Lebih Dekat dengan Dua Finalis Piala Dunia Wanita, Amerika dan Belanda

4 Juli 2019 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Timnas Amerika Serikat dan Belanda akan bertemu di final Piala Dunia 2019. Foto: AFP/Composite
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Amerika Serikat dan Belanda akan bertemu di final Piala Dunia 2019. Foto: AFP/Composite
ADVERTISEMENT
Piala Dunia Wanita 2019 sebentar lagi akan memasuki garis finis. Babak semifinal sudah selesai digelar pada Kamis (4/7/2019) dini hari WIB dan dua finalis sudah muncul. Pada partai puncak, Minggu (7/7) malam WIB nanti, Amerika Serikat dan Belanda akan bentrok di Stade de Lyon.
ADVERTISEMENT
Tak seperti Piala Dunia putra yang telah berlangsung sejak 1930, Piala Dunia Wanita masih sangat, sangat muda. Turnamen ini pertama kali digelar secara resmi oleh FIFA pada 1991 dengan tajuk FIFA World Championship for Women's Football for the M&Ms Cup meskipun pada 1970 sebuah 'Piala Dunia' tak resmi telah mulai dihelat di Italia.
Di edisi kedelapannya pada 2019 ini, Piala Dunia Wanita sudah berkembang dua kali lipat dari edisi perdana. Jika dulu turnamen hanya diikuti 12 peserta, kali ini ada 24 negara yang ambil bagian. Lima dari Asia, tiga dari Afrika, tiga dari Amerika Utara, tiga dari Amerika Selatan, satu dari Oseania, dan sembilan dari Eropa.
Ke-24 negara itu terbagi dalam enam grup yang masing-masing terdiri dari empat tim. Dua negara teratas di tiap grup secara otomatis lolos ke fase gugur dan empat peringkat tiga terbaik juga berhak untuk masuk ke babak perdelapan final.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, dari sembilan negara Eropa tadi, tujuh di antaranya berhasil lolos ke babak perempat final. Padahal, di babak perdelapan final, Piala Dunia Wanita 2019 ini masih cukup heterogen. Selain delapan negara Eropa, ada dua wakil Afrika (Nigeria & Kamerun), tiga wakil Asia (Australia, Jepang, & China), satu wakil Amerika Selatan (Brasil), serta dua wakil Amerika Utara (Amerika Serikat & Kanada).
Timnas Italia merayakan kemenangan atas China. Foto: AFP/Pascal Guyot
Namun, di situlah seleksi alam benar-benar terjadi. Tujuh tim Eropa, plus Amerika Serikat, menjadi peserta babak perempat final. Amerika Serikat memang masih menjadi adidaya di persepakbolaan wanita, sementara negara-negara Eropa memiliki sistem kompetisi dan pengembangan pemain yang lebih maju dibandingkan negara-negara dari benua lain.
Di akhir cerita nanti, Amerika akan bersua Belanda. Boleh dibilang, ini adalah pertaruhan gengsi antara dua kutub sepak bola dunia. Amerika bakal berupaya mempertahaankan gelar juara, sementara Belanda punya niat mengawinkan trofi Piala Eropa dengan trofi Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat si Juara Bertahan yang Sempat Terpincang
Menjadi juara Piala Dunia pada 2015 lalu tak membuat Amerika Serikat lantas melaju kencang. Justru, setelah itu mereka sempat mengalami berbagai cobaan baik di dalam maupun luar lapangan.
Semua berawal dari Olimpiade Rio 2016. Pada turnamen itu Amerika Serikat keok di tangan Swedia dan harus pulang lebih awal. Kekalahan itu berujung pada amukan kiper Hope Solo yang menuding para pemain Swedia bermain seperti pengecut. Amukan itu membuat Solo kehilangan tempat di Timnas hingga akhirnya memutuskan untuk pensiun.
Kegagalan di Rio itu tak cuma membuat Solo harus angkat kaki. Dari sana, pelatih Jill Ellis sampai harus melakukan eksperimen besar-besaran dengan memanggil lebih dari 60 pemain. Akibatnya, pada 2017, Amerika Serikat mengalami penurunan prestasi signifikan (menurut standar mereka). The Stars and Stripes harus merelakan tampuk pimpinan rangking dunia FIFA kepada Jerman akibat tiga kekalahan beruntun.
ADVERTISEMENT
Pada 2017 itu juga persteruan Timnas Putri Amerika Serikat dan Federasi Sepak Bola Amerika Serikat (USSF) perkara kesetaraan gaji dimulai. Masalah ini sendiri sudah sampai ke meja hijau dan seringkali mencuri perhatian dari penampilan para pemain di lapangan. Sampai sekarang pun belum ada kata sepakat soal ketimpangan gaji tersebut.
Meski demikian, di tengah masalah-masalah itu Ellis akhirnya menemukan solusi. Pada 2018 lalu dia memutuskan untuk meninggalkan pakem 4-4-1-1 yang sudah lama jadi andalannya dan menggantinya dengan 4-3-3. Ini, ditambah dengan tumbuhnya kepercayaan kembali terhadap para veteran Piala Dunia 2015, membuat Amerika Serikat berjaya lagi.
Dengan balutan pakem 4-3-3 Amerika Serikat mampu mencatatkan rekor 28 laga tak terkalahkan di semua ajang yang berakhir pada Januari silam. Setelahnya, Amerika Serikat pun sebenarnya sempat tersandung kala gagal menjuarai SheBelieves Cup, sebuah turnamen pemanasan yang mereka selenggarakan sendiri. Namun, ketika tiba di Piala Dunia 2019, semua masalah itu seperti tak ada lagi bekasnya.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat berhasil membukukan rekor Piala Dunia kala mengalahkan Thailand 13-0. Mereka kemudian juga sukses menghajar Cile 3-0 dan membekap Swedia 2-0. Bagai tanpa halangan berarti, mereka lolos ke fase gugur.
Di fase gugur Amerika Serikat baru mendapatkan perlawanan yang cukup berarti. Pada laga melawan Spanyol di perdelapan final, Prancis di perempat final, dan Inggris di semifinal, mereka 'cuma' mampu menang dengan skor 2-1. Akan tetapi, justru kemenangan-kemenangan 'kotor' inilah yang menunjukkan kehebatan mereka sebagai calon juara.
Pada fase gugur Piala Dunia, Amerika Serikat benar-benar menggunakan apa yang disebut manajemen pertandingan. Mereka tahu kapan persisnya harus menekan, bertahan, bahkan mengulur waktu. Ellis pun tahu betul pemain jenis apa yang harus dia mainkan di pertandingan tertentu.
ADVERTISEMENT
Turunnya Christen Press di semifinal melawan Inggris adalah bukti kejelian Ellis. Press diperintahkan untuk bentrok langsung dengan bek kanan Lionesses, Lucy Bronze, yang disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia. Hasilnya, Press tak cuma mampu meredam agresivitas Bronze, tetapi juga mencetak gol.
Christen Press dan Kelley O'Hara merayakan gol AS ke gawang Inggris. Foto: AFP/Franck Fife
Ini semua bisa dilakukan karena Amerika Serikat punya pengalaman dan kedalaman skuat mumpuni. Kedalaman skuat itu tak lain muncul karena negara itu memang memiliki pesepak bola putri terbanyak di dunia. Tercatat, pada 2006 saja, mereka punya 1,67 juta pesepak bola putri, dua kali lebih banyak dari negara yang ada di urutan kedua, Jerman.
Munculnya banyak pesepak bola putri itu salah satunya disebabkan oleh undang-undang bernama Title IX yang menghapuskan diskriminasi gender dalam kegiatan yang diselenggarakan dengan dana federal. Sejak itu, jumlah pesepak bola putri di Amerika Serikat meroket dan hasilnya bisa terlihat sekarang.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat sendiri sebenarnya belum lama memiliki tim nasional putri. Pada 1985, untuk pertama kalinya mereka turun berlaga dan saat itu pun Michelle Akers cs. harus menelan kekalahan 0-1 dari Italia. Namun, enam tahun kemudian, di ajang Piala Dunia 1991, Amerika Serikat langsung keluar sebagai juara.
Setelahnya, ada dua gelar juara lain yang sukses mereka raih, yaitu pada 1999 dan 2015. Sepanjang sejarah Piala Dunia Wanita pun Timnas Amerika Serikat belum sekali pun pernah finis di bawah peringkat ketiga. Ini, sekali lagi, adalah bukti kedigdayaan mereka di olahraga yang satu ini.
Pada Piala Dunia 2019 ini Amerika Serikat diperkuat banyak pemain lulusan Piala Dunia 2015. Ali Krieger, Julie Ertz, Becky Sauerbrunn, Tobin Heath, Megan Rapinoe, Carli Lloyd, dan Alex Morgan adalah beberapa contohnya. Di antara mereka (Krieger dan Lloyd) memang sekarang sudah senior dan jarang diturunkan, tetapi sisanya masih sangat bisa diandalkan.
ADVERTISEMENT
Rapinoe dan Morgan, tentu saja, adalah andalan utama Amerika Serikat. Di turnamen kali ini kedua pemain tersebut telah memproduksi 11 gol (Rapinoe 5, Morgan 6) dan gol-gol mereka itu biasanya menentukan. Rapinoe mencetak gol penentu kemenangan atas Spanyol dan Prancis, Morgan melakukannya di laga kontra Inggris.
Selain mereka berdua, Amerika Serikat juga masih diberkati banyak nama kaya talenta lain. Rose Lavelle dan Lindsay Horan di pos gelandang tengah layak untuk dikedepankan. Lavelle adalah seorang playmaker berkaki sutra yang bisa membuat lawan teperdaya dengan mudah. Sementara, Horan adalah buldozer lini tengah yang, menariknya, juga mampu memunculkan momen-momen ajaib.
Dengan demikian, wajar saja kiranya jika Amerika Serikat masih diunggulkan untuk kembali meraih trofi Piala Dunia. Habis, bagaimana? Mereka memang punya segalanya.
ADVERTISEMENT
Belanda yang Melesat bak Meteor
Utrecht benar-benar menjadi lautan oranye ketika itu. Tak cuma di jalan-jalan, kanal-kanal kota itu pun penuh sesak dengan mereka yang merayakan keberhasilan Timnas Belanda menjuarai Piala Eropa Wanita 2017. Bagi Belanda, itu adalah titik balik dari segalanya.
Dalam profil tim Belanda di The Guardian, Willem Visser menuliskan bahwa sebelum Piala Eropa 2017 itu sikap publik terhadap Timnas Putri sama sekali tidak ramah. Bahkan, menurutnya, ada pandit yang mengatakan bahwa sepak bola wanita itu cuma buang-buang rumput.
Namun, semenjak kejayaan di Piala Eropa yang digelar di rumah sendiri, segalanya berubah. Untuk keberhasilan itu, nama pelatih Sarina Wiegman sama sekali tak boleh dikesampingkan.
Wiegman adalah mantan pesepak bola yang pernah memperkuat Timnas Belanda di lebih dari 100 kesempatan. Dia datang pada 2016 untuk mengambil alih tim dari tangan Arjan van der Laan. Di tangan Wiegman, Timnas Putri Belanda memainkan sepak bola seperti seharusnya orang Belanda memainkan sepak bola.
ADVERTISEMENT
Pelatih Belanda, Sarina Wiegman. Foto: Reuters/Bernadett Szabo
Dengan balutan pakem 4-3-3, Wiegman mampu memadukan teknik Lieke Martens, kecerdikan dan kecepatan Shanice van de Sanden, serta ketajaman Vivianne Miedema untuk menjadi tumpuan permainan di lini depan. Di tengah, mereka memiliki Danielle van de Donk sebagai playmaker serta Sherida Spitse dan Jackie Groenen sebagai gelandang box-to-box.
Dengan komposisi itu Wiegman membuat Belanda mampu menampilkan permainan cepat dari kaki ke kaki sesuai ajaran sang mahaguru Johan Cruijff. Apa yang ditampilkan Belanda saat ini sudah benar-benar berbeda dari cara mereka bermain di Piala Dunia 2015 lalu.
Ketika itu, di bawah besutan Roger Reijners, Belanda bermain pragmatis dan tersingkir di babak 16 besar. Van der Laan yang merupakan pengganti Reijners itu pun akhirnya tak mampu membawa Belanda tampil lebih baik sampai akhirnya Wiegman datang. Berkat Wiegman, Timnas Putri Belanda kini sukses jadi tuan rumah di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, perjalanan Belanda menuju Piala Dunia 2019 ini sebenarnya tidak terlalu lancar. Pada babak kualifikasi, mereka cuma menduduki peringkat kedua, di bawah Norwegia. Padahal, Norwegia adalah lawan yang mereka kandaskan di final Piala Eropa 2017 lalu. Alhasil, Belanda pun harus melewati babak playoff untuk bisa sampai ke Prancis.
Setibanya di Prancis pun Belanda tidak langsung tampil oke. Di bawah tekanan publik negeri sendiri yang menanamkan ekspektasi tinggi, Belanda sempat tampil tak sesuai harapan, khususnya di fase grup. Mereka memang meraih tiga kemenangan, tetapi semuanya didapatkan dengan susah payah, termasuk kala menghadapi Selandia Baru di mana gol baru tercipta pada tambahan waktu.
Namun, perlahan penampilan Belanda membaik. Meski kesulitan saat mengalahkan Jepang, mereka mampu tampil meyakinkan kala menyingkirkan Italia. Puncaknya, saat menghadapi Swedia di semifinal, Belanda mampu menemukan permainan terbaiknya walaupun gol kemenangan yang dicetak Groenen baru hadir di masa perpanjangan waktu.
ADVERTISEMENT
Jackie Groenen merayakan gol ke gawang Swedia. Foto: REUTERS/Benoit Tessier
Miedema, sebelum menghadapi Swedia, mengakui bahwa tekanan besar tadilah yang membuat Belanda sulit menikmati permainan. Baru setelah lolos dari perempat final, yang juga berarti keberhasilan merebut tiket Olimpiade Tokyo 2020, mereka bisa tampil lepas.
Jika Belanda ditekan oleh publiknya sendiri, itu sebenarnya wajar. Biar bagaimana pun, mereka adalah juara Eropa yang memiliki pemain-pemain berkualitas. Martens, Van de Sanden, dan Stefanie van der Gragt, misalnya, bermain di final Liga Champions Wanita musim 2018/19. Martens dan Van der Gragt mewakili Barcelona, Van de Sanden berada di kubu Lyon yang akhirnya jadi juara.
Martens dan Van de Sanden pun bukan satu-satunya. Ada Miedema, Van de Donk, Jill Roord, dan Sari van Venendaal yang berkiprah di FA Women's Super League bersama Arsenal. Kemudian ada Lineth Beerensteyn, Desiree van Lunteren, serta Dominique Bloodworth yang bermain di Jerman. Singkat kata, skuat Belanda saat ini dihuni pemain-pemain bagus dengan pengalaman kompetitif yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Maka, menjadi wajar pula bila mereka akhirnya sukses menembus babak final. Sepak bola putri di Belanda adalah olahraga dengan perkembangan tercepat. Saat ini ada 120 ribu pemain yang tercatat di KNVB dan setiap tahunnya ada dana kurang lebih 3 juta euro untuk menggalakkan pengembangan. Sepuluh tahun sejak berlaga untuk kali pertama di turnamen antarnegara, Belanda mampu mencapai final Piala Dunia.
=====
*) Final Piala Dunia Wanita 2019 akan dilangsungkan di Stade de Lyon, Lyon, Prancis, pada Minggu (7/7/2019) malam pukul 22:00 WIB. Bisa disaksikan di beIN Sports.