Di Balik Suara Stagnan PKS

7 Mei 2018 14:12 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus PKS - Sohibul Iman berkunjung ke kumparan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus PKS - Sohibul Iman berkunjung ke kumparan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah melonjak signifikan pada Pemilu 2004, perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera tampaknya mentok di angka tujuh persen. Partai yang mencitrakan diri sebagai partai dakwah ini hanya mampu meraih dan mempertahankan suara 8,3 juta pemilihnya.
ADVERTISEMENT
Ragam jurus digencarkan, namun konflik senyap di internal partai membuat PKS tak bisa berbuat lebih.
Kader PKS Arief Munandar dalam disertasinya, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader PKS, menyatakan faksionalisasi di tubuh PKS mempengaruhi kinerja partai.
“Konflik yang terjadi sedemikian tajam hingga berpengaruh pada kelancaran roda organisasi sehari-hari di tingkat DPP. Mekanisme kerja tidak berjalan normal karena kedua belah pihak yang berkonflik enggan duduk satu meja,” tulis Arief.
Sementara Burhanuddin Muhtadi, akademisi dan pengamat politik yang menerbitkan buku Dilema PKS: Suara dan Syariah, melihat ketiadaan tokoh utama menjadi salah satu faktor yang membatasi suara PKS di tiap pemilu.
Berikut perbincangan kumparan dengan Arief Munandar dan Burhanuddin Muhtadi yang ditemui secara terpisah pada Rabu (25/4) dan Kamis (3/5).
ADVERTISEMENT
Bagaimana sebenarnya faksionalisasi di internal PKS?
Arief: Saya keberatan kalau orang melihat faksionalisasi PKS seperti orang melihat faksionalisasi pada umumnya--hitam-putih, A dan B, dikotomis. Saya mengatakan bahwa di PKS, faksionalisasi yang ada dinamis. Jadi temuan saya, ada faksi Sejahtera dan faksi Keadilan, atau apa pun.
Ada dinamika di dalam menafsirkan ideologi partai dan menafsirkan term partai dakwah. Sehingga kalau pun mau disebut, ada faksi yang lebih religious movement oriented, ada faksi yang political party oriented.
The question is, (PKS) ini apakah religious movement yang bergerak di bidang politik, atau ini partai politik yang dulu pernah jadi religious movement. Tarik-menariknya selalu gara-gara itu. Kalau pertanyaannya apakah faksi-faksi ini selalu mempengaruhi setiap proses pengambilan keputusan seperti capres dan lain-lain, jawabannya enggak sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, setiap orang yang menjadi anggota Majelis Syuro--yang jumlahnya 90 orang sekian itu--berdinamika dalam setiap keputusan strategis yang diambil (partai). Mereka yang berada di kelompok religious movement oriented sekarang menguat. Itu bisa kita baca dengan terpilihnya Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al-Jufri dan ketua partai (Presiden PKS) Sohibul Iman.
Sohibul Iman dan Anis Matta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan; Instagram @broanismatta)
zoom-in-whitePerbesar
Sohibul Iman dan Anis Matta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan; Instagram @broanismatta)
Burhanuddin: Sekarang yang terjadi adalah (dominasi) kubu harakah (gerakan dakwah). Tetapi sebenarnya pembedaan berdasarkan dua kubu di PKS ini sudah tidak terlalu relevan. Karena ada juga kubu hizb--kubu partai yang dulu membantu Anis Matta yang sekarang mendukung Sohibul Iman.
Pemilahan berdasarkan latar belakang di mana mereka berasal itu sudah tidak terlalu relevan. Yang terjadi justru konfliknya mengalami personalisasi. Anis Matta-Fahri Hamzah dengan Sohibul Iman-Tifatul Sembiring. Jadi tidak lagi merepresentasikan basis dukungan tempat mereka berasal.
ADVERTISEMENT
Orang seperti Anis dan Fahri ini kan cenderung dari sisi usia lebih muda. Mereka juga lebih progresif karena pergaulannya lebih terbuka. Tapi di sisi lain, kubu lawannya yang sekarang berkuasa, cenderung bermain aman.
Tapi lagi-lagi sudah banyak perubahan. Tidak lagi merepresentasikan--orang menyebutnya--Kubu Keadilan-Kubu Sejahtera.
Apakah faksionalisasi itu mempengaruhi perolehan suara PKS?
Arief: Betul, karena dinamika tadi. Dalam disertasi, saya menyoroti bahwa transformasi PKS menjadi partai politik memang pekerjaan yang belum selesai sampai hari ini.
Sekarang saya tanya, PKS lahir dari apa? Dari sebuah religious movement yang pada masa Orde Baru itu bergerak di bawah tanah. Norma-norma sebuah organisasi yang bergerak di bawah tanah dan organisasi yang terbuka di permukaan itu totally different. Mentransformasi itu bukan persoalan sederhana.
ADVERTISEMENT
PKS sudah punya doktrin yang dibuka kepada publik. Doktrinnya adalah ‘jemaah adalah partai, partai adalah jemaah’. Tapi di dalam praktik, tidak sesederhana itu.
Burhanuddin: Ekperimen PKS untuk menyasar pemilih yang ada di tengah masih dilakukan pada zaman Pak Anis Matta (menjabat Presiden PKS). Berkaca dari pengalaman PKS di Pemilu 2004 dengan memakai isu non-Islam, ‘bersih, peduli, profesional’, itu kan isu universal, PKS tampil dengan perolehan suara cukup besar setelah sebelumnya dengan nama PK (Partai Keadilan) di 1999 hanya dapat perolehan suara tidak signifikan.
Tapi eksperimen di 2009 tidak terlalu berhasil untuk mendeklarasikan PKS sebagai partai terbuka. Ada sebagian kantong PKS, terutama dari kubu harakah, yang bungkam dari PKS karena tidak terlalu setuju dengan strategi elektoral yang menyasar pemilih di luar zona nyaman atau ceruk pasar pemilih PKS.
ADVERTISEMENT
Tapi juga suara PKS di Pemilu 2009 tidak terlalu turun. Pada Pemilu 2014, ada sedikit penurunan, tetapi karena ada persoalan yang sulit dikendalikan, yaitu kasus korupsi yang menyandera PKS karena melibatkan mantan presiden PKS (Luthfi Hasan Ishaaq yang terjerat kasus suap kuota impor daging sapi).
Pendukung Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO/Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO/Bay Ismoyo)
PKS identik dengan isu-isu agama. Alami atau strategi elektoral semata?
Arief: Kan PKS ini mulainya dari aktivis dakwah di kampus, di luar kampus, di profesi, dan lain-lain yang dikenal masyarakat umum sebagai tarbiyah.
Burhanuddin: Menurut saya wajar. Dalam pengertian, bagaimana pun PKS dari sisi khittah (tujuan) kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari doktrin Islam. Jadi doktrinnya kan percaya bahwa negara dan agama itu satu entitas yang tidak bisa dipisahkan. Itu harus disatukan.
ADVERTISEMENT
Dan dalam konteks kelahiran PKS--kebetulan tesis saya juga tentang PKS, mereka akan jauh lebih mudah untuk memobilisasi isu agama, karena memang dari sisi raison d’etre-nya (tujuan utama) ya itu (agama).
Jadi sulit untuk menafikan kenyataan bahwa PKS terlahir untuk melakukan semacam islamisasi politik di Indonesia. Kalau kemudian ada isu-isu terkait politik identitas yang mereka mainkan, ya tinggal pada pemilih: bersedia memilih PKS atau tidak.
Jalan PKS, si Partai Dakwah (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan PKS, si Partai Dakwah (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
Kalau kita lihat data survei, basis pemilih yang terlalu kanan itu tidak terlalu besar. Pemilih yang ada di ekstrem kanan yang terlalu Islam, jumlahnya sedikit. Yang ekstrem kiri juga sedikit.
Yang besar adalah yang di tengah. Lalu karena pemilih tidak bisa membedakan ‘jenis kelamin’ suatu partai di kiri atau di kanan, akhirnya mereka cenderung ke tengah.
ADVERTISEMENT
Dari sisi itu, partai-partai non-Islam seperti PDIP, Demokrat, Gerindra, memiliki keunggulan karena menyediakan tokoh yang punya appeal--bukan hanya di segmen pemilih nasionalis, tapi juga religius.
Jadi, partai-partai seperti PKS itu enggak punya tokoh, dan mereka hanya menyasar segmen pemilih yang berada di kanan dalam kurva normal yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kalau mengandalkan terus di situ, sulit buat partai-partai Islam untuk memenangi Pemilu 2019.
Kenapa PKS sampai menyodorkan sembilan nama cawapres?
Arief: Gerindra minta cawapres dari kami, dari PKS. Menyodorkan sembilan nama itu kebutuhannya tuh untuk itu sebenernya.
Burhanuddin: Karena kita tahu di 2019 pileg dan pilpres dilaksanakan bersamaan, dalam konteks pileg-pilpres serentak, kemungkinan terjadinya efek ekor jas atau coattail effect itu besar. Kalau PKS tidak punya tokoh yang maju minimal sebagai cawapres yang berlaga di 2019, dikhawatirkan elektabilitas PKS drop.
ADVERTISEMENT
Jadi mereka ingin, dari sembilan nama itu minimal satu yang dibina (dipilih). Nah, untuk masuk di (kubu) Jokowi lebih berat, karena harus meyakinkan basis massa mereka yang cenderung anti-Jokowi. Sementara koalisi permanen dengan Prabowo membuka kemungkinan lebih (bagi PKS) untuk dipilih sebagai pendamping Prabowo, dan itu tentu memberi efek terhadap (perolehan suara) PKS di 2019.
Nah, dengan sembilan nama ini kira-kira PKS mengatakan, ‘Oke silakan pilih, tapi dari kader saya’. Sebab kalau misal non-kader tapi mendapatkan tiket melalui PKS, insentif elektoralnya apa untuk PKS?
Elektabilitas Anies Baswedan yang nonpartai lebih tinggi dari kader PKS, sehingga potensial diambil sebagai cawapres. Bagaimana PKS bisa bernegosiasi dengan kondisi itu?
Arief: Kita nggak tahu apakah last minute Pak Prabowo memberikan tiketnya pada orang lain. Kita juga nggak tahu apakah last minute PKS punya hitungan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Burhanuddin: Bisa saja, misalnya, Anies di-PKS-kan (ditawari menjadi kader PKS). Menurut saya, kalau Prabowo berpasangan dengan siapa pun dan hanya didukung oleh dua partai, maka efek ekor jas-nya itu dimonopoli oleh dua partai pengusungnya.
Lain dengan Pak Jokowi. (Koalisi) partainya terlalu banyak dan sulit buat partai selain PDIP untuk mendapatkan coattail effect-nya. Jadi pada titik itu, terlepas dari menang-kalah melawan Jokowi di 2019, kalau pun kalah tapi dukungannya cukup banyak. Itu kan efek ekor jasnya hanya dinikmati berdua.
Kalau ada banyak partai, masing-masing berebut roti, alih-alih dapat roti malah dapat remah.
Safari politik Anis Matta. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)
zoom-in-whitePerbesar
Safari politik Anis Matta. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)
Deklarasi Anis Matta disebut keluar dari kultur PKS? Apakah sembilan cawapres PKS tidak berupaya mempromosikan diri untuk partai guna meraup suara di Pileg?
ADVERTISEMENT
Arief: Pak Anis punya gaya yang khas. Bagi sebagian orang, ini dinilai progresif. Bagi kelompok lain, ini dianggap agak enggak sejalan dengan kultur partai.
Jadi apa yang dilakukan Anis Matta, bagi sebagian orang ini progresif, bisa membuat PKS menjadi partai besar. Tapi sebagian lainnya menganggap kultur kami bukan seperti itu. Bukan seperti itu memaknai kultur partai dakwah.
Kalau kita lompat ke depan, kita bisa lihat sembilan cawapres PKS, hanya Pak Anis Matta kan yang cukup aktif mempromosikan diri dengan berbagai cara. Yang delapan lain enggak.
Pak Aher tuh enggak pernah mempromosikan diri sendiri. Itu kultur PKS. Kalau ada orang bagus, kader PKS yang lain akan mempromosikan dia, akan mengangkat namanya. Justru di kasus Pak Aher, menurut saya, kultur PKS banget.
ADVERTISEMENT
Burhanuddin: Bukan hanya Anis Matta yang bekerja, Ahmad Heryawan juga bekerja. Bahkan kalau kita lihat, beliau (Aher) bekerja dengan menonjolkan klaim keberhasilannya sebagai Gubernur Jawa Barat. Kemudian juga meraih gelar doktor sebelum 2019 di Universitas Padjajaran.
Jadi bukan hanya Anis. Sembilan orang itu disuruh kampanye karena mereka tahu mereka ini kan populer menurut kader inti saja. Kader inti berapa sih? Sementara jumlah pemilih, kalau merujuk Pemilu 2014, ada 187 juta.
ADVERTISEMENT
Kalau di survei-survei pemilih yang dilakukan dengan proses sampling yang benar, dari sembilan calon yang diusung PKS itu, rata-rata ya kurang terkenal. Mereka terkenal di kader inti saja, makanya disuruh sosialisasi.
Jadi (Anis Matta) bukan keluar dari kultur PKS. Anis Matta itu mendapatkan mandat dari PKS untuk kerja. Dari 9 nama ini, kalau mau jadi cawapres Prabowo misalnya, Prabowo kan mengharapkan 9 nama itu memiliki nilai tambah elektoral. Kalau cuma terkenal di internal partai, buat apa.
Ambisi PKS di Pilpres 2019 (Foto: Putri Sarah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ambisi PKS di Pilpres 2019 (Foto: Putri Sarah A/kumparan)
Kemungkinan PKS jadi bagian dari Poros Ketiga bagaimana?
Arief: Kalau kita lihat yang ada di permukaan, itu semuanya cukup klir. PKS sudah memutuskan koalisi yang relatif permanen dengan Gerindra. Jadi kalau saya ditanya apakah PKS bulat mendukung Prabowo, jangan ditanya sama PKS, tolong tanya sama Gerindra. Seberapa firm mereka (terkait) Pak Prabowo akan maju sebagai capres.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, variabel terbesarnya justru ada di Gerindra dan Pak Prabowo. Saya yakin selama Gerindra dan Pak Prabowo firm, PKS akan firm.
Burhanuddin: Tergantung ada enggak kesempatan dari PKS untuk mencalonkan kadernya. Jadi bisa saja. Tapi pertanyaannya adalah: koalisi dengan siapa? Karena suara PKS tidak cukup untuk mengusung poros ketiga.
Gatot sendiri elektabilitasnya kecil, di bawah bayang-bayang--terutama--Prabowo, karena basisnya mirip.
Prabowo, walaupun belum melakukan apa-apa, sudah memiliki basis pemilih loyalis. Jadi kalau misalnya Gatot maju sebagai poros alternatif ketiga melawan Prabowo, melawan Jokowi, yang masuk putaran dua sampai saat ini adalah Jokowi versus Prabowo.
Kalau Gatot tidak punya peluang untuk memenangi pemilu berikutnya, ngapain partai-partai mengusung Poros Ketiga, wong elektabilitas Gatot juga tidak kompetitif.
ADVERTISEMENT
------------------------
Endus aroma PKS ‘Pecah’ di Liputan Khusus kumparan.