Hitam-Putih Alexis Sanchez

26 Juni 2019 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alexis Sanchez belum habis. Foto: Reuters/Rodolfo Buhrer
zoom-in-whitePerbesar
Alexis Sanchez belum habis. Foto: Reuters/Rodolfo Buhrer
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masa lalu memang tak bisa diubah, tetapi ia bisa disembunyikan rapat-rapat. Vince McMahon, misalnya, senantiasa berusaha sekuat tenaga agar video Trish Stratus diperlakukan bak anjing tidak kembali beredar. Setiap kali video tersebut diunggah di internet, WWE langsung meminta agar penyedia platform menurunkannya dengan alasan hak cipta.
ADVERTISEMENT
Momen Trish Stratus diperintahkan untuk menggonggong itu adalah salah satu yang paling memalukan dalam sejarah gulat profesional. Ia muncul pada masa para pegulat wanita hanya dimanfaatkan kecantikan paras serta kemolekan tubuhnya. Ia muncul pada masa WWE masih bisa melenggang dengan bebas meski menampilkan aksi-aksi tolol dan tak senonoh di televisi.
Zaman kini sudah berubah. McMahon pun tahu itu. Video tersebut adalah anakronisme yang ingin dihapus sampai bersih dari perjalanan sejarah WWE. Mustahil WWE bisa mempromosikan secara getol pegulat-pegulat wanitanya jika video laknat itu masih beredar luas. Apa kata orang nanti?
Apa yang terjadi pada video Trish Stratus itu tidak cuma dialami oleh WWE dan McMahon. Manchester United pun merasakannya. Ada satu kejadian yang memang lebih baik dihilangkan sepenuhnya dari buku sejarah United. Kejadian yang dimaksud adalah pembelian Alexis Sanchez dari Arsenal.
ADVERTISEMENT
Ketika datang ke Manchester United, Sanchez sedang berada dalam kondisi resah bukan kepalang. Pemain asal Cile itu sudah tahu bahwa selama masih dilatih oleh Arsene Wenger, Arsenal akan terus mengalami dekadensi. Pada waktu itu, musim dingin 2018 tepatnya, Sanchez berniat untuk kabur secepatnya dari kapal yang hampir karam.
Alexis Sanchez saat masih memperkuat Arsenal. Foto: Reuters/John Sibley
Gayung pun bersambut. Lagipula, siapa yang tidak kepincut dengan Sanchez? Pada bursa transfer musim panas 2017, dia sudah digosipkan akan segera menjadi pemain Manchester City. Di Inggris, bergabung dengan City asuhan Pep Guardiola adalah bukti kredibilitas seorang pemain. Itu artinya, Sanchez adalah salah satu pemain terbaik di Premier League.
Kepindahan tersebut akhirnya urung terwujud. Meski demikian, Sanchez tetap mampu tampil impresif bersama Arsenal. Walaupun dia seringkali harus geleng-geleng menyaksikan kebodohan rekan-rekannya, Sanchez tetap trengginas. Boleh jadi, Sanchez-lah satu-satunya pemain yang pantas mengenakan seragam Arsenal saat itu.
ADVERTISEMENT
Namun, Sanchez akhirnya tidak kuat juga. Dia ingin hijrah ke tim yang dirasanya lebih baik dan mampu menawarkan jaminan lebih baik kepadanya, baik soal prestasi maupun gaji. Manchester United sendiri saat itu merupakan tim terbaik kedua di Inggris. Tak ada City, United pun jadi.
Berlabuhlah Sanchez ke Old Trafford dan dia pun mendapatkan sambutan luar biasa. Sebuah video secara khusus diproduksi untuk memperkenalkan dirinya. Dalam video tersebut, mantan pemain Udinese itu terlihat piawai memainkan piano. Secara implisit, United ingin memperkenalkan Sanchez sebagai sosok maestro yang akan jadi pembawa perubahan.
Tak cuma lewat video tersebut Sanchez disambut. Dia kemudian diberi kostum nomor tujuh yang keramat bagi Manchester United. Sanchez, dengan reputasinya yang menterang, diharapkan mampu jadi pemakai kostum nomor tujuh yang layak. Kedatangannya pun jadi seperti kedatangan seorang Mesias.
ADVERTISEMENT
Sanchez saat melakoni debut bersama Man. United. Foto: Reuters/Paul Childs
Satu setengah tahun kemudian, apa yang dicita-citakan itu belum jua terwujud. Untuk mendatangkan Sanchez, United memang tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun karena transfer dilakukan lewat cara barter. Akan tetapi, setiap pekannya mereka harus membayar Sanchez 350 ribu poundsterling. Ditambah bonus dan image rights, Sanchez bisa meraup sampai 500 ribu pounds setiap minggunya.
Dengan pengorbanan sebesar itu, timbal balik yang didapatkan United sangatlah minim. Sanchez lebih banyak berkutat dengan cedera. Sekalinya bermain, dia nyaris tak ada gunanya. Bukannya membantu tim, seringkali dia malah menyusahkan rekan-rekannya. Total, selama berseragam Manchester United, Sanchez hanya mampu mencetak 4 gol. Ya, 4 gol. Tiga di Premier League, satu di Piala FA.
Bagi United, Sanchez pun jadi seperti aib. Menggaji pemain yang cuma bisa mencetak 4 gol dalam satu setengah tahun senilai 350 ribu poundsterling adalah sebuah kebodohan absolut yang mencoreng wajah sang 'Iblis Merah'. Tak heran jika Sanchez pun masuk dalam daftar pemain yang bakal ditendang jauh-jauh oleh pelatih baru United, Ole Gunnar Solskjaer.
ADVERTISEMENT
Namun, Sanchez yang begitu mengenaskan nasibnya di Manchester United itu kini sudah tidak tampak. Di Copa America 2019, Sanchez berubah menjadi Sanchez yang sesungguhnya. Sanchez kembali menunjukkan magi dalam liukan-liukan, visi bermain cemerlang, serta gol. Berdasarkan statistik WhoScored, Sanchez adalah pemain terbaik di fase grup turnamen.
Dua gol dan satu assist jadi torehan Sanchez sejauh ini. Ditambah dengan keberhasilan menorehkan 8 umpan kunci dan 5 dribel sukses dari tiga pertandingan, Sanchez pun menjadi pahlawan bagi Timnas Cile. Satu gol dan satu assist dia bukukan saat melawan Jepang, sementara satu gol lain dilesakkannya ke gawang Ekuador.
Statistik Alexis Sanchez di fase grup Copa America. Foto: Dok. WhoScored
Menariknya, laga kontra Jepang dan Ekuador itu bukanlah laga terbaik Sanchez. Mantan pemain Barcelona itu justru tampil paling bagus saat Cile menelan kekalahan 0-1 dari Uruguay pada laga pemungkas fase grup. Tidak ada gol maupun assist dari sana tetapi kebolehan Sanchez sebagai penyerang lubang benar-benar tampak. Caranya bergerak dan mengumpan begitu indah.
ADVERTISEMENT
Pada pertandingan melawan Jepang dan Ekuador, Sanchez bermain sebagai penyerang sayap kiri dalam pakem dasar 4-3-3. Sementara, pada laga kontra Uruguay, dia bermain didampingi Eduardo Vargas di lini depan dalam formasi 3-1-4-2. Sanchez memang melakoni dua peran berbeda di sana, tetapi hasilnya tidak jauh berbeda. Dia tetap mampu bermain maksimal.
Lantas, mengapa Sanchez bisa bermain begitu hebat untuk Timnas Cile tetapi melempem bersama Manchester United?
Ada dua jawaban untuk pertanyaan tersebut. Yang pertama berkaitan dengan perkara taktikal, yang kedua menyangkut masalah mental.
Dari segi taktikal, perbedaan utama Sanchez di Timnas Cile dan Manchester United adalah soal tanggung jawab. Bersama United, khususnya di bawah asuhan Jose Mourinho, semua pemain diharuskan untuk ikut bertahan, termasuk Sanchez.
ADVERTISEMENT
Hal itu mengurangi efektivitas permainan Sanchez. Sebab, menurut penjelasan pelatih Cile, Reinaldo Rueda, Sanchez adalah pencetak gol alami. Oleh karenanya, dia harus dimainkan sedekat mungkin dengan gawang. Di Copa America 2019, itulah yang dilakukan Rueda. Sanchez dibebaskan dari tanggung jawab bertahan sehingga bisa lebih leluasa berkreasi di lini depan.
Kecocokan taktik ini ada sangkut pautnya pula dengan kondisi fisik Sanchez yang memang sudah tidak bisa dibilang muda. Sanchez sudah berkepala tiga dan kewajiban bertahan bakal menguras tenaganya. Bersama La Roja, kekurangan Sanchez itu bisa diminimalisir dan kelebihannya bisa dioptimalkan.
Kemudian, untuk perkara mental, kebersamaan yang hangat di Timnas Cile adalah kunci utamanya. Saat ini Timnas Cile masih dihuni oleh banyak pemain seangkatan Sanchez macam Gary Medel, Mauricio Isla, Gonzalo Jara, serta Arturo Vidal. Hal ini membuat Sanchez merasa lebih nyaman dalam bermain.
ADVERTISEMENT
Di United, Sanchez tidak menemukan kehangatan itu. Kerapnya dia menderita cedera jadi salah satu faktor penghambat integrasi tersebut. Sanchez pun jadi merasa belum jadi bagian Manchester United sepenuhnya.
Selain kehangatan di ruang ganti, rasa cinta suporter Cile kepada Sanchez dan rasa bangga Sanchez saat membela negara juga menjadi faktor yang tak bisa dipandang remeh. Bagi warga Cile, Sanchez adalah pahlawan nasional. Sepakan penaltinya pada 2015 ke gawang Argentina memastikan gelar juara Copa America perdana bagi mereka.
Aksi itu membuat Sanchez selalu dielu-elukan. Di saat bersamaan, Sanchez menganggap bahwa bermain untuk tim nasional merupakan hal terbaik dalam kariernya. Tak heran jika dia selalu tampil maksimal dan kini berstatus sebagai topskorer Cile sepanjang masa.
ADVERTISEMENT
Apa yang diraih Sanchez bersama Cile adalah bukti bahwa dia belum habis. Di sisi lain, dari sana juga terlihat kegagalan Manchester United dalam mengenal pemainnya sendiri. Ini semua menunjukkan bahwa Sanchez berhak dapat kesempatan kedua di United dan agar semuanya berjalan lancar Solskjaer harus menjadikan Copa America 2019 ini sebagai bahan pembelajaran.