Monchi dan Upaya AS Roma Meregenerasi Tim

24 Juli 2018 16:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sesi latihan Roma di Trigoria. (Foto: Reuters/Tony Gentile)
zoom-in-whitePerbesar
Sesi latihan Roma di Trigoria. (Foto: Reuters/Tony Gentile)
ADVERTISEMENT
Jika AS Roma adalah panggung, maka Monchi adalah orang yang bertugas mempersiapkan panggung. Monchi yang bernama asli Ramon Rodriguez Verdejo itu diperkenalkan sebagai Direktur Olahraga Roma pada 25 April 2017. Kedatangan Monchi lantas disebut-sebut sebagai ‘transfer’ terbaik Roma di sepanjang musim.
ADVERTISEMENT
Menjabat sebagai direktur olahraga berarti diserahi tanggung jawab membangun tim. Secara garis besar, ada dua tugas utama yang harus diemban Monchi. Pertama, membangun sektor pembinaan pemain muda sehingga Roma dapat menciptakan sendiri pemain bintang di masa depan. Yang kedua, mengimplementasikan sistem pencarian bakat yang tepat sehingga Roma dapat menemukan pemain-pemain potensial jauh sebelum ia diminati oleh klub-klub besar --dengan harga yang tentunya masih masuk akal.
Perihal pembangunan pemain muda, Monchi sedang berusaha membuktikannya. Bila dibandingkan dengan klub-klub lain di bursa transfer musim ini, Roma punya satu perbedaan motif. Saat klub-klub berburu pemain bintang yang sudah cukup ‘jadi’, Roma melakukan hal sebaliknya. Mereka menjual pemain bintang dan mendatangkan pemain muda.
Geliat transfer Roma yang cukup menyita perhatian di bursa transfer musim panas ini adalah menjual Radja Nainggolan dan Alisson Becker. Lantas, kepergian keduanya juga tak bisa dipisahkan dari cerita-cerita kedatangan dan keberadaan (sudah ada per 2017/2018) pemain muda macam Patrik Schick, Justin Kluivert, Ante Coric, Lorenzo Pellegrini, dan Cengiz Under. Sementara itu, Malcom masih dalam proses tarik-ulur karena Bordeaux --klub pemain asal Brasil itu-- masih ingin melihat tawaran Barcelona.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang memungkiri bahwa persaingan Serie A tidak sepopuler era 1990-an. Kala itu, Serie A dipenuhi dengan pemain-pemain bintang dalam usia produktif yang berebut gelar. Kompetisi ini memiliki daya tarik yang begitu hebat. Namun, dengan segala masalah yang mendera, wajah Serie A mulai berubah. Ketimbang menampilkan semangat para pesepak bola muda, Serie A justru menjadi tempat bagi nama-nama tua untuk tetap berkompetisi.
Lihatlah Francesco Totti, Andrea Pirlo, Paolo Maldini, atau Daniel de Rossi (yang masih bermain hingga kini). Coba hitung-hitung lagi berapa tahun mereka bermain reguler di klub mereka di Italia. Di satu sisi, ini memang menunjukkan loyalitas. Namun, di sisi lain, muncul satu pertanyaan: Memangnya tidak ada pemain muda yang bisa menggantikan mereka?
ADVERTISEMENT
Puncaknya, gaung kebangkitan Serie A justru mencapai klimaksnya bertepatan dengan kedatangan Cristiano Ronaldo ke Juventus. Ronaldo memang pemain bintang, lihatlah jumlah gelar individunya dan ada berapa banyak gelar juara yang dipersembahkannya untuk setiap klub yang dibelanya.
Namun, Ronaldo sudah ada di pengujung kariernya sebagai pesepak bola. Menyerahkan kebangkitan kepada satu nama yang tak lagi muda di satu sisi menjadi perkara menyedihkan. Bukankah seharusnya pemain-pemain muda yang punya tugas untuk membangkitkan apa-apa yang sudah layu?
Sadar atau tidak sadar, Roma dengan Monchi sebagai salah satu pilarnya justru menampilkan hal berbeda, terutama sejak musim 2017/2018 dimulai. Kedatangannya dari Sevilla diikuti dengan kedatangan pelatih baru mereka, Eusebio di Francesco.
Serupa pelatih Italia pada umumnya, Di Francesco juga mengecap pendidikan kepelatihan di Coverciano. Namun, bila dibandingkan dengan pelatih Roma yang ia gantikan, Luciano Spalletti, Di Francesco memang masih miskin pengalaman.
ADVERTISEMENT
Sesi latihan Roma jelang vs Liverpool. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Sesi latihan Roma jelang vs Liverpool. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
Musim 2004/2005 menjadi musim terakhir Di Francesco mengusung predikat sebagai pemain sepak bola. Setelahnya, ia menjabat sebagai manajer tim Roma (bukan pelatih -red). Yang mengesankan, ia tidak memilih untuk langsung menjadi pelatih setelah menukangi manajemen Roma. Ia rela turun ke Serie C2 dan menjadi direktur olahraga untuk Val di Sangro pada 2007.
Baru setelahnya, ia menjejakkan kaki di ranah kepelatihan, yang dimulai dari kiprahnya mengasuh Virtus Lanciano. Bertahan semusim, Di Francesco mulai melanglang buana di klub-klub semenjana macam Pescara, Lecce, dan Sassuolo.
Di antara ketiganya, Sassuolo menjadi capaiannya yang paling mengesankan karena berhasil membawa klub ini naik kelas ke Serie A dan berlaga di Liga Europa. Di klub ini pula ia mengenyam masa bakti yang paling lama, lima musim. Keberhasilannya memberikan kelahiran baru bagi Sassuolo memikat Monchi. Lantas, tercatatlah namanya sebagai pelatih Roma.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain muda yang datang, baik pada bursa transfer musim panas ini ataupun sudah ada bersama Roma sejak musim 2017/2018 memberikan angin segar. Setidaknya, kedatangan mereka membangkitkan harapan bahwa tim di Italia juga bisa bangkit dengan mengandalkan pemain-pemain muda yang tentunya tetap mendapatkan ‘pengawalan’ pengalaman dari pemain-pemain senior.
Bila ditelisik, Roma menghabiskan 71,95 juta euro untuk membenahi lini serangnya di bursa transfer musim panas ini. Kecenderungan untuk memperbaiki lini serang ini memang masuk akal, karena pada dasarnya Di Francesco merupakan pelatih yang menyukai tipe permainan ofensif.
Di Francesco adalah pelatih yang mengandalkan kedua sisi lapangan saat menyerang. Pada formasi 4-3-3, yang bertugas untuk membangun serangan tidak cuma penyerang sayap, tapi para bek juga harus naik ke sepertiga akhir lawan.
ADVERTISEMENT
Kecenderungannya, Di Francesco akan meminta anak-anak asuhnya akan untuk memperlebar garis ofensifnya. Tujuannya, untuk memancing lawan bermain dengan pertahanan terbuka. Bila tujuan ini sudah tercapai, maka para pemainnya dapat melancarkan serangan ke tengah ataupun melepaskan umpan silang ke dalam kotak penalti.
Direktur Olahraga AS Roma, Monchi. (Foto: Javier Soriano/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Olahraga AS Roma, Monchi. (Foto: Javier Soriano/AFP)
Serangan yang dibangun Di Francesco pun tidak bisa berjauh-jauhan dengan pressing ketat. Ketika bertahan, biasanya Di Francesco mengubah formasi dari 4-3-3 menjadi 4-5-1. Yang punya tugas untuk merebut bola adalah para gelandang tengah. Begitu mengambil alih penguasaan bola, timnya akan memulai serangan dengan operan-operan pendek sebelum pemain sayapnya sudah siap di sisi lapangan.
Sebagai pengingat, di awal-awal kedatangan Monchi dan Di Francesco, sektor penyerangan kanan menjadi kendala mereka. Dalam wawancaranya bersama The Guardian, Di Francesco menjelaskan bahwa ia dan tim harus secepat mungkin mendatangkan pemain reguler yang dibutuhkan, terutama area serang kanan.
ADVERTISEMENT
Di antara nama-nama muda tadi, Cengiz Uender menjadi salah satu yang sudah cukup terbukti dapat bermain dalam pakem Di Francesco. Seiring berjalannya waktu, Uender berkembang begitu pesat di tangan Di Francesco. Sempat tak pernah bermain penuh hingga Januari 2018, perkembangannya mulai menumbuhkan kepercayaan kepada Di Francesco untuk memainkannya sebagai penyerang sayap kanan. Dalam 31 penampilannya bersama Roma di semua kompetisi, ia berhasil mencetak 8 gol. Selain itu, ia berhasil mencatat 1,8 percobaan 0,9 umpan kunci per laga.
Lantas, kedatangan Malcom menambah opsi bagi sayap kanan Roma. Walau usianya masih 21 tahun, Malcom punya catatan mengesankan bersama klub terdahulunya, Girondins Bordeaux. Dari 35 partai Ligue 1, ia merangkum 12 gol dan 7 assist. Kualitas Malcom juga tergambar dari aspek lainnya. Menurut catatan Opta, dia mengkreasikan 80 peluang dan melakukan 80 dribel sukses, tertinggi di antara semua pemain Ligue 1 musim lalu.
ADVERTISEMENT
Untuk penyerang tengah, pada dasarnya Roma sedang tak punya masalah karena mereka memiliki Edin Dzeko. Di sepanjang musim 2017/2018, ia menjadi pemain Roma yang paling banyak mencetak gol. Menurut catatan Whoscored, ia membukukan 24 gol untuk Roma di semua kompetisi.
Namun, hanya karena semuanya terlihat baik-baik saja, bukan berarti Roma tak punya kekhawatiran menyoal Dzeko. Usia Dzeko sudah tak lagi muda, sudah 32 tahun. Makanya, mereka pun berinvestasi dengan mempermanenkan Patrik Schick yang pada dasarnya berperan sebagai penyerang tengah.
Dalam 20 penampilannya bersama Roma di Serie A dan Liga Champions musim 2017/2018, Schick mencetak 2 gol. Selain itu, ia membukukan 0,6 umpan kunci dan 0,8 dribel per laga. Walau jumlahnya masih jauh di bawah Dzeko sebagai penyerang tengah utama, keberadaan Schick patut diperhitungkan sebagai bagian dari regenerasi tim.
ADVERTISEMENT
Bintang muda Roma, Cengiz Uender. (Foto: Twitter/@louisdebrondeau)
zoom-in-whitePerbesar
Bintang muda Roma, Cengiz Uender. (Foto: Twitter/@louisdebrondeau)
Begitu pula dengan keputusan Roma untuk menjadikan Gregoire Defrel sebagai pembelian permanen, dan membeli Javier Pastore (Paris Saint-Germain, 24,7 juta euro), Ante Coric (Dinamo Zagreb, 6 juta euro), dan Justin Kluivert.(17,25 juta euro, Ajax Amsterdam).
Lorenzo Pellegrini menjadi salah satu pemain muda yang sudah bergabung dengan Roma di musim 2017/2018. Pada dasarnya, ia berperan sebagai gelandang perebut bola yang tak hanya menunggu mangsa di dalam kotak penalti, tetapi aktif mengejar bola.
Pellegrini menjadi salah satu pemain yang mudah beradaptasi di musim pertamanya bersama Roma. Sebabnya, sebelum hengkang ke Olimpico, ia sudah tercatat sebagai andalan Di Francesco untuk memainkan peran yang sama di Sassuolo. Di Serie A 2017/2018, Pellegrini mencatatkan rataan 1,3 tekel dan 1,5 intersep per laga.
ADVERTISEMENT
Menyoal kiper, Roma memang sudah kehilangan Becker yang selama ini ditugaskan sebagai kiper utamanya. Namun, Monchi dikabarkan akan segera menuntaskan transfer kiper Timnas Swedia, Robin Olsen, dan sudah memiliki Antonio Mirante.
Dibandingkan dengan pembelian lainnya, usia keduanya cukup senior. Mirante berusia 35 tahun dan Olsen 28 tahun. Hal ini pada akhirnya menimbulkan kontradiksi pada wacana Roma untuk membangun tim yang bertumpu pada skuat muda.
Namun, keputusan Roma untuk mendatangkan keduanya cukup masuk akal. Menyoal Olsen, penampilannya bersama Timnas Swedia cukup meyakinkan. Dalam keberhasilannya membawa Swedia hingga babak perempat final, timnya itu hanya kebobolan empat kali.
Lantas, Olsen membukukan 1,4 penyelamatan per laga. Sementara, Mirante membukukan 3,1 penyelamatan per laga selama membela Bologna pada musim 2017/2018 di Serie A. Bila dibandingkan dengan pendahulunya, Alisson bermain sebanyak 49 kali di Serie A dan Liga Champions bersama Roma. Dari sana, kiper Brasil itu mencatatkan 20 kali nirbobol dengan catatan penyelamatan 2,99 kali per pertandingan.
ADVERTISEMENT
Antusiasme Roma untuk memboyong nama-nama muda tanpa melupakan keberadaan pemain senior ini seharusnya menjadi tren yang positif bagi atmosfer sepak bola Italia, khususnya Serie A. Keberadaan pemain senior dan pemain bintang tak dapat dimungkiri sangat dibutuhkan oleh setiap tim, termasuk Roma. Namun, hanya karena butuh, bukan berarti mereka melupakan bahwa regenarasi tim dibutuhkan untuk menjaga klub agar tetap hidup.
Lantas, regenerasi tidak sama dengan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan dan peranan kepada pemain senior yang didatangkan dari klub lain. Regenerasi berarti menyerahkan kepercayaan itu kepada pemain muda, walaupun membutuhkan waktu dan tahapan yang cukup panjang.
Tidak ada yang dapat memastikan apakah Roma akan segera menuai hasilnya di akhir musim 2018/2019 nanti apa tidak. Namun, yang jelas, Roma sedang melakoni proyek jangka panjangnya. Monchi memang bukan orang Roma asli. Namun, sebagai pegiat sepak bola ia sadar bahwa serupa Kota Roma, tim ini pun tidak bisa dibangunnya dalam semalam.
ADVERTISEMENT