Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun -- tirani harus tumbang!
ADVERTISEMENT
Garang dan meradang. Itulah nuansa dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul. Jiwa seganas singa itu sama sekali tak terlihat dari penampilannya yang bertubuh kerempeng. Namun sajak-sajaknya mampu menggentarkan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Kini Thukul tak tentu rimbanya. Ia lenyap, tak berbekas. Sahabat kerabat tak tahu di mana dia sejak Mei 1998. Entah di mana Thukul. Ia hilang sekitar sebulan sebelum rezim tumbang.
Sudah 19 tahun berlalu, dan tepat hari ini, 19 Januari 2017, Istirahatlah Kata-Kata diputar serentak di bioskop-bioskop di 12 kota di Indonesia. Ini film tentang Thukul, mengisahkan pelarian pria asal Solo itu di Pontianak, Kalimantan Barat, saat jadi buron dan diburu tentara.
Pengingat. Itulah misi pembuatan film yang disutradarai oleh Josep Anggi Noen (33 tahun) ini.
ADVERTISEMENT
“Film ini akan menjadi media pengingat bagi kaum muda. Ini juga persembahan dari kaum muda, untuk mengingatkan kita bahwa dulu ada anak muda, namanya Thukul, yang berjuang,” kata Wahyu Susilo, adik Thukul, kepada kumparan.
Tak lupa, ujar Wahyu, Istirahatlah Kata-Kata juga menjadi pengingat bagi pemerintah. “Janji Pak Jokowi di bidang hukum dan HAM kan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, salah satunya mengenai kasus orang hilang.”
Wahyu menegaskan, kasus hilangnya Thukul dan sejumlah aktivis 1998 lain tak boleh dilupakan dan lesap digilas zaman.
“Karena, pemerintahan sekarang bisa ada juga karena perjuangan Thukul dan teman-temannya yang sampai sekarang hilang,” ujar sang adik yang aktivis seperti kakaknya.
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
ADVERTISEMENT
Seruan memberontak itu mengantar Thukul menjadi buron. Ia masuk ke dalam daftar buronan rezim Orde Baru sebelum dinyatakan hilang tahun 1998.
“Thukul kan buron sejak 1996, 1997, 1998. Kalau dia bertemu keluarga kan sembunyi-sembunyi. Biasanya pas natalan atau lebaran, mereka di Yogya atau Jakarta, bertemu sembunyi-sembunyi di rumah,” kata Wahyu.
Saat menjadi pelarian, Thukul telah memiliki dua anak yang masih kecil, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Keduanya buah pernikahan Thukul dengan Siti Dyah Sujiran yang akrab disapa Sipon.
Thukul bertemu Sipon di Sanggar Teater Jagat, Solo, tempat mereka sama-sama aktif berkegiatan seni. Keduanya kadang bermain teater bersama.
Namun Thukul kemudian kabur ke Pontianak setelah dia dan beberapa aktivis prodemokrasi ditetapkan sebagai tersangka penggerak kerusuhan 27 Juli 1996. Ketika itu, kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat yang sedang ditempati pendukung Megawati Soekarnoputri, diserbu rival politiknya dengan bantuan aparat.
ADVERTISEMENT
Layaknya buron, Thukul hidup berpindah-pindah. Namun, ia terus menulis dengan nama lain.
jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
Puisi berjudul Penyair yang ditulis Thukul 10 tahun sebelum jadi buron dan menghilang itu menggambarkan tekadnya yang begitu kuat.
“Biasanya kan Thukul memang pergi lama, tapi pasti kembali,” ujar Wahyu. Itu sebabnya keluarga semula tak menyangka Thukul hilang.
Wahyu yang kini berkiprah di lembaga advokasi buruh migran, Migrant Care, mengenang sang kakak salah satunya lewat buku peninggalan Thukul yang ia simpan baik-baik.
ADVERTISEMENT
Thukul memang amat gemar membaca meski putus sekolah. Ia biasa ke mana-mana membawa buku.
“Saya masih punya bekas bukunya, tentang riwayat Mahatma Gandhi. Dia suka baca buku Romo Mangun dan Gandhi,” kata Wahyu.
Gandhi ialah tokoh terpenting dalam pergerakan kemerdekaan India. Sementara Romo Mangun atau Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang dikenal luas melalui novelnya, Burung-Burung Manyar, ialah budayawan, rohaniwan, arsitek, penulis, sekaligus aktivis yang kerap membela kaum miskin tertindas.
Buku-buku favorit Thukul itu seakan mencerminkan keinginan Thukul untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan.
Kegemaran Tukhul membaca kontras dengan nasibnya yang putus sekolah. Kala itu, Thukul sengaja mengalah agar adiknya, Wahyu, bisa sekolah.
Upah ayah Thukul, Kemis Harjosuwito, sebagai penarik becak tak bisa menutupi biaya sekolah seluruh anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
“Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah agar saya, agar adik-adiknya, dapat sekolah. Itu pas dia Kelas 2 SMKI (Sekolah Menengah karawitan Indonesia),” kenang Wahyu dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
Sementara kedua adiknya sekolah, Thukul bekerja menjadi loper koran untuk ikut membantu biaya pendidikan mereka.
Wahyu akhirnya berhasil lulus dari jurusan sejarah Universitas Negeri Solo.
Walau Thukul tak melanjutkan sekolah, bukan berarti dia berhenti belajar. Pengetahuan ia dapatkan dari mana saja. Dari pengamatan terhadap lingkungan sekitar, dari buku-buku.
“Meskipun berhenti sekolah, Thukul enggak berhenti baca buku. Enggak berhenti belajar,” ujar Wahyu, kagum dengan ketekunan dan keteguhan sang kakak.
Selamanya, Thukul terus bersuara meski raganya tak diketahui ada di mana. Kata-kata yang lahir dari benaknya yang senantiasa berkecamuk, bergaung abadi.
ADVERTISEMENT
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup
Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
Kenali Wiji Thukul lebih dalam