Mengenang Halim sang Prajurit Langit

10 Januari 2017 10:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Halim Perdanakusuma. (Foto: Dok. Keluarga Halim Perdanakusuma)
zoom-in-whitePerbesar
Halim Perdanakusuma. (Foto: Dok. Keluarga Halim Perdanakusuma)
Hari ini tiga tahun lalu, 10 Januari 2014, Bandar Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur pertama kali dibuka untuk penerbangan komersial. Sebelumnya, Halim hanya digunakan sebagai pangkalan udara militer, markas Komando Operasi Angkatan Udara I TNI Angkatan Udara.
ADVERTISEMENT
Mungkin banyak di antara kamu yang kerap terbang dari Halim, dan tahu bahwa nama bandara itu diambil dari nama tokoh. Tapi sudahkah kamu mengenal sosok Halim? Siapa dia? Apa jasanya sampai-sampai namanya diabadikan menjadi nama bandara?
Halim, yang bernama lengkap Abdul Halim Perdanakusuma, lahir di Sampang, Madura, pada 18 November 1922. Ayahnya seorang Patih Sumenep bernama Haji Abdul Gani.
Sejak kecil, Halim tumbuh menjadi anak yang dibanggakan oleh ayahnya. Pun ketika dewasa, ia membawa kebanggaan bagi institusinya, TNI AU.
“Pak Halim Perdanakusuma mengemban misi melawan penjajah. Beliau begitu heroik menerbangkan pesawat yang kondisinya sangat terbatas pada masa revolusi,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya saat berbincang dengan kumparan, Desember 2016.
Pesawat terakhir yang ditumpangi Halim. (Foto: Dok. Pusat Sejarah TNI)
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat terakhir yang ditumpangi Halim. (Foto: Dok. Pusat Sejarah TNI)
Awal karier Halim sebagai penerbang dimulai pada permulaan Perang Dunia II tahun 1939. Pada usianya yang belum genap 17 tahun, Halim sudah dibebani tugas berat sebagai instruktur navigasi pesawat.
ADVERTISEMENT
“Selama Perang Dunia II, dalam menjalankan penugasan militer, Abdul Halim bertugas di Royal Canadian Air Force dengan pangkat Wing Commander. Dia mendapat tugas di skuadron tempur pesawat Lancaster dan Liberator,” ujar Jemi.
Lancaster dan Liberator ialah pesawat pengebom berat asal Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Dengan pesawat itu, Halim melakukan sedikitnya 44 misi penerbangan.
Pasca-Perang Dunia II, Halim yang dinilai berprestasi kemudian diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Udara. Ia bertugas merancang operasi penyerangan.
Salah satu misi operasinya yang berhasil adalah saat AURI membalas Agresi Militer Belanda I pada 29 Juli dini hari. Saat itu, pasukan udara pimpin Halim membombardir tiga wilayah yang dikuasai Belanda, yakni Semarang, Salatiga, dan Ambarawa di Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Halim betul-betul mempersiapkan serangan itu. Ia membagi tugas prajuritnya dan merancang skema penyerangan berdasarkan modal pesawat alakadarnya yang dimiliki AURI saat itu.
“Empat pesawat terbang yang masih selamat, yaitu pembom tukik Guntai, flight trainer Hayabusha, dan dua buah pesawat latih dasar Cureng, disiapkan untuk melakukan serangan balasan,” kata Halim kepada pasukannya saat mengatur strategi, dikutip dari biografi Halim Perdanakusuma karya Drs. M. Soenjata Kartadarmadja terbitan Widjaya Jakarta pada 1980.
Penyerangan yang dipimpin Halim pada 29 Juli itu kini diperingati setiap tahun sebagai Hari Bhakti Angkatan Udara.
Monumen pesawat terakhir yang ditumpangi Halim. (Foto: Dok. Keluarga Halim Perdanakusuma)
zoom-in-whitePerbesar
Monumen pesawat terakhir yang ditumpangi Halim. (Foto: Dok. Keluarga Halim Perdanakusuma)
Halim yang tangguh dan cerdik dalam mengatur strategi perang, dikenal sebagai sosok yang ramah dan periang. Dia memiliki banyak sahabat, juga segudang bakat.
Halim merupakan instruktur penerjun payung pertama di Indonesia. Waktu itu, alat terjun payung merupakan peninggalan Jepang yang kondisinya memprihatinkan. Besi-besinya sudah tua, dan parasutnya hampir robek.
ADVERTISEMENT
Tapi pada masa perjuangan, perlengkapan minim biasa digunakan sehari-hari. Keberanian dan kenekatan membuat semua yang mustahil menjadi mungkin.
Halim terus memompa semangat para prajuritnya untuk berlatih setiap hari agar bisa melayang di udara menggunakan parasut.
Komodor Halim bersama siswa penerbang. (Foto: Dok. Pusat Sejarah TNI)
zoom-in-whitePerbesar
Komodor Halim bersama siswa penerbang. (Foto: Dok. Pusat Sejarah TNI)
Pada suatu pagi di Lanud Maguwo, Yogyakarta (kini Lanud Adisutjipto), para penerjun payung siap dengan segala peralatan mereka, dan Halim berdiri di sudut landasan dengan optimisme terpancar di wajah.
Ia siap menonton anak buahnya beraksi ditemani tamu istimewa, Panglima Besar Jenderal Soedirman. Seperti Halim, Soedirman tampak antusias.
Halim bersama Jenderal Soedirman. (Foto: Dok. Pusat Sejarah TNI)
zoom-in-whitePerbesar
Halim bersama Jenderal Soedirman. (Foto: Dok. Pusat Sejarah TNI)
Selain dunia militer, Halim juga memiliki gairah pada dunia seni, yakni seni musik dan seni lukis. Dia sangat senang melukis, dan menghasilkan banyak lukisan.
Halim pun bisa bermain bola dengan cukup apik. Beberapa kali ia memamerkan kebolehannya menggesek biola di depan teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Tapi paling spesial adalah ketika Halim memainkan sebait lagu lewat gesekan biolanya di hadapan belahan jiwanya, Kussadalina. Halim memang dikenal romantis.
Kussadalina, Istri halim Perdanakusuma. (Foto: Kelurga Halim Perdanakusuma)
zoom-in-whitePerbesar
Kussadalina, Istri halim Perdanakusuma. (Foto: Kelurga Halim Perdanakusuma)
Kussadalina harus ekstra sabar mengarungi biduk rumah tangga mereka, sebab tugas Halim mengharuskannya sering meninggalkan keluarga.
Pada akhirnya, suratan takdir pun membuat Halim mesti meninggalkan sang istri selamanya.
Halim gugur, jatuh dari langit, pada usia muda, 25 tahun, saat Kussadalina mengandung anak mereka.
Pesawat yang ia terbangkan menembus blokade Belanda, terjebak cuaca buruk dan jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia, Desember 1947.
Meski telah selamanya pergi, nama Halim kini abadi.
Jangan lewatkan kisah selanjutnya:
ADVERTISEMENT
Wisnu Prasetiyo & Ulfa Rahayu