Lipsus berhaji di zaman penjajahan

Berhaji dalam Bayang Penjajahan Belanda

16 Agustus 2019 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus berhaji di zaman penjajahan Foto: Nunki L. Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus berhaji di zaman penjajahan Foto: Nunki L. Pangaribuan/kumparan

Ada 1001 halang rintang untuk berhaji di masa penjajahan. Bukan cuma persoalan biaya mahal dan waktu berbulan-bulan mengarungi lautan untuk mencapai Mekkah, tapi juga pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda di masa itu.

Pemerintah kolonial akan mencatat, menarik denda, membatasi hingga memberi tes pada mereka yang akan atau sudah pergi berhaji. Sebab, para haji ini dinilai memiliki pengaruh dalam mengobarkan semangat perlawanan melawan penjajahan. Bagaimana kisahnya?

“Kalau Mbah Jailani itu dulu naik kapal laut. Pulang pergi masing-masing enam bulan. Dulu masih musim penjajah,” ucap Ainun mengenang kisah kakeknya ketika pergi haji pada tahun 1900-an.
Kepada kumparan, Ainun bercerita bahwa kakeknya saat itu dikenal sebagai salah satu pemuka agama di Kediri, Jawa Timur. Selain berbekal ilmu agama, Jailani memiliki uang cukup untuk ongkos perjalanan, bekal mengarungi lautan, termasuk biaya hidup keluarga selama ia tinggalkan.
Di masa itu, banyak halang rintang yang mesti dihadapi mereka yang pergi berhaji. Perjalanan berbulan-bulan mengarungi lautan mesti ditempuh menggunakan kapal layar atau menumpang kapal dagang. Risikonya, badai bisa menghantam di samudera, perompak mungkin datang merampok, atau kesehatan fisik menurun selama ratusan hari di atas kapal.
Cerita yang dikutip sejarawan Dien Majid dalam buku Berhaji di Masa Kolonial misalnya, mengisahkan si Gapoeng alias Halimatusa’diyah yang berlayar menuju Makkah menggunakan kapal Samoa—kapal angkut milik J.G.M Herklots, salah satu agen haji di masa itu—pada 1893 mesti kehilangan suami dan harta bendanya karena diterjang badai.
... Kira-kira soedah 7 hari berlajar satoe malam dapat angin besar sampei hampir-hampir terbalik kapal itoe dan ajer masuk kadalam kapal sampai pagi-pagi di tjari saja poenja laki tiada lagi dan barang-barang saja itoe joega semoea soedah habis roepanja djatoeh masok laoet…
Peti besar berisi pakaian, 21 karung goni berisi perbekalan, dan uang tunai 150 Gulden habis ditelan badai semalam yang juga menewaskan suaminya. “Makanan selama dalam kapal djikaloe ada orang jang soedah dapat nasi jang ada kasihan, dia beri sedikit-sedikit baharoe saja makan. Kalo tiada kasihan orang-orang itoe tiadalah saja makan.”
Diketahui kemudian bahwa kapal yang digunakan Herklots saat itu merupakan kapal pengangkut batu bara dan tidak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, Herklots mendapat kritik dari agen-agen haji lainnya.
Rombongan Haji tiba di Mekkah. Foto: Dok. KITLV
J.G.M Herklots merupakan salah satu generasi pertama biro perjalanan haji yang dilibatkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengurusi perjalanan dari Nusantara ke Makkah. Selain Herklots, ada pula Borneo Company Limited, Rotterdam Lloyd dan Ocean, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa & Co. Agen-agen haji ini tergabung dalam wadah bernama Kongsi Tiga.
Keberadaan agen haji ini dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengeruk keuntungan dengan memungut biaya tinggi sebesar 110 Gulden. Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu, para calon jemaah haji didata oleh pemerintah kolonial dan harus memiliki dokumen perjalanan resmi atau paspor dari bupati setempat.
Secara tak resmi, pemerintah kolonial meminta para bupati itu untuk menghambat arus lonjakan jemaah haji dengan berbagai syarat. Caranya, tak cuma melaporkan biaya perjalanan, para calon jemaah haji juga harus memastikan bahwa ia memiliki uang yang cukup untuk keluarganya selama si calon jemaah pergi berhaji.
Sepulang dari Makkah, para jemaah ini juga harus melapor dan mengikuti serangkaian tes terlebih dulu sebelum resmi menyandang gelar haji. Jika tidak melapor maka si jemaah akan dikenai denda sebesar 25-100 Gulden. Jika ia dinilai gagal dalam tes, maka si jemaah tidak diperbolehkan menggunakan gelar haji ataupun berpakaian seperti haji.
Berhaji tempo dulu Foto: Basith S/kumparan
Peraturan ketat dalam mengurusi jemaah haji ini dimulai sejak masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Kongsi Dagang Belanda) aktif beroperasi di Nusantara pada tahun 1600an. Alasannya, para jemaah yang pulang dari berhaji dan kembali ke Nusantara tak cuma menyebarkan agama tapi juga semangat perlawanan terhadap VOC.
“Kalau berhaji itu sebenarnya jauh sebelum VOC ada. Namun kemudian mereka melihat ternyata haji punya peran penting, bukan saja dalam menyebarkan agama tapi juga jalan menyebarkan semangat perlawanan,” ucap sejarawan Universitas Indonesia, Muhammad Iskandar, saat berbincang bersama kumparan, pada Rabu (14/8).
VOC yang semula datang untuk berdagang ini pada akhirnya memonopoli perdagangan di Nusantara. Demi mengamankan kelancaran usahanya, VOC kemudian memiliki bala tentara sendiri dan mulai menaklukkan berbagai kerajaan atau kesultanan yang ada. Dari sinilah kemudian perlawanan bermunculan.
Salah satunya dilakukan oleh Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani. Dalam buku karya Henri Chambert Loir bertajuk Naik Haji di Masa Silam jilid I, pria bernama asli Muhammad Yusuf kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, itu tercatat pergi berhaji pada 1649.
Bermukim selama 20 tahun di Haramain—sebutan untuk Mekkah dan Madinah, Syekh Yusuf mendalami ilmu agama dari berbagai guru, salah satunya pendiri Tarekat Khalwatiyah, Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.
Setelah puas mencari ilmu dari beragam guru di Timur Tengah, Syekh Yusuf kemudian pulang ke tanah air. Ia lantas menetap di Banten dan diangkat menjadi mufti (pemberi fatwa) dan penasihat oleh Sulten Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa berniat menjadikan Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.
Di Banten, Syekh Yusuf bahu membahu bersama Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC pada 1682 yang hendak memonopoli perdagangan di sana. Setahun kemudian kompeni berhasil menangkap Sultan Ageng, sementara Syekh Yusuf sendiri ditangkap pada September 1684.
Mulanya Syekh Yusuf dipenjara di Batavia sebelum kemudian dibuang ke Sri Lanka. Di sana dia aktif menulis berbagai karya, di antaranya al-Barakat al-Saylaniyyah, al-Nafhat al-Saylaniyyah, dan al-Manhat al-Saylaniyyah fi Manhat al-Rahmaniyyah. Ia kemudian berhasil menjadikan Sri Lanka sebagai tempat transit para jemaah haji Indonesia yang hendak ke Mekkah ataupun pulang dari Haramain. Para jemaah haji itu selanjutnya membawa buku-buku Syekh Yusuf ke daerah mereka.
Aktivitas Syekh Yusuf itu dianggap menyulut para haji memberontak kepada VOC. Alhasil, Syekh Yusuf diasingkan ke Tanjung Harapan (Cape Town), Afrika Selatan, pada 1963. Lima tahun kemudian ia tutup usia di sana. Salah satu pahlawan nasional ini kemudian diberi gelar Tuanta Salamaka ri Gowa yang artinya Tuan Guru Penyelamat Kita dari Gowa. Syekh Yusuf juga dikenal sebagai salah satu tokoh Islam reformis generasi pertama di Asia Tenggara.
Lukisan kedatangan Syekh Yusuf Foto: Wikimedia
VOC tak bisa menutupi kerisauannya dengan kehadiran para haji yang terus bertambah setiap tahunnya. Kongsi Dagang Belanda itu bahkan sempat melarang orang-orang untuk pergi haji. Namun upaya tersebut dalam praktiknya tak berhasil.
"Seluruh haji dihalang-halangi, kalau pulang dikarantina, lalu dicari asalnya agar tidak kembali ke daerahnya. (Mereka) takut ada perlawanan dari haji itu karena (para haji) selalu punya pengaruh," kata Iskandar.
Menurut Iskandar, upaya represif VOC itu tak bertahan lama setelah mereka melihat potensi keuntungan dalam bisnis perjalanan haji yang banyak diminati penduduk Nusantara. "VOC kemudian membuat larangan tidak semua boleh berangkat haji. Hanya boleh berangkat kalau pakai kapal VOC," paparnya.
"Jadi segi uangnya bayar ke VOC. VOC kelihatan cari untungnya," dia menambahkan.
Ketika korupsi membuat VOC bangkrut dan angkat kaki dari Nusantara pada 1979, bisnis perjalanan haji dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang mengambil alih Hindia Belanda pada 1800an. Monopoli perjalanan haji dilanjutkan dengan aturan yang lebih ketat.
Pemerintah kolonial Belanda menaruh syak wasangka kepada para calon jemaah haji yang di kemudian hari bisa menjadi motor penggerak perlawanan terhadap Belanda. Apalagi, pada 1803 pecah Perang Padri di tanah Minangkabau yang dilatarbelakangi upaya tiga haji, Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik dalam memberantas laku adat yang dinilai tak sesuai ajaran Islam.
Perang tersebut berlangsung selama 35 tahun antara Kaum Padri—kelompok masyarakat pendukung utama penegakan syariat Islam, dan Kaum Adat yang dibantu oleh Belanda. Perang yang mulanya disebabkan persoalan agama berubah menjadi perang melawan penjajahan dengan keterlibatan Belanda di dalamnya.
Para Haji dari Sumatera 1922. Foto: Dok. KITLV
Demi mengantisipasi gerakan perlawanan dari orang-orang yang berhaji, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Resolusi 1825. Aturan tersebut lahir ketika ada laporan permohonan paspor dari sekitar 200 calon jemaah haji yang membuat pemerintah kolonial Belanda waswas.
Selain menerapkan biaya tinggi sebesar 110 Gulden untuk permohonan paspor, Resolusi 1825 juga berisi aturan denda sebesar 1.000 Gulden bagi mereka yang tak mengantongi paspor untuk berhaji. Karena aturan tersebut baru diterapkan di Jawa dan Madura, maka banyak calon jemaah haji yang pergi menuju Sumatera atau Singapra terlebih dulu demi menghindari biaya tinggi.
Sulitnya pendataan karena banyak jemaah haji yang pergi secara mandiri membuat pemerintah kolonial Belanda sedikit melonggarkan aturannya. Pada 1852, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Albertus J. Duymaer van Twist mencabut aturan tersebut dan menghapus denda untuk calon jemaah haji.
Dikutip dari Historia, Van Twist menginstruksikan para kepala pemerintahan daerah di Jawa, Palembang, dan pesisir barat Sumatra agar “mengawasi dengan bijaksana tindakan-tindakan para haji dan memberi laporan tentang mereka bila mengajukan daftar orang-orang yang telah berangkat ke Makkah atau kembali dari Makkah”.
Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java menyebut haji sebagai pendeta Islam. Menurutnya, para haji itu merupakan salah satu kelompok berbahaya.
“Setiap orang Arab dari Makkah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci. Karena mereka begitu dihormati, tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar berontak. Pendeta Islam (haji) itu ternyata hampir selalu merupakan golongan paling aktif dalam setiap pemberontakan,” tulis Raffles.
Ia juga menuliskan bahwa, “Umumnya komplotan dan hasutan mereka itulah yang menyebabkan para pimpinan pribumi terbawa menyerang atau membunuh orang Eropa sebagai kafir dan pendatang.”
Meskipun beragam aturan ketat diterapkan, namun hampir semua kebijakan tersebut gagal menghalau cita-cita berhaji muslim Indonesia pun tak cukup mampu mencegah beragam pemberontakan terhadap kolonialisme.
Salah satu akademisi Belanda yang menjadi penasihat masalah-masalah pribumi bagi pemerintah kolonial, Snouck Hurgronje, mengungkap ketidaksetujuannya akan aturan ketat terhadap calon jemaah haji.
M. Shaleh Putuhena, guru besar sejarah dan kebudayaan UIN Alauddin Makassar, dalam buku Historiografi Haji Indonesia menulis, “Snouck Hurgronje mengakui bahwa kekerasan, pencegahan, dan pengawasan ketat terhadap jemaah haji selama ini tak akan berhasil karena melanggar prinsip kebebasan agama.”
Masjidil haram 1917. Foto: Dok. KITLV
Aturan pun berubah. Tak ada lagi aturan ketat untuk para calon jemaah haji dari Hindia Belanda. Sebab, menurut Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda perlu melihat haji tak cuma bersifat politik tapi adapula yang murni karena agama atau hukum Islam.
Pemerintah Hindia Belanda, kata Hurgronje, tak perlu takut karena kebanyakan jemaah haji dari Hindia Belanda polos dan tak berpendidikan dibanding dengan moekiman (jemaah yang menetap dan belajar di sana). Mereka yang pulang dan menjadi tokoh perlawanan umumnya memang para haji yang menetap lama dan belajar terlebih dulu di sana sebelum kembali ke Hindia Belanda.
Setelah itu, pemerintah kolonial Belanda pun akhirnya melonggarkan aturan berhaji. Dengan semakin banyaknya orang berhaji, kedudukan istimewa dan pengaruh para haji di mata masyarakat perlahan memudar dibanding ketika langkanya jumlah haji dan aturan sulit yang mesti dilewati.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten