Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
ADVERTISEMENT
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi itu dipekikkan keras-keras di dalam kelas oleh Wiji Thukul muda. Ia membawa buku puisi Aku karya Chairil Anwar ke mana-mana, dan meneriakkan isinya saban hari dengan suara sengau di sana-sini.
Teman-teman sekelas Thukul ingat betul dengan kelakuan nyeleneh kawan badung mereka itu --yang kini lenyap ditelan bumi.
“Ingatanku pasti. Thukul teriak-teriak, alah, tiap hari. Dia kan penggemar Chairil Anwar. Itu lho yang ‘ingin hidup seribu tahun lagi,’” kata Suparno, teman sekelas Thukul di SMP Negeri 8 Surakarta, Jawa Tengah, ketika berbincang dengan kumparan, Minggu (15/1).
ADVERTISEMENT
Suparno tak pernah lupa pekikan-pekikan Thukul yang membelah keheningan seisi kelas.
“Dia ahli baca puisi. Itu dia paling senang. Yang paling sering dibacakan ya puisi itu (Aku),” ujar Suparno yang kini menetap di Purworejo.
Saking seringnya Thukul --yang dulu bernama Widji Widodo-- menjerit-jerit “Aku mau hidup seribu tahun lagi,” Suparno yakin betul Aku adalah puisi favorit dia.
Maka pujangga Chairil Anwar yang lahir 41 tahun sebelum Thukul, dan wafat 14 tahun sebelum Thukul lahir, menjadi salah satu sumber inspirasi Thukul --yang kemudian tumbuh menjadi penyair pemberontak.
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
ADVERTISEMENT
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan menganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
(Peringatan, Wiji Thukul)
Thukul bukan juara kelas. Secara akademis, ia biasa saja, bahkan di bawah rata-rata. Tapi Thukul punya minat besar pada sastra dan seni. Itu sebabnya dia amat senang pelajaran Bahasa Indonesia.
“Dia suka sekali baca dan buat puisi, sampai bermain peran. Dia pernah tampil beberapa kali di (pertunjukan) sekolah,” kata Daryanti, seorang dosen di Solo yang dulu menjadi ketua kelas Thukul.
“Dia itu nyentrik, gayanya. Nyeninya sudah kelihatan dari dulu,” ujar Suparno, mengamini secara terpisah.
Saat itu tahun 1980-an. Thukul baru 16 tahun, dan dia hanya pemuda miskin dari kampung padat penduduk di Solo. Tapi, ujar Daryanti kawan sekelasnya, pada usia muda dan segala keterbatasannya itu, Thukul telah mulai menyuarakan tuntutan akan keadilan.
ADVERTISEMENT
Sajak-sajak perlawanan yang ia buat, yang melucuti tirani rezim, bergema hingga kini. Tapi, seperti apa Thukul muda dan situasi di sekitarnya, yang membentuk dia menjadi seperti itu?
Mari memasuki lorong memori dari mereka, rakyat biasa, yang sempat mengenal Thukul semasa muda.
Thukul muda dikenal kawan-kawannya sebagai sosok sederhana. Bapaknya, yang pelan mengayuh pedal becak di Jagalan Surakarta, sungguh mengupayakan anak-anaknya mengenyam bangku pendidikan.
Thukul paham situasi, mencoba memenuhi biaya sekolah yang tak murah dengan segala cara.
Ia bekerja, dan memilih ladang penghasilan yang membuatnya bisa tetap dekat dengan dunia yang ia senangi.
Thukul remaja, yang matanya besar sebelah sehingga sering dapat ejekan kincer itu, mencari uang di tempat hiburan rakyat.
ADVERTISEMENT
Pada malam-malam tertentu, ia bertolak ke gedung bioskop Remaja Theater dan Kartika Theater. Di sana, Thukul menjadi calo tiket bioskop, berharap bisa mencari tambahan duit sambil tetap melihat seni pertunjukan.
Kegemaran Thukul terhadap seni diketahui hampir seluruh teman sekolahnya. Dari gayanya saja, Thukul sudah nyentrik.
“Kalau teman-temannya kan dimasukkan baju seragamnya. Tapi dia suka dikeluarin kalau pakai baju. Biar nggaya. Wis, pokoknya aneh-aneh deh,” kata Suparno, teman sekelas Thukul, sambil tertawa.
Thukul si eksentrik terlihat betul tak terlalu menikmati bangku sekolah. Ia jengah. Baginya, pada bangunan yang disekat-sekat menjadi kelas itu, terlalu banyak aturan pakem yang tak membebaskan jiwa.
Dia tak mau terkungkung aturan. Thukul muda bertingkah semaunya. Rasa tak nyamannya disalurkan lewat gaya nyeleneh.
ADVERTISEMENT
Sementara kebanyakan murid memilih aktivitas olahraga, Thukul asyik dalam seni dan sastra. Ah, tapi dia tak sendiri.
“Dulu teman akrabnya namanya Heru Subagyo. Sama-sama urakan. Si Heru suka ngamen, Thukul suka puisi. Jadi nyambung. Sama-sama nyeni,” kata Suparno.
Berbagai atraksi Thukul si anak lelaki kerempeng bermata mengantuk itu juga masih diingat Daryanti, meski 37 tahun telah berlalu sejak mereka masih duduk di bangku SMP.
“Untuk ukuran anak SMP, dia itu sangat nyeni,” ujar sang mantan ketua kelas.
Seni dan buku. Itulah dua hal yang paling disukai Thukul muda. Sejak kecil, dia telah membaca banyak buku.
Bahkan, ketika menjadi anggota kor di kapel saat misa, Thukul membawa komik silat Kho Ping Hoo atau pustaka-pustaka pinjaman lain dari persewaan buku.
ADVERTISEMENT
Bukannya membawa buku Madah Bakti yang berisi kumpulan lagu dan doa untuk misa Katolik.
Waktu ditanya adiknya kenapa tak bawa buku Madah Bakti, Thukul menjawab, “Kan aku anggota kor, sudah hafal lagunya.”
Semua itu diingat jelas oleh sang adik, aktivis yang kini berkiprah di Migrant Care, lembaga advokasi buruh migran.
Meski putus sekolah karena biaya pendidikannya dialihkan kepada adik-adiknya, Thukul meneruskan kegemarannya membaca.
apakah nasib kita akan seperti
sepeda rongsokan karatan?
o, tidak, dik!
kita harus membaca lagi
agar bisa menuliskan isi kepala
dan memahami dunia
Petikan sajak Thukul berjudul Puisi untuk Adik itu menyuarakan dengan jelas pesan dia kepada adik-adiknya.
Wahyu bercerita, dunia teater juga memberikan banyak pengaruh pada diri Thukul. Thukul bergabung dengan Teater Mudika pada usia muda.
ADVERTISEMENT
“Kayaknya dulu ngebet ikut teater karena ada cewek yang ditaksir,” ujar Wahyu, Senin (16/1).
Tak tahunya, itu malah jadi awal keterlibatan intens Thukul di dunia seni peran. Di Teater Mudika, Thukul bertemu antara lain Jantit, Suprapto, Supardi, dan Cempe Wisesa Lawuwarta yang menjadi pelatihnya.
Nama terakhir adalah aktor dari Bengkel Teater asuhan WS Rendra, seorang penyair senior. Perkenalan Thukul dengan Cempe Wisesa di Mudika itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya kelompok teater Jagat (Jagalan Timur) yang mengorbitkan nama Wiji Thukul untuk pertama kalinya.
Perkenalan dengan Cempe Wisesa dan kelompok teaternya, makin mematangkan jiwa perlawanan Thukul.
“Dulu tema-tema teater Rendra kan tema-tema perlawanan. Mas Wiji biasanya jadi pemberontak,” kata Wahyu.
Hingga kini, meski raganya menghilang, gelora jiwa Thukul abadi, mewujud dalam karya-karyanya yang terus menginspirasi.
ADVERTISEMENT
Lewat ukiran kata-katanya, Thukul hidup seribu tahun lagi.
Kenali Wiji Thukul lebih dalam