Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Penerbangan Terakhir Halim si Jimat Hitam
10 Januari 2017 15:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Halim Perdanakusuma, prajurit Angkatan Udara Republik Indonesia, pada satu masa bagai memiliki nyawa ganda. Saat bergabung dengan Angkatan Udara Britania Raya setelah mengikuti pendidikan navigasi di Angkatan Udara Kanada, dia selalu selamat dalam tiap misi yang dijalaninya.
ADVERTISEMENT
Ketika itu Perang Dunia II melanda jagat. Nyawa prajurit bak barang murah, melayang dengan mudah. Tapi Halim senantiasa berhasil membawa seluruh pesawat yang ia navigasikan, kembali ke pangkalan dengan selamat.
Pernah waktu skuadronnya dalam perjalanan menuju ke pangkalan di Inggris, mereka dicegat oleh pesawat-pesawat bersenjata roket. Pesawat Halim dibombardir roket. Tapi ia lolos.
Keberuntungan berulang Halim itu membuat dia mendapat julukan dari kawan-kawan penerbang Inggris-nya.
The Black Mascot alias Jimat Hitam. Itulah julukan Halim muda.
Hitam merujuk pada kulit berwarna Halim. Ia dianggap sebagai pembawa keberuntungan atau keselamatan bagi skuadron tempurnya.
Pada lain waktu, kali ini di Indonesia, Halim bersama prajurit-prajurit lain diberi tugas mengusir tentara Jepang yang ingin memasuki Indonesia melalui Jawa. Saat itu, kapal torpedo yang digunakan Halim dibom Jepang tanpa ampun.
ADVERTISEMENT
Halim disangka gugur karena tak ada kabar tentangnya. Namun ia ternyata muncul dengan selamat.
Si Jimat Hitam sungguh dinaungi bintang kemujuran.
Pada insiden lain, 23 April 1946, pesawat Tachikawa 98 Cukiu yang ditumpangi Komodor Muda Halim mengalami kerusakan pada alat pendaratnya setelah terbang dari Lanud Maguwo Yogyakarta (kini Adisutjipto) menuju Jakarta.
Pesawat Halim tak dapat mendarat dengan normal, namun akhirnya bisa mendarat darurat. Halim lagi-lagi selamat.
Tak ada seorang pun tahu takdir manusia. Keberuntungan tak menaungi Halim selamanya. Halim menjemput maut ketika menjadi navigator pesawat Avro Anson RI 003. Saat itu ia terbang bersama Opsir Udara I Iswahjudi, seorang penerbang andal.
Halim dan Iswahjudi ketika itu dalam misi menjajaki kemungkinan pembelian senjata dan pesawat oleh Indonesia. Mereka juga membawa logistik ketika RI 003 yang ditumpanginya terbang dari Bangkok, Thailand, menembus blokade Belanda menuju Singapura.
ADVERTISEMENT
Nahas, Halim dan Iswahjudi tak hanya harus menghindari intaian Belanda saat melewati Selat Malaka. Mereka juga menghadapi cuaca buruk.
Cuaca buruk yang menghadang ternyata berakibat fatal. Kali itu Halim tak lolos. Pesawatnya jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia, 14 Desember 1947.
Indonesia kehilangan sekaligus dua putra terbaiknya.
Halim dan Iswahjudi kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional, dan nama mereka diabadikan menjadi nama Pangkalan Udara TNI AU, yakni Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta dan Lanud Iswahjudi di Madiun.
Pada masa itu, pesawat yang dibawa Iswahjudi dan Halim tidak memiliki radar cuaca sehingga penerbang tak tahu harus berbelok ke mana untuk menghindari badai dan petir.
“Tidak seperti sekarang, untuk menghindari cuaca jelek kita bisa ke kiri, kanan, atas, bawah, tergantung yang bisa dilihat dari radar cuaca yang ada di pesawat,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya, penerbang jet tempur A-4 Skyhawk, saat berbincang dengan kumparan, bulan lalu.
ADVERTISEMENT
Saat pesawat Halim dan Iswahjudi jatuh, air laut sedang pasang sehingga pencarian tak langsung membuahkan hasil. Baru keesokannya jenazah ditemukan.
“Diketahui itu jenazah bapak karena di sabuk ada namanya. Tertulis di situ ‘Halim Perdanakusuma,’” kata putra semata wayang Halim, Ian Santoso, di kediamannya, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
“Menurut cerita nelayan setempat, lumba-lumba mendorong jenazah Halim ke pantai,” imbuh mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI itu.
Namun jasad Iswahjudi tak pernah ditemukan. Begitu pula bangkai pesawat RI 003 bagai hilang tak berbekas.
Ian sama sekali tak pernah bertemu dengan sang ayah karena ia masih di kandungan ketika Halim gugur dalam tugas di usia 25 tahun.
“Sedikit yang saya tahu soal ayah. Yang pasti dia pekerja keras dan sangat mencintai Indonesia,” kata Ian.
Meski Ian dan Halim tak pernah bertemu, Halim punya pesan penting untuknya yang disampaikan lewat sang ibunda, Kussadalina.
ADVERTISEMENT
“Menjadi apapun sesuai pilihan diri sendiri, dan yang terpenting: Indonesia, Indonesia, Indonesia,” ujar Ian menirukan ucapan ibunya.
Halim telah tiada, mati muda, namun pengorbanannya bagi bangsa tak pernah sia-sia.
Jangan lewatkan rangkaian kisah Halim:
Wisnu Prasetiyo & Ulfa Rahayu