Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Manisnya Dinasti Kecap Warisan Kuliner Keluarga
20 Oktober 2018 15:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Sebagai warisan kuliner asli Indonesia, kecap manis memang memiliki cita rasa yang khas. Ya, berbeda dengan kecap asin milik orang Jepang atau China, olahan kedelai Nusantara tersebut memiliki konsistensi kental dengan rasa manis yang unik, beserta cecapan rasa gurih.
ADVERTISEMENT
Uniknya, walau sama-sama berasal dari Indonesia, tak ada keseragaman dari masing-masing kecap yang diproduksi di tiap daerah. Ya, hampir seluruh wilayah di Indonesia, khususnya di daerah Jawa, punya produk kecap unggulannya sendiri-sendiri.
Biasanya, produk-produk kecap lokal tersebut adalah bisnis keluarga, yang memiliki sistem dan metode pembuatannya masing-masing, sehingga menciptakan ragam rasa yang berbeda.
Proses pembuatan kecap manis tersebut bahkan tak semata-mata mengandalkan ilmu teknis saja, lebih dari itu, mereka melakukannya demi tradisi turun temurun. Baik racikan resep atau proses memasaknya, semuanya adalah warisan dari leluhur, perintis dari bisnis yang kini mereka ambil alih.
Setidaknya, itulah yang dijelaskan oleh Budi Santoso, pengelola sekaligus penerus bisnis Ketjap Ikan Lele generasi kedua saat kami tanya mengapa proses pembuatan dan cita rasa kecap masing-masing daerah--atau bahkan tempat produksi bisa begitu beragam.
ADVERTISEMENT
“Mungkin karena sudah merupakan kebiasaan turun temurun ya. Dari dulu sudah begitu, sekarang hanya diteruskan saja,” tuturnya.
Dinasti Kecap Warisan Keluarga
Pangsa pasar kecap manis Indonesia memang begitu potensial dan terbuka lebar. Data dari BPS menunjukkan, industri pengolahan kecap pada tahun 2011 mencapai angka 81.709.271 liter. Sementara Kementerian Perindustrian juga mencatat, nilai produksi si hitam manis ini telah menginjak Rp 7,1 triliun di tahun 2014. Merek-merek kecap makin beragam, memenuhi sudut-sudut rak supermarket, pasar, hingga toko kelontong.
Setidaknya, ada 94 unit usaha industri kecap skala menengah besar yang tercantum dalam data keluaran Kementerian Perdagangan.
Angka itu tentunya belum termasuk dengan bisnis-bisnis kecap yang mereknya tak terdaftar dalam database milik Kementerian Perdagangan tersebut. Sebagian besar merek kecap manis memang hanya dijual dan diproduksi untuk lingkup terbatas saja, tidak untuk skala besar, skala nasional.
ADVERTISEMENT
Meski skala produksinya terbatas, bisnis kecap manis lokal tak boleh diremehkan. Merek-merek yang mungkin masih terdengar kurang awam, sejatinya telah dijalankan oleh beberapa generasi, diwariskan turun-temurun, dan telah memiliki pangsa pasarnya sendiri.
Kecap Cap Udang dari Purwodadi, Jawa Tengah adalah satu dari sekian banyak produsen kecap manis lokal yang telah berusia puluhan tahun--tepatnya 63 tahun. Kiprah kecap Cap Udang dimulai di tahun 1955, di bawah tangan dingin Kwee Yoe Kwie.
Awalnya, kecap tersebut dijual dengan nama Kecap Potret, sebelum akhirnya mengalami pergantian identitas. Pesatnya perkembangan dari bisnis kecap manis yang berpusat di Grobogan, Purwodadi ini akhirnya berhasil membuat mereka mampu mewariskan bisnis kecap manis ini hingga ke generasi ketiga keluarga.
ADVERTISEMENT
“Bisnis ini kan diwariskan dari kakek nenek ke anak, lalu dari anak ke cucu. Nah, cucunya ada empat orang, jadi sekarang perusahaannya dipegang oleh empat orang, dan pengelolanya juga keluarga sendiri,” kata Eny Wati Raharjo, pengelola pabrik kecap Cap Udang kepada kumparanFOOD melalui sambungan telepon.
Hal yang sama pun diungkapkan oleh Budi Santoso, generasi kedua pewaris pabrik Ketjap Ikan Lele dari Pati, Jawa Tengah. Bisnis kecap manis tersebut telah dikelola sejak tahun 1954--bahkan sebelum tahun tersebut, Go Tjwan Hok, sang perintis, telah mulai menjualnya.
Ada lagi Kecap Benteng Teng Giok Seng asal Tangerang, yang bahkan telah berusia lebih dari satu abad, dan masih diperjualbelikan di wilayah tersebut secara terbatas.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kecap-kecap modern, mereka hanya melayani pelanggan-pelanggan lama yang sudah tak bisa lepas dari cita rasa khas produk mereka. Tak cuma laris untuk keperluan rumah tangga saja, banyak pula rumah makan yang menjadikan produk mereka sebagai identitas.
"Di Purwodadi, ciri khas dari kecap Cap Udang itu untuk masak swike kodok. Rasanya udah cocok di situ, jadi penjualnya tidak mengganti merek kecap yang digunakan untuk mempertahankan rasa hidangannya,” terang Eny.
Saking membekas cita rasanya, kecap bahkan sering dijadikan sebagai buah tangan, bagi mereka yang merindukan cita rasa khas kampung halaman.
“Pembeli dari Purwodadi yang sudah terbiasa mencicipi kecap kami, kalau pulang kampung pasti mencari kecap ini. Kalau ada saudara dari luar kota yang datang ke sini juga pasti titip membelinya,” imbuhnya.
Lantas, di tengah gempuran merek-merek kecap manis yang bermunculan, bagaimana kecap warisan keluarga ini bisa bertahan, hingga mampu meneruskan ke generasi berikutnya?
ADVERTISEMENT
Bagi mereka, kecap yang diproduksi bukanlah sekadar perantara untuk mencari sesuap nasi dan mencari pundi-pundi rupiah. Kecap adalah tradisi keluarga yang patut untuk dipertahankan. Saking sakralnya, sampai-sampai pembuatannya tak boleh sembarangan.
Kecap Benteng Teng Giok Seng, misalnya. Bila bukan keluarga atau sanak saudara, mereka tak boleh campur tangan dalam pembuatan dan peracikan kecap .
Pegawainya--yang tak punya hubungan darah, hanya diperbolehkan ikut andil dalam membersihkan botol-botol kecap dan mengemasnya. Pabriknya pun sangat tertutup, bersama dengan rahasia kelezatan kecap manisnya yang tak lekang waktu.
Begitu pun dengan bahan baku Kecap Cap Udang. Resep racikan kecap warisan mereka harus dijaga kesuciannya hingga ke akar. Eny menuturkan, kecap Cap Udang selalu membeli bahan baku mereka--kedelai hitam, garam, gula, hingga bumbu lainnya dari pemasok yang sama.
ADVERTISEMENT
“Kita punya penjual-penjual gula, garam, dan kedelai langganan, sudah sejak zaman dahulu. Mereka (penjual) sudah diturunkan (dari generasi sebelumnya) untuk menjual produknya ke pihak-pihak tertentu. Takaran komposisinya pun sampai sekarang tidak berubah,” jelasnya.
Proses pembuatan pun masih meneruskan kebiasaan dari leluhurnya. Di tengah maraknya teknologi mesin modern yang memudahkan, mereka--pabrik kecap lintas generasi masih kukuh untuk melakukan proses produksi secara manual, dengan tenaga manusia.
“Kita mempertahankan tradisi, ya, semua prosesnya masih dilakukan secara manual. Pembakarannya juga masih menggunakan kayu, untuk mempertahankan peninggalan leluhur,” imbuh Eny.
Budi Santoso juga mengiyakannya. Produksi Ketjap Ikan Lele miliknya tersebut masih dilakukan secara manual, meski telah ada beberapa teknologi mesin yang dibeli sebagai perbantuan.
ADVERTISEMENT
Produksi dalam jumlah kecil pun tak menjadi masalah, selama kualitas kecap buatan mereka tetap terjaga, dan tak menanggalkan keaslian rasa yang diwariskan dari generasi sebelumnya.
“Proses produksinya mayoritas kita pegang sendiri, jadi rasanya masih dipertahankan. Lebih baik masak sedikit daripada masak banyak tapi rasanya ndak karu-karuan,” kelakar Budi.
Tanpa gentar, mereka tetap melanjutkan apa yang telah dirintis oleh keluarga mereka terdahulu, mempertahankan tradisi antar generasi melalui setetes kecap manis yang mereka racik.
Tak peduli walau zaman sudah berganti, cita rasa khas mereka tak akan ikut luntur dan masih akan selalu terasa di tiap cecapannya, meneguhkan garis keturunan dinasti kecap warisan keluarga hingga melintasi generasi.
Simak selengkapnya konten spesial kumparan dalam topik Sejuta Rasa Kecap .
ADVERTISEMENT