Mereka Membuat Perubahan dalam Senyap

17 Mei 2019 14:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Triana Rahmawati, Tutus Setiawan, dan Anjani Sekar Arum, tiga dari puluhan pemenang Astra SATU Indonesia Awards Foto: Maharani Sagita
zoom-in-whitePerbesar
Triana Rahmawati, Tutus Setiawan, dan Anjani Sekar Arum, tiga dari puluhan pemenang Astra SATU Indonesia Awards Foto: Maharani Sagita
Nama Anjani Sekar Arum mungkin tak banyak didengar orang. Terkecuali bagi mereka yang tinggal di sekitar Desa Bumiaji, atau mereka yang pernah satu sekolah atau kuliah bersamanya. Di kalangan mereka, Anjani lebih dikenal dengan sebutan “Anjani Bantengan”. Istilah yang juga digunakan oleh dosen-dosennya ketika berkuliah di Universitas Negeri Malang.
Begitupun dengan Triana Rahmawati. Bagi banyak orang, nama Triana tak terlalu familiar. Pun demikian dengan Tutus Setiawan. Di daftar kependudukan pun, keduanya hanya terdaftar sebagai warga biasa; Triana warga Solo, sedangkan Tutus adalah salah satu penduduk Surabaya. Begitu saja, tidak ada yang istimewa.
Tapi bagi mereka yang mengenal Anjani, Triana, maupun Tutus, pastilah sepakat: mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Ketiganya adalah pencipta perubahan.
Perubahan yang dibuat juga tidak main-main. Ketiganya tidak melakukan perubahan untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk orang-orang di sekeliling mereka. Anjani, misalnya, membuat perubahan di bidang sosial-masyarakat dengan memperkenalkan batik motif baru, motif Bantengan, yang meminjam salah satu seni khas masyarakat lereng pegunungan Jawa Timur. Motif yang belakangan diangkat statusnya oleh Pemerintah Kota Batu menjadi motif batik khas Batu.
com-Anjani Sekar Arum fokus membimbing pembatik muda di sanggarnya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tak berhenti di situ, perubahan yang dibuat Anjani juga sangat humanis; ia mengajak anak-anak muda di sekitar Desa Bumiayu untuk menjadi pembatik, demi dua tujuan: melestarikan kesenian batik Bantengan, dan membuat anak-anak ini mampu berwirausaha dengan keterampilan mereka.
Singkatnya, lewat batik Bantengan yang diciptakannya, Anjani seakan membuat perubahan di dua lini sekaligus: menciptakan suatu produk budaya baru di desa dan kotanya, sekaligus memajukan kehidupan anak-anak muda di sana.
Apa yang dilakukan Triana juga tak kalah hebatnya. Ketika banyak orang memilih untuk mengabaikan atau bahkan menjauhi orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), ia malah memilih untuk menjadi teman mereka bersama Griya Schizofren yang didirikannya. Sekali lagi, menjadi teman. Bukan sekadar memberikan bantuan materi, Triana dan kawan-kawannya justru memilih untuk memberikan bantuan moral dengan mendampingi para ODMK di Griya PMI Peduli, Solo.
Sementara Tutus Setiawan punya perjuangan lain. Berawal dari kondisinya, sebagai seorang tunanetra, Tutus punya kepedulian yang amat besar bagi orang-orang yang punya kondisi sama dengannya. Itulah mengapa ia serta teman-teman sesama tunanetra, kemudian mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT), sebuah lembaga sosial bagi tunanetra di Surabaya untuk terus belajar dan berlatih meningkatkan kemampuannya agar bisa eksis di masyarakat
Lewat lembaga ini, Tutus punya tujuan yang mulia: menghapus citra negatif tunanetra di mata masyarakat, dan membuat para tunanetra memiliki kemampuan yang cukup untuk hidup eksis secara sosial maupun profesional di masyarakat. Lewat LPT, Tutus ingin membuat perubahan dalam kehidupan tunanetra, setidaknya di Surabaya, kota tempatnya tinggal.
Bagi banyak orang, pun untuk pembaca sendiri, apa yang dilakukan Anjani, Triana, maupun Tutus memang tidak terasa dampaknya. Tetapi bagi orang-orang di sekitar mereka, perubahan itu benar-benar terasa dampaknya.
“Kita terbantu banget dengan adanya Griya Schizofren, terutama Mbak Tria (panggilan Triana - red), karena volunteer-nya konsisten, setiap saat ada untuk membuat mereka senang, membuat mereka bahagia,” cerita Siti Sofiyah, salah satu perawat di Griya PMI Peduli, kepada kumparan (kumparan.com), ketika ditanya tentang peran Triana Rahmawati di sana.
“Bu Anjani selalu menekankan kesabaran. Bu Anjani juga sabar mengajari kami. Dia itu rela berkorban buat kami,” cerita Salsa Adila Ilianis, salah satu murid Anjani.
Cerita Anjani, Triana, dan Tutus hanya sebagian kecil dari ratusan cerita inspiratif para generasi muda yang tidak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat. Beruntungnya, meski secara umum perjuangan orang-orang seperti Anjani, Triana, dan Tutus adalah perjuangan dalam senyap, tetap ada apresiasi yang diberikan pada mereka. Apresiasi itupun tak hanya dalam bentuk dukungan moral atau apresiasi pujian semata. Namun juga dalam bentuk penghargaan.
Salah tiga dari puluhan penggiat perubahan yang pernah mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards Foto: Firdiansyah
Itulah yang diberikan oleh PT Astra International Tbk lewat program yang mereka inisiasi, Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards. Program yang digelar setiap tahun sejak tahun 2010 lalu ini, secara konsisten memberikan apresiasi bagi mereka yang memang pantas mendapatkannya; mereka yang membuat perubahan nyata di bidangnya masing-masing, untuk kebaikan orang-orang di sekitar mereka, bahkan meski jauh dari sorotan media.
“Astra menginisiasi program SATU Indonesia Awards karena kami percaya masa depan bangsa ini terletak di pundak anak muda Indonesia. Mereka inilah penggerak Indonesia ke depan,” ujar Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto.
“Dalam satu dasawarsa pelaksanaan SATU Indonesia Awards, kami berharap program ini lebih banyak lagi dapat menginspirasi anak muda Indonesia, sehingga semakin banyak mereka membuat perubahan positif demi kemajuan bangsa.”
Penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards 2018. Foto: Dok. Astra
Pada tahun 2019 ini pun, Astra kembali menggelar SATU Indonesia Awards edisi kesepuluh. Salah satu juri yang diundang untuk memilih para pemenang nantinya adalah seniman Dian Sastrowardoyo, yang berharap bisa menemukan lebih banyak lagi orang-orang seperti Anjani, Triana, maupun Tutus.
“Saya yakin di luar sana masih banyak anak-anak muda Indonesia yang berkarya dalam diam dan belum tahu tentang apresiasi ini. Semoga tahun ini kita bisa temukan mereka lebih banyak lagi,” ungkap Dian.
Hingga tahun 2018, apresiasi SATU Indonesia Awards telah diberikan kepada 245 anak muda, yang terdiri dari 53 penerima tingkat nasional dan 192 tingkat provinsi. Pada 2018 saja, jumlah pendaftar SATU Indonesia Awards mencapai 5.961 orang.
Menjadi pemenang SATU Indonesia Awards tentu saja memberikan banyak keuntungan bagi para penggerak perubahan ini. Selain hadiah uang senilai Rp 60 juta yang diberikan pada tiap pemenang di setiap kategori, Astra juga memberikan pembinaan kegiatan secara berkelanjutan. Oh, juga jangan lupa: sorotan yang diberikan media dan masyarakat setelah menjadi pemenang SATU Indonesia Awards, secara langsung maupun tidak, ikut mengangkat dan membantu perjuangan para penggerak perubahan ini.
Tutus, misalnya, ketika ditanya perubahan apa yang terasa di Lembaga Pemberdayaan Tunanetra setelah mendapat Apresiasi SATU Indonesia Awards di kategori pendidikan tahun 2015, lelaki yang juga seorang guru yang memang senang bergurau ini menjawab: “Jadi banyak wawancara.”
com-Sehari-hari, Tutus Setiawan bekerja sebagai guru di SMPLBA dan SMALBA YPAB Surabaya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
“Dulu kita itu ‘bersembunyi di dalam [kerang] mutiara,’ kalau kata Pak Onno Purbo (Onno W. Purbo, Ph. D, salah satu juri SATU Indonesia Awards - red),” ujar Anjani. “Sekarang sudah keluar dan sudah diangkat oleh Astra. Itu memang benar.”
“Benar saya tidak pernah ikut event semacam ini [sebelumnya], tapi setelah saya coba bertanya kepada teman-teman sesama penerima Apresiasi yang juga menerima penghargaan dari luar, ketika mereka sudah menjadi awardee, selesai. Yo wis. Stop. Berganti ke tahun berikutnya, ke nominator di tahun itu,” ujar Anjani.
“Astra kan tidak. Setiap tahun tetap diperhatikan. Jadi, mesti kami sudah menjadi alumni, kami masih diangkat. Ini berbeda dengan yang lain. Jadi kami tetap eksis lah istilahnya — asalkan kami juga masih konsisten dengan program kami.”
Sementara hadiah uang yang diberikan Astra untuk para pemenang SATU Indonesia Awards pun dapat sangat berguna untuk kegiatan perjuangan mereka. Seperti yang dilakukan Triana, yang menggunakan hadiah uang yang didapatnya untuk mendanai kegiatan Griya Schizofren dan mendirikan Volunteer Scholarship.
“Sebelumnya, pengkaderan [untuk volunteer Griya Schizofren] umum,” ujar Triana. “Buka pengumuman, oprec (open recruitment - red), selesai. Setelah ada SATU Indonesia Awards, aku dapet apresiasi. Fitrahnya manusia itu kalau dia menerima pasti ingin memberi, kan? Nah, aku ingin mengapresiasi orang lagi. Aku bikin Volunteer Scholarship.”
com-Griya Schizofren berawal dari kegiatan PKM Triana Rahmawati pada 2013. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Triana mengapresiasi relawan-relawannya di Griya Schizofren dengan membiayai kuliah mereka dan memberi mereka tempat tinggal. Volunteer Scholarship menjadi semacam pengkaderan tokoh sosial baru dan darinya yang belum lagi berusia dua tahun, sudah lahir pemimpin-pemimpin muda.
Imbasnya, para penerima Volunteer Scholarship tidak hanya menjadi kawan yang baik untuk orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Griya PMI Peduli, tetapi juga menjadi penggerak Griya Schizofren selama Triana absen. “Ternyata mereka bisa membuat gerakan ini autopilot,” ujar Triana.
Manfaat yang sama pun dirasakan oleh Tutus. “Setiap tahun kami selalu berupaya agar temen-temen disabilitas bisa keluar dari diskriminasi. Bisa terus mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang mereka butuhkan,” terang Tutus.
“Dengan adanya pemberian dari Astra, kegiatan LPT bisa lebih continue.”
Satu dasawarsa SATU Indonesia Awards kembali digelar pada tahun 2019 ini dan pendaftaran sudah dibuka. Apakah Anda memiliki organisasi yang telah membuat perubahan atau Anda mengenal orang-orang di sekeliling Anda yang telah membuat perubahan bagi lingkungan sekitarnya? Daftarkan diri Anda atau orang yang Anda kenal untuk penghargaan SATU Indonesia Awards 2019 di sini!