Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Sebulan penuh bumi Lombok berguncang hebat. Tak kurang dari seribu gempa mendarat di Pulau Seribu Masjid itu sejak awal Agustus.
ADVERTISEMENT
Malam itu, gema takbir Idul Adha lamat-lamat terdengar di tenda pengungsian Dusun Gol, Desa Medana, Lombok Utara. Namun usai takbir berkumandang, gemuruh dan guncangan kembali menyapa. Gempa susulan berkekuatan 5,1 magnitudo mengguncang.
“Ini kami rasakan setiap hari,” ucap Kepala Dusun Gol, Hayadi, kepada kumparan di depan reruntuhan rumahnya, Selasa (21/8), bertepatan dengan Idul Adha.
Kami duduk di berugak, pondok bambu yang jamak dijumpai di halaman rumah warga Lombok. Berugak jadi satu-satunya jenis bangunan yang tegak berdiri di dusun itu, sementara rumah-rumah utama dari bata seluruhnya hancur rata dengan tanah.
ADVERTISEMENT
Sewaktu gempa susulan lain menggoyang Lombok satu jam sebelumnya, warga dusun yang telah terlelap tidur pun tak bangun dan panik. Dusun Gol tetap hening. Hanya suara tonggeret dan jangkrik ramai bersahutan.
Hayadi sang Kepala Dusun Gol hari itu tengah pusing karena jumlah bantuan yang diterima penduduknya masih kurang. Sebanyak 271 kepala keluarga di dusunnya masing-masing mendapat jatah satu kilogram beras, empat mi instan, dan tiga gelas air saja. Semua itu tak cukup buat mereka.
“Bagaimana cara kami menangani ini,” ujarnya sambil menyesap kopi panas, berharap kafein mengurangi beban pikirannya.
Zaki, warga dusun tetangga yang sedang bersama Hayadi, merasa lebih beruntung. Dusun Kopang tempatnya tinggal cukup sering mendapat bantuan. Bantuan berasal dari kenalan-kenalan warga, dan diambil sendiri oleh penduduk Kopang ke Mataram, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat.
ADVERTISEMENT
Namun, Dusun Kopang sebenarnya sama apesnya dengan Dusun Gol. Keduanya sama-sama berada di Desa Medana, salah satu wilayah yang paling terdampak gempa. Di desa itu, 80 persen rumah warga rusak parah--roboh.
Di awal gempa mengguncang pekan pertama Agustus, pengurus Desa Medana memutar otak guna memberi asupan makanan untuk 5.400 warga mereka yang bertahan hidup di kaki bukit. Setiap orang berusaha mengontak temannya di luar desa, hingga perlahan beberapa kawan berjanji untuk mengirim bantuan yang didrop di Mataram.
Tak dinyana, kondisi jalanan di Lombok Utara waktu itu benar-benar tak kondusif untuk menjemput bantuan di kota. Isu penjarahan truk-truk logistik di jalanan menuju Lombok Utara, santer masuk ke telinga warga.
Dikepung kebingungan, pemuda 24 tahun bernama Hasrul Wadi mengajukan ide: menjemput bantuan di Mataram menggunakan ambulans milik desa.
ADVERTISEMENT
“Soalnya kalau nggak pakai ambulans, nggak bisa lewat karena dijarah sama orang-orang di tengah jalan,” ujar Hasrul ketika berbincang dengan kumparan, Kamis (23/8). ‘Orang-orang di tengah jalan’ yang ia maksud adalah sesama korban gempa.
Hasrul yang kebetulan anak kepala desa, kemudian berangkat ke Mataram yang berjarak dua jam dari Medana. Ia mengendarai ambulans sekaligus membawa satu mobil pikap yang dikemudikan seorang rekan.
Di Mataram, ambulans dan pikap diisi penuh logistik bantuan, dan ditutup rapat dengan terpal. Selanjutnya dalam perjalanan kembali ke Lombok Utara, sirene ambulans dinyalakan untuk mengelabui para penjarah.
Selama lima hari berturut-turut setelah gempa, Hasrul bolak-balik Mataram-Medana sejauh 31 kilometer demi beroleh bantuan. Bantuan pertama dari instansi pemerintah baru datang tiga hari setelah bencana. Itu pun tak cukup menyokong hidup warga.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Desa Medana, Agus Susanto, berujar bantuan pada periode awal gempa memang tak menentu dan tak dapat mencukupi kebutuhan tanggap darurat. “Kadang hanya dapat air saja, kadang makanan instan saja.”
Gubernur NTB, TGH Zainul Majdi, mengakui bantuan logistik macet pada minggu awal usai gempa. “Logistik belum merata sekitar 4-5 hari (setelah gempa),” ujarnya kepada kumparan di Lapangan Tanjung, Lombok Utara, Rabu (22/8).
Hingga sehari sebelum Idul Adha saja, sudah seribu lebih gempa susulan mengguncang Lombok. Kerusakan terparah timbul saat gempa pertama 7 magnitudo menghantam. Sebanyak 555 orang meninggal, 76.000 rumah rusak berat dan melambungkan kerugian hingga lebih dari Rp 7 triliun.
Gempa beruntun jadi petaka buat Lombok. Pulau itu tak siap menanggung gempa tak berkesudahan. Terlebih pada periode awal gempa saat bantuan kosong sebab roda pemerintahan dan pelayanan publik mandek. Bagaimana tidak, semua terdampak gempa.
ADVERTISEMENT
Maka para relawan yang pekan itu mulai berbondong-bondong datang ke Lombok, ikut bingung. Menurut Iqbal El Mubarak, anggota Komite Nasional Pengabdian Profesi dan Tanggap Darurat/Bencana Ikatan Dokter Indonesia, pemerintah lokal yang sempat tak berfungsi membuat sumber daya penanggulangan bencana yang melimpah tidak terkoordinasi dengan baik.
“Karena mereka (pemerintah daerah) yang punya ‘rumah’ dan tahu medan,” ujar Iqbal kepada kumparan, Sabtu (26/8).
Di sektor pelayanan medis misalnya, Iqbal harus tertatih-tatih ketika rumah sakit utama di Lombok Utara kolaps. Dinas Kesehatan setempat tidak bergerak total karena sebagian besar pegawainya ikut menjadi korban gempa, dan celakanya tidak memiliki mekanisme tanggap bencana.
“Akhirnya relawan improvisasi,” ujar Iqbal.
Para relawan lantas babat alas dan menggali data secara mandiri. Berbekal pengalaman menanggulangi bencana dan membangun posko saat gempa Lombok Timur menghantam awal Juli, mereka bergerak masuk pelosok.
ADVERTISEMENT
Data begitu krusial dalam penanggulangan bencana, terutama dalam keadaan krisis. Sebab ketersediaan data akan membantu efektif proses penanggulangan bencana, mulai penyaluran bantuan sampai analisis kebutuhan korban terdampak.
Sayangnya data tersebut absen di periode awal penanggulangan bencana, sehingga mempersulit pergerakan para relawan.
“Validasi data bermasalah. Padahal validasi data berpengaruh kepada kondisi desa, apakah suatu desa sudah didorong (bantuan) atau tidak,” kata Soma Suparsa, relawan dari Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wanandri).
Data yang dihimpun mandiri oleh relawan kemudian menjadi sumber rujukan tiap lembaga yang terjun membantu ke Lombok. “Saya percaya validitas data relawan karena mereka blusukan ke dalam. Kalau pemerintah kan minta dari kepala desa dan kepala dusun, nggak total nyemplung ke dalam,” ujar seorang relawan yang datang belakangan. Ia tak mau namanya disebutkan.
Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar mengakui pemerintahannya sempat tak berjalan baik. Dia sendiri ikut mengungsi dan tidur di tenda. Begitu pula pegawai-pegawainya. Seperti masyarakat umum Lombok, para aparat pemerintahan pun syok akibat gempa besar beruntun di daerah mereka.
ADVERTISEMENT
“Ada yang trauma agak berat dan sampai hari ini mungkin belum masuk. Ada bermacam kendala, termasuk psikologis,” ujar Najmul ketika ditemui kumparan di kantor daruratnya di Lapangan Tanjung, Lombok Utara.
Soma memaklumi kondisi itu. Apalagi gempa tak kunjung berhenti. Hingga Jumat (24/8), sudah 1.089 gempa mengguncang Lombok.
“Sampai H plus tiga, evakuasi korban luka dan tewas dilakukan secara mandiri oleh masyarakat bersama lembaga non-pemerintah,” tutur Bambang Triono, koordinator Aksi Cepat Tanggap dalam penanganan gempa Lombok.
Bantuan pemerintah jauh lebih terkoordinasi setelah memasuki hari ke-12 pasca-gempa, berbarengan dengan arus bantuan yang kian mengalir deras dari penjuru negeri menuju Lombok.
Pemerintah lewat satuan tugas yang dipimpin TNI dan BPBD mengorganisasi perangkat kecamatan dan desa guna mendistribusikan bantuan secara merata. Bantuan dari pusat datang tiga kali sehari lewat jalur udara dan mendarat di bekas Bandara Rembiga, Mataram.
ADVERTISEMENT
Semua bantuan ditempatkan di posko pusat di Lapangan Tanjung. Satgas kemudian mengkoordinir 8000 relawan, yang segera mendistribusikan bantuan-bantuan tersebut kepada dusun-dusun yang membutuhkan.
Komandan Satgas Tanggap Darurat Kolonel Ahmad Rizal menunjukkan berlembar-lembar dokumen berisi pendistribusian data. Semua dusun, menurut dokumen itu, telah tersentuh bantuan yang dikelola posko pusat, dengan rata-rata jumlah bantuan mencapai dua sampai lima kali. “Jadi tidak ada bantuan yang kami tahan-tahan,” ujarnya.
Sejak Presiden Jokowi berkunjung langsung ke Lombok Utara, Senin (13/8), truk-truk bantuan dan rombongan relawan memang semakin banyak datang ke Lombok. Meski demikian, belum semua kebutuhan pengungsi terpenuhi.
Warga Desa Medana yang berada di pelosok bukit misalnya, merasa stok mereka minim. Rata-rata kepala keluarga hanya menyimpan 1,5 kilogram beras.
ADVERTISEMENT
Mereka mampu bertahan sampai saat ini karena bantuan organisasi-organisasi nirlaba. Dompet Dhuafa masuk ke Dusun Gol dan ACT masuk ke Dusun Kopang.
Selain itu, warga Dusun Kopang yang kebanyakan pekerja di sektor pariwisata kerap mendapat kiriman uang dari bos-bos bule mereka. Dalam kondisi normal, mereka biasanya bekerja di Gili Trawangan--yang juga terdampak gempa.
Posko pengungsian yang berada di pinggir jalan utama, cenderung memperoleh bantuan lebih banyak. Oleh sebab itu Dusun Lekok Timur di Desa Gondang, Lombok Utara, yang terletak di tepi Jalan Raya Tanjung-Bayan, terhitung berlimpah bantuan.
Setiap orang di Dusun Lekok Timur dapat mengumpulkan beras sebanyak 5 kilogram. Sementara berasa sejumlah itu di Desa Medana dan desa-desa lain di pelosok bukit ditujukan untuk satu keluarga, bukan satu orang saja.
ADVERTISEMENT
“Yang jauh dari akses jalan, jarang dijangkau bantuan,” ujar Fatihin, Koordinator Posko Pengungsi Lekok Timur. “Di sini, persediaan untuk sebulan ke depan aman,” imbuhnya.
Satgas memandang ketidakmerataan distribusi bantuan disebabkan oleh terpencarnya pusat-pusat pengungsian. Warga yang seharusnya tersentral di posko, banyak memilih membangun tenda di rumah mereka untuk menjaga harta benda. Padahal kebanyakan warga Lombok tinggal di kaki bukit, bukan di dekat akses jalan.
Kini, pemerintah dusun meminta agar mereka diberi ruang partisipasi dalam penanggulangan bencana. Hayadi merasa penanganan bencana selama ini bersifat top-down.
“Kami ingin desa diberi keleluasaan oleh pemerintah untuk mendata warganya, supaya bantuan terarah. Desa kan punya acuan sampai ke dusun-dusun. Kalau main siapa dekat dia dapat, ya mubazir bantuan-bantuan itu,” ujar Hayadi.
ADVERTISEMENT
Pada Desember 1992, gempa sekuat 7,8 magnitudo bahkan menyebabkan tsunami setinggi 30 meter yang menewaskan lebih dari 2.500 orang di Flores.
Senja itu, tenda darurat di Desa Medana disulap menjadi tempat ibadah yang ramai dikunjungi warga. Mereka duduk bersila sambil membaca Surat Yasin. Lantunan ayat tak henti mendaras dari bibir hingga isya datang.
Yasinan rutin digelar sejak gempa menerjang 20 hari sebelumnya. Masyarakat Lombok duduk khusyuk, memohon kepada sang Pemberi Rahmat agar gempa segera putus dan hidup kembali berlanjut.
------------------------
Simak selengkapnya upaya Lombok Bangkit dari keterpurukan pasca-gempa dalam Liputan Khusus kumparan.