Sandiaga, Pintu Darurat Prabowo

13 Agustus 2018 8:26 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten Eksklusif: Duel Kedua Jokowi-Prabowo. Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten Eksklusif: Duel Kedua Jokowi-Prabowo. Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
Nama Sandiaga Uno menyalip di hari terakhir sebagai calon wakil presiden Prabowo. Karier politik Sandi, satu dari 100 orang terkaya di Indonesia versi majalah Globe Asia, melejit cepat.
ADVERTISEMENT
Setelah 18 bulan mengejar posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta, jabatan yang baru dinikmatinya selama 10 bulan, kini ia sudah menatap target baru: wakil presiden Indonesia. Tiket keikutsertaannya di Pemilu Presiden 2019 itu harus ia peroleh dengan jalan memutar dan mahal.
Selesai Prabowo diberi mandat oleh partainya untuk kembali maju di pilpres, Sandi ditunjuk sebagai Ketua Tim Pemenangan Pemilu Gerindra. Selang tiga bulan, akhir Juli, ia memilih mundur dari posisi tersebut dan tak lagi mau menanggapi perihal copras capres 2019.
Sebelumnya, pada satu hari di bulan Juli, Sandiaga ikut hadir ketika Anies Baswedan dipanggil dan dipinang sebagai calon wakil presiden Prabowo. Namun, Anies menolak tawaran tiket wakil presiden itu.
ADVERTISEMENT
"Sesudah saya menyampaikan tidak (ingin jadi cawapres), baru Pak Sandi (ditawarkan)," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Kamis (9/8).
Selain karena larangan kepala daerah menjadi tim kampanye di pilpres, pilihan Sandi mundur dari ketua tim pemenangan disinyalir sebagai salah satu kode bahwa namanya mulai masuk dalam pertimbangan calon pendamping Prabowo.
“Nama Sandi memang muncul sebelum Ijtima Ulama,” ujar salah satu politisi partai koalisi Prabowo. Ijtima Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama digelar pada 27-29 Juli dan menghasilkan nama Salim Segaf Al Jufri dan Ustaz Abdul Somad sebagai rekomendasi pendamping Prabowo di Pilpres 2019.
Kasak-kusuk Cawapres Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Pekan itu, intensitas pertemuan kian meningkat. Perebutan tiket calon wakil presiden semakin sengit. Selain GNPF Ulama, masing-masing partai menyodorkan nama yang berbeda.
ADVERTISEMENT
PKS yang kukuh--setidaknya hingga Kamis (9/8) pukul 20.00 WIB--mendorong nama ketua majelis syuronya, Salim Segaf hasil Ijtima Ulama. Sementara PAN juga mendorong agar Prabowo mau memilih ketua umumnya, Zulkifli Hasan.
“Andai UAS (Ustaz Abdul Somad) mau, ya semua sepakat UAS,” ujar Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Drajad Wibowo, pada Rabu (8/10).
Namun Demokrat tentu saja berharap hitungan rasional mereka sama dengan Prabowo, bahwa Agus Harimurti Yudhoyono-lah pendamping yang tepat, paling tidak secara elektabilitas. Hingga satu jam sebelum deklarasi Prabowo-Sandi, Demokrat masih mengusahakan AHY.
AHY, Prabowo, dan Sandi di Kantor KPU, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
“Partai Demokrat membuka dua opsi. Pertama, kembali ke komitmen atau janji Prabowo yang meminta AHY cawapres karena elektabilitasnya tertinggi di semua lembaga survei,” demikian bunyi penggalan hasil rapat petinggi Demokrat pada Kamis (9/8) pukul 22.30 WIB.
ADVERTISEMENT
Opsi lain yang ditawarkan adalah mencari figur alternatif untuk dibicarakan bersama. Selain Anies yang telah menolak, nama lain seperti Chairul Tanjung dan Gatot Nurmantyo pun sempat disebut. Kedua nama itu kemudian hilang, baik karena menolak atau tidak ada kesepakatan.
“Waktu pembahasan-pembahasan itu kan tidak mudah. Pilih yang a, yang b dan yang c keberatan. Pilih yang b, yang a dan c keberatan. Pilih yang c, yang a dan b keberatan,” ujar Riza Patria di sela batuk dan hidung mampetnya ketika ditelepon kumparan, Sabtu (11/8).
Terkait persoalan nama cawapres ini, Sandi justru memiliki pendapat berbeda. Dalam obrolan sorenya bersama kumparan, Minggu (29/7), Sandi menilai biaya kampanye harus lebih dulu dibicarakan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
“Jauh sebelum nama, siapa dulu yang mendanai nih? Proporsinya berapa-berapa, dapat apa, tugasnya siapa, kewajibannya apa?” ujar Sandi sembari mencontohkan pengalamannya di Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu, demi bisa merebut suara 7,1 juta daftar pemilih tetap di DKI Jakarta, Sandi telah mengeluarkan Rp 108 miliar uang pribadinya.
ADVERTISEMENT
Maka pendekatan yang harusnya dilakukan, menurut Sandi, adalah melalui isu yang kemudian menjadi sebuah brand dan bisa ditawarkan kepada para donatur demi mengumpulkan sumbangan. Setelah urusan dana selesai, barulah siapa sosok cawapres dibicarakan.
“Karena harus real cost, 800 ribu lebih TPS, berapa cost-nya? Untuk sosialisasi dan kampanye berapa? Untuk teritori dan jaringan berapa? Di-breakdown aja… Pasti nanti berbanding siapa yang, kalau misalkan dapet tiket cawapres, tanggung jawabnya apa?” tutur Sandi.
Sebagai pengusaha, dia paham betul bahwa ada harga mahal yang harus dibayar dalam tiap kontestasi. Dan sebagai penyuka olahraga, dia memiliki spirit untuk terus bertanding dan menang. Tipe yang tampak tak jauh berbeda dengan Prabowo.
Sosok Sandi, sebagai politisi muda dan pemilik modal, dianggap sebagai pemecah kebuntuan. Ia menjadi pintu darurat atas perdebatan nama cawapres hingga isu logistik yang terus membayangi pencapresan Prabowo.
ADVERTISEMENT
“Prabowo berterus terang bahwa kampanye dan pemilu membutuhkan logistik banyak. Dalam pilkada, kandidat yang minta dukungan Gerindra ditanya, apakah kandidat tersebut punya logistik. Kemudian dia juga berusaha untuk memobilisasi dana melalui sumbangan receh dan berharap yang menyumbang banyak,” papar Kuskridho ‘Dodi’ Ambardi, Jumat (10/8).
Maka memilih Sandi, menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, adalah “Sikap realistis saja, bahkan pilihan putus asa.” Di tengah tenggat waktu sempit dan persoalan logistik, nama Sandi nyatanya tak begitu mendapat penolakan dari partai lain, paling tidak PAN dan PKS.
PKS yang begitu ngotot dan PAN yang tampak ragu-ragu akhirnya menyetujui Sandi untuk mendampingi Prabowo. Sandi pun diminta keluar dari partai dan mundur dari kursi Wakil Gubernur Jakarta agar dapat diterima penuh oleh semua partai koalisi.
ADVERTISEMENT
Apa pun, Sandi kadung lekat dengan Gerindra. Dan duet sesama Gerindra tentu akan menguntungkan partai bikinan Prabowo itu, namun tak memberikan efek ekor jas bagi partai lain di koalisi Prabowo. Padahal, coattail effect itulah yang selama ini menjadi dalih partai-partai berebut posisi cawapres.
Bagi PAN dan PKS, memilih Sandi lebih realistis daripada memilih AHY yang Demokrat. “Lebih baik berasal dari satu partai sehingga efek kerugiannya tidak sebesar ketika ada partai lain yang mendapatkan coattail effect seperti Demokrat,” ujar Yunarto.
Dalam kondisi koalisi tanpa ideologi, kompromi lainnya yang berlaku adalah pertanyaan, “gue dapat apa?” yang ada di belakang panggung. Negosiasi yang sulit dibuktikan itu, menurut Yunarto, melulu berbicara soal porsi pembagian kekuasaan dan logistik.
ADVERTISEMENT
Skema pembagian kekuasaan baru berlaku ketika calon yang diusung menang. Sementara logistik, real cost jelas sangat dibutuhkan dengan segera untuk membiayai kampanye dengan segala pernak-perniknya.
Spekulasi pun berkembang, lahir dari cuitan petinggi Demokrat, Andi Arief. Ketika Sandi bolak-balik ke rumah Prabowo di Rabu malam (8/8), Andi menuding Prabowo sebagai Jenderal Kardus karena memilih Sandi yang bisa meng-entertain PKS dan PAN.
Isu mahar sebesar Rp 500 miliar untuk masing-masing rekan koalisi Gerindra itu pun bergulir. Baik PAN ataupun PKS hanya berkilah dengan mengatakan pernyataan Andi sebagai hoaks semata.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, Andi juga mengatakan jika Sandi pernah mengajak Demokrat untuk membatalkan pencapresan Prabowo. “Sandi mau jadi capres bersama AHY,” ujar Andi ketika dihubungi kumparan via telepon, Kamis (9/8).
Obrolan itu, menurut Andi, terjadi sekitar dua minggu lalu. “Saya ketemu Sandi satu kali, tiga kali ketemu utusannya,” tuturnya. “Saya sampaikan kepada SBY, dan SBY bilang, ‘Saya tidak akan mengkhianati Prabowo.’”
SBY dan Prabowo. (Foto: Twitter @jansen_jsp)
Panas dingin pemilihan cawapres Prabowo telah usai. Tiket itu kini telah digenggam Sandi. Duet militer-pengusaha ini akan berhadapan dengan kombinasi pengusaha-tokoh agama, Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sebagai sesama pengusaha, Sandi dinilai tak kalah jago seperti Jokowi dalam mem-branding sesuatu. “Terbukti di Pilkada DKI, terlepas suka atau tidak, branding dari program OK OCE itu nomor 1 dibandingkan program-program lain,” ujar Yunarto.
ADVERTISEMENT
Kemampuan marketing keduanya, baik di kalangan milenial maupun ekonom, menjadi salah satu yang diprediksi akan meramaikan gelaran pilpres kali ini.
Suasana pendaftaran Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai Capres dan Cawapres 2019 di KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Simak selengkapnya dalam tautan di bawah ini: