Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Senja Sepi Kussadalina Selepas Halim Pergi
10 Januari 2017 13:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are grey
You never know, dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away
ADVERTISEMENT
The other night, dear, as I lay sleeping
I dreamt I held you in my arms
When I awoke, dear, I was mistaken
So I hung my head, and I cried
(Petikan lagu You Are My Sunshine)
Lagu dengan lirik sederhana, bernada riang, namun mengandung kegetiran itu kerap disenandungkan Kussadalina, dan didengar anak semata wayangnya, Ian Santoso.
Ian sampai hafal di luar kepala hingga kini. Putra Kussadalina dan Halim Perdanakusuma itu lantas menyanyikan sebait lagu yang pertama kali direkam tahun 1939 tersebut saat disambangi kumparan di kediamannya, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Minggu pagi (18/12).
“You are sunshine, my only sunshine…” ujar Ian berdendang sambil menjamu kumparan dengan secangkir kopi moka dan sepiring kue lopis.
ADVERTISEMENT
Ian tak pernah sekalipun bertemu ayahnya. Ia lahir saat Halim telah tiada. Itulah kenapa, ujar Ian, dia tak banyak tahu soal sang ayah.
“Sedikit yang saya tahu soal ayah. Hanya sedikit yang diceritakan ibu pada saya,” kata mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI itu.
Meski tak sempat bertemu dan mengenal Halim, Ian memperoleh namanya langsung dari sang ayah.
“Kalau anak kita lahir laki-laki, beri nama Ian,” kata Halim kepada istrinya, Kussadalina, seperti dikutip dari biografi Halim Perdanakusuma karya Drs. M. Soenjata Kartadarmadja terbitan Widjaya Jakarta pada 1980.
Mendengar ucapan Halim, Kussadalina balik bertanya, “(Memang) mengapa nama yang lain?”
Halim lantas menjawab, Ian adalah nama sahabat karibnya saat bertugas pada awal Perang Dunia II. Saat itu, Halim bertugas di Royal Canadian Air Force.
ADVERTISEMENT
“Ian gugur dalam suatu serangan besar-besaran terhadap Jerman,” kata Halim, menjelaskan kepada Kussadalina.
Siapa sangka, tak terlalu lama setelah itu, Halim pun gugur dalam tugas. Pesawat yang ia terbangkan menembus blokade Belanda terjebak cuaca buruk dan jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia, Desember 1947.
Alhasil, titipan nama untuk sang anak menjadi pesan terakhir Halim kepada Kussadalina. Kedua pasangan muda itu terlalu cepat terpisah oleh maut.
Hari-hari Kussadalina pun berjalan sepi, dihantui bayangan sang suami yang membuatnya kerap melantunkan You Are My Sunshine secara tak sadar.
Semasa hidup, Halim dikenal romantis. Ia sesekali menggesek biola, memainkan lagu untuk Kussadalina. Itu adalah salah satu momen spesial Halim.
Kehidupan rumah tangga Halim dan Kussadalina tak bisa disebut normal. Halim kerap pergi lama untuk bertugas, memimpin operasi serangan udara, meninggalkan sang istri.
ADVERTISEMENT
Saat masih pengantin baru pun, tak ada bulan madu untuk mereka. Ketika itu desing peluru bersahutan di hampir seluruh penjuru Sumatera dan Jawa. Keluar mencari hiburan untuk satu-dua jam saja belum tentu aman.
Kussadalina, bagaimanapun, seorang perempuan biasa. Kadang ia kecewa karena tak pernah bisa menikmati waktu berdua dengan Halim untuk sekadar memandang senja.
“Mau ke mana lagi? Apakah akan lama?” kata Kussadalina sambil menatap Halim dengan mata memerah menahan tangis.
Halim tersenyum membesarkan hati sang istri yang sedang mengandung.
“Nanti kalau aku pulang dari luar negeri, aku akan bawakan oleh-oleh untukmu,” ujarnya sambil memegang pundak Kussadalina, bersiap berangkat ke Thailand.
“Selekas beres semua, saya segera pulang,” imbuh Halim, juga menahan air mata.
ADVERTISEMENT
Itulah perjumpaan terakhir Halim dan Kussadalina.
Dua bulan kemudian, Halim pulang tinggal nama. Kussadalina kembali menjemput senja sepi.
Jangan lewatkan kisah lainnya:
Wisnu Prasetiyo & Ulfa Rahayu