Busyro Muqoddas: Gejala Orde Baru di Standardisasi Mubalig

25 Mei 2018 12:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (Foto: kumparan)
ADVERTISEMENT
“Dicopotlah menteri agamanya. Dasarnya apa sih membuat itu? Mubalig yang dukung Jokowi apa gimana? Terus terang aja, ini mau bikin lis mubalig yang dukung Jokowi?”
ADVERTISEMENT
Kalimat tersebut dilontarkan Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono empat hari setelah Kementerian Agama merilis 200 nama mubalig terekomendasi pada Jumat (18/5). Ia beranggapan langkah tersebut serupa dengan kebijakan di masa Orde Baru.
Berbagai respons atas rilis nama mubalig itu melahirkan polemik yang cukup panjang. Kritik tak hanya datang dari kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, pun dari ormas-ormas Islam dan mubalig yang namanya tercantum dalam daftar.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, misalnya, menyebut langkah Kementerian Agama itu kurang tepat. Baginya, daftar mubalig yang baik itu ada ribuan bahkan jutaan nama.
“Menurut saya, yang seharusnya dicatat itu yang di-warning saja, ‘Awas, jangan panggil ustaz ini, awas karena ustaz ini suka provokasi atau apa’. Yang ditulis itu,” ujarnya kepada kumparan, Selasa (22/5).
ADVERTISEMENT
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak meminta agar pembuatan daftar rekomendasi mubalig tidak dilanjutkan. Sebagai salah seorang yang namanya tercantum dalam daftar rekomendasi tersebut, Dahnil menilai kebijakan itu akan menimbulkan kecurigaan, baik terhadap pemerintah maupun sesama mubalig.
“Jadi saran saya sih, sudah dihentikan saja, tidak perlu ada daftar-daftar ini. Kalau pun ada hal-hal seperti itu, buat saja kriteria,” ucap Dahnil kepada kumparan.
Meski begitu ia mengatakan, “Saya memahami kondisi kebatinan Pak Menteri Agama terkait banyaknya mubalig-mubalig yang pemahaman dan penyampaiannya sering kali tidak kompatibel dengan kepentingan kebangsaan.”
Kritik lebih pedas dilontarkan Amien Rais--yang sempat meminta agar pengajian disisipi pesan politik. Pendiri Partai Amanat Nasional itu menganjurkan Menteri Agama Lukman Hakim untuk mundur dari jabatannya jika terbukti keliru dalam mengambil kebijakan.
ADVERTISEMENT
“Saya mengimbau, ciri pemimpin yang berjiwa besar itu mau mundur kalau ternyata keputusannya keliru,” ucap Amien di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (21/5). Lebih lanjut, ia meminta daftar itu untuk segera dicabut.
Jemaah salat (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jemaah salat (Foto: kumparan)
Sorotan tajam atas daftar 200 nama mubalig memang tak ada hentinya. Mantan ketua KPK sekaligus Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqoddas menilai langkah Kemenag menerbitkan 200 nama mubalig terekomendasi itu berpotensi membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru.
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Busyro Muqoddas, di Jakarta, Rabu (23/5).
Bagaimana tanggapan Anda terkait daftar 200 nama mubalig terekomendasi Kementerian Agama?
Itu dasarnya tidak jelas, alasannya tidak jelas, kriteria pengambilan 200 nama juga tidak jelas. Selain itu juga berindikasi, pertama, diskriminatif. Kedua, adu domba. Ketiga, menciptakan kecurigaan sebagian umat kepada sebagian dai yang tidak masuk 200.
ADVERTISEMENT
Keempat, yang saya khawatirkan, ini berimplikasi pada kepentingan-kepentingan politik di balik seorang Menteri Agama, apalagi membuat keputusan yang tidak produktif itu.
Busyro Muqoddas. (Foto: Antara/Fanny Octavianus)
zoom-in-whitePerbesar
Busyro Muqoddas. (Foto: Antara/Fanny Octavianus)
Kekhawatiran (saya) kalau sampai Kementerian Agama itu menjadi (alat) kepentingan-kepentingan politik atau dipolitisasi.
Padahal negara ini kan butuh modalitas umat beragama apa pun juga--lima agama, tidak hanya Islam. Sehingga langkah-langkah kementerian apa pun, juga Kementerian Agama, seharusnya tidak sampai pada langkah-langkah yang dilakukannya sekarang itu.
Mengapa (rilis mubalig) itu dilakukan, justru menarik buat saya. Ada apa di balik semua ini? Oleh karena itu, sebaiknya Menteri (Lukman Hakim) menarik daftar mubalig yang 200 itu.
Saya dengar malah mau ditambah. Kalau itu ditambah, lebih konyol lagi. Itu tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Dan kalau Presiden diam saja artinya Presiden juga berada dalam posisi yang dipertanyakan, mengapa menterinya seperti itu.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu Kemenag bertemu MUI dan akan ada standardisasi mubalig. Bagaimana menurut Anda?
Sekarang begini, kebutuhan mubalig ini kebutuhan umat atau kebutuhan negara? Kebutuhan umat, kan? Mengapa negara (bertindak) terlalu jauh, seakan-akan negara mempunyai kepentingan --seakan-akan, ya kan?
Tapi kita lihat sekarang, dari sisi lain. Negara ini punya kepentingan, punya kewajiban untuk melakukan langkah-langkah yang maksimal di bidang pemberantasan terorisme juga korupsi sampai akar-akarnya, akar penyebabnya.
(Tapi) mengapa untuk yang standardisasi mubalig begitu progresif? Ada apa? Masyarakat juga bisa membaca langkah pemerintah apa, itu sudah tahu. Artinya ada gejala-gejala pengulangan seperti Orde Baru. Dan ini mengerikan, ini mesti agenda semua pihak.
ADVERTISEMENT
Selain ada gejala kuat pengembalian model-model Orde Baru itu, ini juga merupakan satu refleksi dari gejala pemerintah sekarang ini menuju otoritarianisme. Dan otoritarianisme yang berlebihan itu nanti kayak fasis, semua dikontrol. Dan kalau ini terjadi, semua sektor (nantinya) dikontrol oleh pemerintah pusat.
Kemenag akan bekerja sama dengan MUI untuk rekomendasi mubalig ini...
Ya itu, MUI itu bukan lembaga negara, jangan seperti negara langkah-langkahnya. Nggak punya otoritas MUI untuk membuat standardisasi itu.
Menurut Anda, standardisasi untuk mubalig itu penting atau tidak saat ini?
Tidak perlu. Yang menentukan standar (mubalig) itu masyarakat, bukan negara. Makanya saya tadi katakan, kalau negara terlalu ikut campur itu alasannya apa?
Sementara pada sektor menemukan akar-akar terorisme, yang sejak 2001 sampai 2018, peternak-peternak teroris itu masih berkeliara, negara minimalis (mengambil kebijakan), bisanya hanya represif melalui Densus 88.
ADVERTISEMENT
Demikian juga korupsi politik yang semakin mengganas, menggurita. Kenapa di dua sektor penting ini (peran) negara minimalis? (Tapi) untuk yang ini (mubalig) mau ngurusin terlalu dalam?
Gus Dur dulu, ketika masih hidup, tidak suka kalau negara itu terlalu ngurusi agama.
Jangan dikira (mubalig) yang sudah bersertifikat itu nanti diterima masyarakat. Oh, belum tentu. Apalagi nanti kalau sebagian mereka (mubalig), karena merasa bersertifikat, lalu ada honor-honor yang berlebihan. Mubalig itu kan bukan pekerjaan untuk menambah penghasilan.
Dampak dari standardisasi dan daftar mubalig ini menurut Anda seperti apa?
Mengotak-ngotakkan dan kemudian masyarakat teradu domba. Ini politik belah bambu dari pemerintah era Jokowi. Karena Menteri Agama kan tidak mungkin mengambil langkah, kalau langkah itu tidak dilaporkan dulu terhadap Presiden, kan?
Polemik rekomendasi 200 mubalig (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Polemik rekomendasi 200 mubalig (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Kalau di masa Orde Baru kondisinya seperti apa?
ADVERTISEMENT
Saya waktu Orde Baru itu mengalami betul, bagaimana ada sejumlah dosen yang diinteli oleh mahasiswanya. Mahasiswa jadi informan dari Kodim-Kodim. Nah, lalu ada mubalig-mubalig yang dipanggili oleh Kodam 7 Diponegoro, saya mendampingi.
Tuduhannya selalu dikaitkan dengan, kalau dulu subversif, makar, anti-Pancasila, sekarang dibikin isu lagi yaitu tentang radikalisme.
Ini pengulangan rezim Orde Baru yang berkarakter otoritarian. Itu biasanya selangkah lagi menuju sistem totalitarian. Jadi itu neofasis, dan itu bertentangan dengan prinsip dasar negara berdasarkan the rule of law.
The rule of law kan basic-nya demokrasi dan HAM. Nah, demokrasi dan HAM itu tidak bisa kemudian diawasi, kecuali kalau penerapannya chaos, nah itu baru pemerintah turun tangan. Tapi kalau nggak ada indikasi chaos, anarkis, justru pemerintah yang anarkis kalau gitu.
ADVERTISEMENT
Dulu itu ada namanya Kopkamtib--Komando Keamanan dan Pemulihan Ketertiban Negara. Nah, dulu sampai ada SIM, Surat Izin Mubalig, yang dikeluarkan oleh Kopkamtib.
(Sekarang) apa bedanya Surat Izin Mubalig dengan sertifikasi ini? Beda nggak? Sama substansinya. Tapi kalau diteruskan (standardisasi) ini saya kira indikasi rezim itu sedang berasa dalam kondisi yang rapuh.
Dan pemerintah nggak punya kewenangan untuk membuat standardisasi itu. Ini praktik kehidupan beragama serahkan ke umat beragama masing-masing, pemerintah paling banter (untuk) konsultasi.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menampik sertifikasi ulama akan menjadi kebijakan semacam SIM pada masa Orde Baru. Simak wawancara lengkapnya di sini Ma’ruf Amin: Kriteria Mubalig itu Tak Bermasalah dengan Pemerintah
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Blunder Mubalig Kemenag di Liputan Khusus kumparan.