Waktu itu saya rasanya ingin marah, ingin nangis. Tapi saya harus kuat. Yang saya pikirkan adalah pekerjaan. Saya mesti jaga mangkok makan saya.
Besoknya saya mohon-mohon sama kantor untuk dikasih kasbon. Supaya bisa bayar ini orang, supaya enggak ribet lagi ke kantor. Akhirnya kantor kasih pinjaman.
Waktu pinjam online, baca ketentuan layanannya nggak?
Nggak. Saya cuma berpikir, bagaimana dapat uang cepat, (syaratnya) nggak neko-neko. Jadi saya nggak baca lagi.
ADVERTISEMENT
Pada salah satu aplikasi pinjaman online yang digunakan Fatma, tertulis ketentuan layanan antara lain sebagai berikut:
Dengan menggunakan aplikasi ini, Anda memberikan hak kepada kami untuk mengumpulkan, menyimpan, menyalin, memproses, membuka informasi, mengakses, mentransfer, mengkaji, mengungkap, dan menggunakan data Anda untuk tujuan lain dan/atau terkait dengan penggunaan aplikasi ini secara terus-menerus.
Dengan menggunakan aplikasi ini, Anda secara sukarela menyetujui dan memberikan hak kepada kami untuk memproses pengajuan pinjaman Anda dengan menggunakan data anda yang diperoleh melalui cara―yang termasuk, namun tak terbatas pada:
Apps: Informasi mengenai aktivitas penggunaan smartphone Anda. Informasi dari media sosial seperti Facebook dan/atau referensi pihak ketiga lainnya.
ADVERTISEMENT
Lokasi: Informasi mengenai tempat usaha, tempat bekerja, dan tempat tinggal Anda berdasarkan teknologi GPS (Global Positioning System).
Kamera: Otorisasi kami untuk mendapatkan akses ke kamera Anda atau mengambil foto/video dari perangkat yang berkaitan.
Ponsel: Otorisasi kami untuk mendapatkan status ponsel Anda―termasuk nomor ponsel, dan memberikan izin untuk membaca histori panggilan.
Storage: Otorisasi kami untuk mendapatkan akses ke status penyimpanan Anda.
SMS: Otorisasi kami untuk mendapatkan akses ke pesan SMS Anda.
Contacts: Otorisasi kami untuk mendapatkan izin kontak di ponsel Anda.
Setelah semua kejadian tak mengenakkan itu, sekarang bagaimana?
ADVERTISEMENT
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berpendapat, upaya preventif pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan masih sangat kurang dalam menangani fintech lending predator yang kian ganas. Ia menyarankan agar OJK lebih agresif memberantas fintech-fintech nakal tersebut.
“Jangan baru turun tangan ketika ada aduan masyarakat. Kalau ditemukan fintech ilegal, blokir saat itu juga. Blokir semua akses keuangannya.”
Berikut lampiran fintech lending yang tak terdaftar di OJK.
------------------------
Waspada Jerat Setan Pinjaman Online . Simak Liputan Khusus kumparan.