Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Air laut naik pelan-pelan, 5–6 sentimeter per tahun. 2050, ada dua kemungkinan letak tepi laut Jakarta. Skenario optimistis di Harmoni, skenario pesimistis di Semanggi.
― Firdaus Ali, Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air
Terbenam atau angkat kaki. Hanya itu pilihan Maksim bila tak mau rajin-rajin meninggikan rumahnya. Lelaki 60-an tahun itu tinggal di Kampung Muara Baru Bau, Penjaringan, Jakarta Utara. Kampung yang perlahan tenggelam .
“Dua tahun sekali rumah ini saya naikkan setengah meter. Sudah empat kali saya meninggikan rumah. Entah tanah yang turun atau air laut yang terus naik,” kata Maksim kepada kumparan di rumah panggungnya, Kamis (25/10).
Kampung Maksim memang lebih rendah dari daratan. Satu meter di bawah permukaan laut. Jalan Tuna Raya di timur kampung itu―terpisah laut yang menjorok ke darat―bahkan sering terendam meski telah empat kali ditinggikan.
Maksim lalu menunjuk ke laut. “Dulu, di sebelah sana ada pulau kecil dikelilingi pohon kayu api-api.” Pulau itu kini menghilang ditelan laut yang makin tinggi.
Muara Baru bukan satu-satunya area di utara Jakarta yang sedang dan akan tenggelam. Muara Angke dan Muara Karang di Pluit, serta kawasan elite Pantai Indah Kapuk, bakal mengalami nasib serupa. Keempat wilayah itu berada di Kecamatan Penjaringan yang berbatasan dengan Laut Jawa dan Kepulauan Seribu di utara.
Kini sebagian daerah Pluit memang sudah 2–4 meter di bawah permukaan laut, bahkan―seperti terjadi pada Jalan Tuna Raya―kerap terbenam sampai satu meter di bawah permukaan laut.
Riset tim ahli geodesi Institut Teknologi Bandung memproyeksikan 95 persen daerah di Jakarta Utara akan berada di bawah permukaan laut pada 2050.
“Ada potensi tenggelam,” ujar Heri Andreas, pakar geodesi ITB yang terlibat penelitian tersebut, saat berbincang dengan kumparan, Selasa (23/10).
Menurut Heri, permukaan tanah di Jakarta turun setiap tahun dengan kedalaman bervariasi, antara 1–25 sentimeter. Untuk daerah utara Jakarta, penurunan mencapai 20–25 cm per tahun. Maka 10 tahun ke depan, tanah di Jakarta Utara akan ambles hingga 2,5 meter.
Temuan tersebut sesuai dengan data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menunjukkan kawasan pesisir Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah atau land subsidence secara konstan, rata-rata sedalam 11–12 cm per tahun.
Bukan cuma Jakarta Utara yang diintai bahaya. Permukaan tanah di Jakarta Barat tiap tahunnya juga turun 15 cm, Jakarta Timur 10 cm, Jakarta Pusat 2 cm, dan Jakarta Selatan 1 cm.
“Jika penurunan tanah terus terjadi, akhirnya daratan nanti jadi di bawah permukaan laut. Kalau tanah lebih rendah dari permukaan laut, otomatis air laut akan menerobos masuk ke darat kalau tidak dibendung,” kata Heri.
John Englander, pakar kelautan dan pendiri International Sea Level Institute, menempatkan Jakarta di urutan teratas dalam daftar 10 kota yang paling cepat tenggelam di dunia, melewati Manila, Ho Chi Minh, Bangkok, Shanghai, Venesia, dan lain-lain.
Pemeringkatan tersebut, menurut John dalam situsnya johnenglander.net, Januari 2018, tidak bersifat mutlak. Hasil berbeda dapat diperoleh, tergantung parameter dan periode penelitian.
Yang jelas, tulis John, “Dalam setengah abad terakhir, beberapa kota yang rentan tenggelam seperti Tokyo dan Venesia mengalami perbaikan kondisi karena pembatasan ketat pada pemompaan air tanah. Namun Jakarta dan Bangkok tenggelam lebih cepat.”
John yang menjelajah Greenland dan Antartika untuk mengobservasi kenaikan permukaan laut itu menyatakan, Jakarta saat ini menghadapi level kenaikan air laut tertinggi di dunia―3 meter dalam 30 tahun terakhir.
Itu pula sebabnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat membangun tanggul laut di utara Jakarta untuk melindungi kawasan pesisir dari gelombang pasang, banjir rob, penurunan permukaan tanah, dan abrasi.
Tanggul laut pengaman pantai Jakarta merupakan bagian dari megaproyek Pengembangan Terpadu Kawasan Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Tanggul tersebut direncanakan membentang sepanjang 120 kilometer. Untuk saat ini, tanggul dibangun 20 km dulu di zona paling kritis, menyusul akan ditambah hingga 60 km.
Kementerian PUPR telah menggarap 75 meter tanggul tahap pertama yang selesai tahun 2014, dan kini tengah mengerjakan 4,5 km tanggul untuk tahap kedua. Tanggul sepanjang 4,5 km itu merentang dari Muara Baru di Penjaringan ke Kali Baru di Cilincing.
Proyek NCICD yang mencakup pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) berbentuk garuda itu dimulai Oktober 2014 pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ini program jangka panjang pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Belanda, Korea Selatan, serta Jepang.
Sudah tentu pengerjaan tanggul laut raksasa terhitung tak mudah dan butuh waktu lama, sekitar 10–15 tahun. Pembangunan yang sekarang sedang berjalan adalah yang menjadi prioritas, yakni fase A. Sementara fase B dan C yang meliputi pembangunan tanggul luar dan waduk besar, belum akan dilakukan dalam waktu dekat.
“‘Jakarta kota yang paling cepat tenggelam’ itu benar dan bisa jadi kenyataan, karena muka tanah Jakarta turun 6 sentimeter per tahun. Ini serius,” kata Menteri Bambang, 28 Agustus 2018, dua pekan setelah BBC menurunkan laporan berjudul Jakarta, the fastest-sinking city in the world.
Laporan BBC itu memantik munculnya ragam artikel soal Jakarta yang tenggelam. Sebut saja ulasan Jakarta is slowing sinking into the Earth di situs World Economic Forum, atau Jakarta Is the World’s Fastest-Sinking City and It May Have Only a Decade Left di The Weather Channel, dan lain-lain.
Jakarta benar-benar mencuri perhatian dunia. Ia seolah telah sungguh tenggelam.
Tahun-tahun sebelumnya, ramalan Jakarta karam telah banyak dibahas di media internasional. Pada 21 Desember 2017, misal, The New York Times mempublikasikan Jakarta Is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater. Setahun sebelumnya, 21 November 2016, The Guardian menulis Jakarta at 30 million: my city is choking and sinking.
Presiden Jokowi sadar betul dengan kerentanan Jakarta, ibu kota negara yang dihuni lebih dari 10 juta jiwa.
“Data yang saya terima, penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Diperkirakan seluruh Jakarta Utara berada di bawah permukaan laut pada 2030,” kata Jokowi dalam rapat terbatas Reklamasi Jakarta (National Capital Integrated Coastal Development), 27 April 2016.
Reklamasi juga bagian dari NCICD. Kini, meski reklamasi 17 pulau di utara Jakarta dihentikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, NCICD tetap berjalan. Bila NCICD terealisasi, tanggul laut raksasa di utara Jakarta akan dilengkapi laguna-laguna besar untuk menampung aliran 13 sungai di Jakarta―yang bakal tak bisa mengalir ke laut jika tanah Jakarta terus turun lebih rendah dari permukaan laut.
Pada rapat terbatas NCICD di Kantor Presiden, April 2016 itu, Jokowi yakin, “NCICD akan menjadi sebuah jawaban untuk Jakarta.”
Apakah ancaman Jakarta tenggelam dapat ditanggulangi dengan tanggul raksasa multifungsi?
Belum tentu, sebab laut bukan satu-satunya masalah. Petaka datang dari dua arah. Sementara tanah di Jakarta akan ambles 2,5 meter, permukaan laut naik hingga 3 meter.
Air laut di seluruh dunia naik karena pemanasan global menyebabkan bongkah-bongkah es di kutub mencair lebih cepat, sedangkan permukaan tanah turun karena beban bangunan dan penyedotan air tanah dalam yang berlebih.
“Gedung-gedung di Jakarta tidak mendapat suplai air cukup, kemudian mengambil air tanah dalam tanpa mengisinya kembali. Terjadilah defisit air tanah dalam yang menyebabkan permukaan tanah turun,” kata Firdaus Ali, Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air.
Bukan Jakarta semata kota yang punya problem penurunan tanah. Tokyo pun mengalaminya seabad lalu. Bahkan dengan kondisi lebih buruk dari Jakarta. Namun ibu kota Jepang itu mengambil langkah serius untuk mengatasinya.
“Usai Perang Dunia II, Tokyo menggalakkan program untuk mengurangi sumur air sekaligus menyuntikkan air ke tanah. Kini tak ada sama sekali penurunan tanah di Tokyo,” ujar John Englander yang menulis buku High Tide on Main Street: Rising Sea Level and the Coming Coastal Crisis.
Bagaimana dengan Jakarta?
Oswar Muadzin Mungkasa, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, mengatakan Pemprov kini tengah menyusun rancang makro pengelolaan air tanah bersama sejumlah pihak terkait.
“Kami sedang mengumpulkan data untuk memetakan kondisi air tanah Jakarta,” ujar Oswar, Rabu (24/10).
Segala upaya amat menentukan nasib Jakarta di masa depan: apakah separuh kota ini akan karam , atau dapat kokoh tersangga.
Time will tell.
------------------------
Waspada ancaman Jakarta Tenggelam . Simak Liputan Khusus kumparan.