Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Hari sudah hendak berganti ketika pesta itu dimulai. Semua orang, kata sang kapten, harus turut serta. "Siapa yang pulang sebelum pukul lima pagi, bakal dihukum," katanya.
ADVERTISEMENT
Namun, tanpa ancaman itu saja, memang tak ada seorang pun yang berniat melewatkan pesta tersebut. Ya, mereka memang lelah, tetapi rasa pegal di sekujur tubuh mereka itu tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan.
Malam itu, 6 Januari 2018, Real Betis menjadi yang terbaik di dunia. Setidaknya, begitulah menurut para pemain, staf, serta pendukung mereka. Di Seville, kota tempat mereka berbasis, dunia memang jadi begitu sempit ketika yang dibicarakan adalah sepak bola. Bagi mereka, cuma ada dua klub yang penting di dunia ini: Real Betis dan Sevilla.
El Gran Derbi, begitulah derbi antara Real Betis dan Sevilla ini disebut. Derbi yang agung, derbi yang besar, dan ini bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan. Faktanya, tak ada derbi sekota di Spanyol yang lebih akbar ketimbang Derbi Sevillano. Sebab, tak ada dua rival sekota lain di Spanyol, selain Betis dan Sevilla, yang memperlakukan satu sama lain dengan setara.
ADVERTISEMENT
El Derbi Madrileno, misalnya. Kendati pertandingan itu mempertemukan salah dua klub terbaik dan terbesar di Spanyol, tensinya takkan pernah bisa sebesar El Gran Derbi di Seville. Sebab, Real Madrid tak pernah melihat Atletico Madrid sebagai rival yang setara dengan mereka. Sebaliknya, Atletico Madrid pun paham betul bahwa sampai kapan pun mereka takkan bisa sebesar tetangganya itu.
Hal itu tidak berlaku di Seville. Bagi Betis, Sevilla adalah musuh terbesar mereka. Pun demikian sebaliknya. Boleh dikatakan, bagi kedua klub ini, satu-satunya pertandingan yang penting adalah laga derbi itu sendiri. Sementara, 36 pertandingan lain sepanjang musim adalah pengisi waktu sebelum keduanya saling tikam, entah itu di markas Sevilla maupun Betis.
***
Sevilla adalah kakak tiri Betis. Mereka didirikan oleh sekelompok ekspatriat Skotlandia bersama beberapa pemuda lokal setempat pada 1890 dengan nama Sevilla Foot-ball Club. Setelah Recreativo de Huelva, Sevilla adalah klub sepak bola tertua di Spanyol. Mereka pun, bersama Recreativo, akhirnya terlibat dalam pertandingan sepak bola pertama di negeri itu.
ADVERTISEMENT
Para pendiri Sevilla adalah orang-orang berduit. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai insinyur dan pengusaha. Latar belakang itulah yang membuat mereka jadi begitu antipati dengan keberadaan orang dari kalangan bawah. Pokoknya, siapa pun yang bermain di Sevilla harus berasal dari kelas menengah ke atas. Golongan lain silakan minggir.
Penolakan Sevilla terhadap pemain dari kelas pekerja itulah yang akhirnya memicu pembentukan Real Betis. Pada 1909, mereka yang kecewa dengan kebijakan Sevilla membentuk klub sepak bola baru dengan nama Betis Football Club. Lima tahun kemudian, klub ini melakukan merger dengan sebuah klub bernama Sevilla Balompie -- yang didirikan pada 1907 oleh sekelompok mahasiswa. Sejak 1914 itulah muncul Real Betis Balompie sebagai rival sekota Sevilla.
ADVERTISEMENT
Meski sama-sama punya nama besar, baik Sevilla maupun Betis tidak pernah benar-benar jadi klub besar, khususnya di dalam negeri. Total, hanya ada sepuluh trofi domestik yang tersimpan di lemari trofi milik Sevilla dan Betis. Sevilla punya tujuh, sisanya jadi milik Betis. Namun, trofi memang seperti tak pernah menjadi incaran utama kedua klub ini. Bagi mereka, yang terpenting adalah memenangi laga derbi.
Panasnya El Gran Derbi itu bisa dilacak sampai pertemuan pertama Sevilla dan Betis pada 1915. Sevilla menang 3-2 kala itu, tetapi yang jadi kisah terbesar dari sana bukanlah kemenangan sang kakak tiri, melainkan kerusuhan besar yang terjadi setelahnya. Pada masa itu, pertentangan kelas memang masih begitu tajam dan para suporter Betis yang tidak terima dengan kekalahan tersebut memilih untuk melampiaskan amarah dengan menjadi vandal.
ADVERTISEMENT

Selanjutnya, kisah-kisah macam inilah yang mewarnai perjalanan rivalitas Sevilla dan Betis. Tiga tahun setelah pertandingan perdana itu, pada sebuah kompetisi regional Andalusia -- saat itu liga berskala nasional belum ada dan kompetisi tertinggi di Spanyol adalah Copa del Rey --, Sevilla mengalahkan Betis dengan skor mencengangkan, 22-0.
Skor sebesar itu tercipta bukan karena inkompetensi para pemain Betis, melainkan karena laga tersebut dilangsungkan dalam di bawah protes. Ketika itu, di Spanyol, wajib militer masih menjadi kewajiban dan kebetulan, sejumlah pemain Betis sedang menjalani itu. Entah bagaimana, Sevilla bisa mengatur agar pada saat pertandingan, barak para pemain Betis tadi dikunci.
Dengan demikian, para pemain Betis pun tidak bisa keluar untuk mengikuti pertandingan. Petinggi Betis mengamuk. Mereka pun kemudian mengirimkan pemain-pemain junior untuk bertanding melawan Sevilla. Hasilnya, para remaja itu digelontor dua puluh dua gol tanpa balas.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, di antara dua klub itu, Betis-lah yang terlebih dahulu mampu menjadi juara liga di Spanyol. Pada 1935, delapan tahun setelah liga sepak bola berskala nasional dibentuk, Betis keluar sebagai kampiun. Sayangnya, gelar juara tersebut justru menjadi pertanda kemunduran Betis dalam beberapa dekade berikut. Sebab, setahun berikutnya, Perang Sipil di Spanyol berkobar.
Dalam Perang Sipil itu, Betis kehilangan banyak pemain, khususnya mereka yang berasal dari Basque. Demi menghindari pembantaian yang dilakukan rezim Francisco Franco, para pemain tersebut melarikan diri. Di sisi lain, Sevilla sama sekali tidak terpengaruh dengan perang tersebut. Mereka bahkan semakin maju semenjak dipimpin presiden Ramon Sanchez-Pizjuan pada 1941.
Tuah kepemimpinan Sanchez-Pizjuan itu berbuah gelar juara liga pertama dan satu-satunya milik Sevilla pada 1946. Di masa kepemimpinannya, Sevilla selalu konsisten berada di papan atas. Bahkan, klub asal Nervion ini berhasil menambah perbendaharaan trofi Copa del Rey mereka menjadi tiga.
ADVERTISEMENT

Kemunduran Sevilla terjadi ketika Sanchez-Pizjuan wafat pada 1956. Sevilla sebetulnya saat itu sedang merencanakan pembangunan stadion baru. Akhirnya, ketika rampung pada 1958, stadion itu pun diberi nama Estadio Ramon Sanchez-Pizjuan, seperti nama sang presiden agung. Sayangnya, stadion baru itu tak kunjung mampu memberikan prestasi berarti bagi mereka. Bahkan, mereka harus terdegradasi ke Segunda Division pada 1967.
Saat Sevilla sedang mengalami dekadensi, Betis kembali ke permukaan. Dipimpin presiden Benito Villamarin, klub kebanggaan para Beticos ini mulai bangkit. Memang pada akhirnya tidak pernah ada gelar yang diraih Betis pada era ini. Akan tetapi, stadion mereka yang sekarang didapatkan saat klub dipimpin oleh Villamarin. Pada 1961, Estadio Heliopolis dibeli dan lantas diberi nama Estadio Benito Villamarin.
ADVERTISEMENT
Setelah ini, Betis mulai tahu bagaimana caranya berprestasi di era modern. Mereka menjuarai Copa del Rey untuk pertama kalinya pada 1977 dan kemudian berhak untuk berlaga di Piala Winners. Akan tetapi, perlahan-lahan mismanajemen membuat klub ini terjebak dalam krisis ekonomi.
Betis kemudian diselamatkan oleh Manuel Ruiz de Lopera pada 1992. Di era Ruiz de Lopera inilah Betis kembali meningkatkan derajatnya. Enam tahun usai membeli Betis, Ruiz de Lopera memecahkan rekor transfer dunia kala mendatangkan Denilson de Oliveira. Tak cuma itu, Ruiz de Lopera juga merenovasi Estadio Benito Villamarin menjadi seperti sekarang. Renovasi itulah yang membuat stadion Betis sempat bernama Estadio Manuel Ruiz de Lopera.
Sementara Betis sedang menikmati dana melimpah dari Ruiz de Lopera, Sevilla terus merana. Kesulitan keuangan itulah yang menyebabkan mereka, pada 1997 dan 2000, klub ini terdegradasi ke Segunda Division. Akan tetapi, setelah Sevilla kembali naik kelas pada 2001, nasib kembali memihak pada mereka.
ADVERTISEMENT
Betis, di bawah Ruiz de Lopera, tidak pernah dijalankan dengan baik. Meski berhasil menjuarai Copa del Rey pada 2005 dan berlaga di Liga Champions, praktis tak ada catatan manis lain yang berhasil mereka bukukan. Sampai akhirnya, krisis keuangan kembali melanda dan ini berujung pada masa-masa kelam di akhir 2000-an dan awal 2010-an.

Sementara, Sevilla pada era tersebut menjelma menjadi salah satu kekuatan terbesar di Eropa. Di bawah arahan presiden Jose Maria del Nido dan direktur olahraga Monchi, Sevilla membentuk bisnisnya dengan hati-hati. Hasilnya, dua Copa del Rey, satu Supercopa de Espana, satu Piala Super Eropa, dan lima Piala UEFA/Europa League berhasil mereka kumpulkan.
Kendati begitu, saat ini di Betis sedang terjadi sebuah revolusi besar. Dipimpin oleh Llorenc Serra Ferrer dan Enrique 'Quique' Setien, Betis sedang bersiap untuk mendongkel kedigdayaan Sevilla. Untuk itu, Sevilla yang masih kesulitan mencari pengganti sepadan Unai Emery harus berhati-hati.
ADVERTISEMENT
***
Real Betis memulai segalanya dari nol saat promosi ke La Liga pada musim 2015/16. Namun, ketika itu mereka masih tampak kebingungan bagaimana caranya berprestasi di level tertinggi. Akhirnya, saat itu mereka pun berupaya mendatangkan pemain berkualitas dan sarat pengalaman dengan harga miring. Kebijakan ini terlihat betul saat mereka mendatangkan Rafael van der Vaart dan Heiko Westermann.
Akan tetapi, kebijakan itu tak terlalu berhasil. Pada musim 2015/16 mereka memang berhasil finis di urutan sepuluh. Akan tetapi, pada musim berikutnya, peringkat mereka melorot ke angka 15. Inilah yang kemudian membuat manajemen Betis memutar otak. Mereka menginginkan solusi jangka panjang yang berkesinambungan.
Akhirnya, keputusan pun diambil. Serra Ferrer yang pernah memimpin Betis menjuarai Copa del Rey itu ditarik kembali. Namun, kali ini dia tak menjabat sebagai entrenador, melainkan sebagai direktur olahraga. Soal racik-meracik taktik, Betis menyerahkannya pada Setien yang sebelumnya berhasil membawa Las Palmas tampil mengesankan di La Liga.
ADVERTISEMENT

Setien adalah seorang pelatih yang tidak kenal kompromi. Bagi pria 59 tahun tersebut, menang saja tidak cukup. Lebih dari itu, tim yang diasuhnya harus bisa menampilkan permainan menghibur. Setien beruntung karena dia bisa bekerja dengan baik bersama Serra Ferrer yang punya satu visi.
Dengan formasi dasar 4-3-3, pada dasarnya apa yang dilakukan Setien tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Pep Guardiola. Kunci utamanya adalah penguasaan bola serta penempatan posisi. Itulah mengapa, para pemain yang didatangkan dan/atau dipertahankan adalah mereka yang piawai dalam mengeksekusi permainan jenis tersebut.
Pada musim pertamanya, Setien sudah berhasil mewujudkan itu. Betis dibawanya menjadi tim yang begitu aktif dalam menguasai bola. Dengan statistik rata-rata 55,9%, Betis menjadi tim dengan tingkat penguasaan bola tertinggi ketiga setelah Barcelona dan Real Madrid. Berubahnya cara bermain Betis itu berbuah manis dengan prestasi mereka di akhir musim. Betis finis di urutan enam dan berhak untuk lolos ke Liga Europa 2018/19.
ADVERTISEMENT
Namun, Serra Ferrer dan Setien tak puas sampai di situ. Jelang musim kompetisi 2018/19, revolusi besar itu dilanjutkan. Kedua orang ini bertanggung jawab atas eksodus besar-besaran yang melanda Betis. Saat ini, di skuat Betis hanya ada enam pemain yang sudah bermain sejak sebelum Serra Ferrer dan Setien datang, yakni kapten Joaquin Sanchez, Alex Alegria, Aissa Mandi, Tonny Sanabria, Darko Brasanac, dan Alin Tosca.
Dengan keberanian besar, Serra Ferrer dan Setien menyingkirkan nama-nama senior yang sebelumnya selalu jadi andalan. Wakil kapten Antonio Adan, misalnya. Untuk kasus berbeda, Fabian Ruiz yang merupakan Betico totok itu harus rela dilepas ke Italia untuk bergabung bersama Napoli setelah klausul lepasnya ditebus.
Sebagai gantinya, Serra Ferrer mendatangkan pemain-pemain yang lebih pas dengan filosofi Setien. Pada pertengahan musim lalu, Betis berhasil mendatangkan Marc Bartra dari Borussia Dortmund. Keberadaan pemain internasional di kubu Betis itu bertambah seiring dengan kedatangan William Carvalho pada musim panas 2018. Dua pemain ini, bersama Javi Garcia yang bakal diplot sebagai bek tengah, memang sangat krusial bagi sistem permainan Setien yang menuntut semua serangan dibangun dari belakang.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di posisi penjaga gawang, Betis musim ini akan mengandalkan dua eks sweeper-keeper Premier League yang berhasil didatangkan tanpa biaya sepeser pun. Joel Robles dan Pau Lopez akan memperebutkan satu spot di tim inti Betis.
Untuk mendukung nama-nama ini, Betis kemudian mendatangkan pemain-pemain seperti Sergio Canales dan Takashi Inui untuk menambah daya gedor dari tengah. Selain itu, Antonio Barragan juga dibeli secara permanen dari Middlesbrough untuk mengisi pos bek kanan. Total, dalam revolusi besarnya ini, Betis sudah mendatangkan 16 pemain baru.
Sebenarnya, revolusi Betis tidak berhenti sampai di situ. Di jagat maya pun mereka menggunakan pendekatan baru demi mendekatkan diri kepada para penggemar. Lewat aplikasi mazhab komunikasi Chicago yang penuh ingar bingar, Betis kerapkali mengunggah hal-hal nyeleneh di akun media sosial mereka, termasuk saat mengumumkan kedatangan pemain baru.
ADVERTISEMENT
Revolusi Betis ini, baik di lapangan maupun di jagat maya, dilakukan sebenarnya karena Sevilla sudah melakukan itu. Sevilla pernah berhasil dengan perencanaan matang ala Monchi dan kini Betis berupaya mereplikasi itu via Serra Ferrer. Lalu, soal kehebohan di media sosial itu, Sevilla yang terkenal lewat video penculikan Jesus Navas itu jadi inspirasi keabsurdan unggahan-unggahan Betis di media sosialnya.
Pada akhirnya, ini adalah kisah tentang sebuah rivalitas dua katak dalam tempurung. Betis melakukan revolusi besar-besaran karena tak mau terus-terusan jadi yang nomor dua di Seville. Akan tetapi, kendati perspektif kedua klub ini begitu sempit, imbas dari revolusi Betis ini bisa lebih luas. Dengan pendekatan yang berbeda, bisa jadi mereka akan mengambil tempat Sevilla sebagai jagoan baru di kompetisi level kedua Eropa.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja, masih ada banyak hal yang kudu dilakukan Betis. Di atas kertas, revolusi mereka ini memang menjanjikan. Akan tetapi, ujian sebenarnya tetap berada di lapangan hijau. Sabtu (18/8/2018) dini hari WIB mendatang, mereka akan menjalani tes perdana dengan menjamu Levante di Estadio Benito Villamarin. Pertanyaan dan keraguan yang mengiringi revolusi Betis ini akan bisa terjawab di sana.
====
*Catatan Editor: Tulisan mengalami perubahan pada bagian dilepasnya Fabian Ruiz, yang pergi ke Napoli setelah klausulnya ditebus.