Muntari dan Lembar Hitam Rasialisme di Italia

10 Mei 2017 7:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Beri kartu merah pada kebencian! (Foto: Wikimedia Commons)
Rasialisme, pada hakikatnya, memang bukan masalah sepak bola. Lebih jauh lagi, ia adalah persoalan yang ada di masyarakat secara umum.
ADVERTISEMENT
Namun kenyataannya, rasialisme memang senantiasa muncul di sepak bola. Sudah tak terhitung lagi berapa kasus yang sudah terjadi. Sama seperti dalam masyarakat, meski perlawanan sebenarnya sudah tak henti-hentinya digulirkan, masalah ini terus saja menghantui.
Johan Galtung, seorang ahli studi perdamaian dan konflik dari Norwegia, menyebut bahwa rasialisme sesungguhnya adalah sebuah bentuk kekerasan struktural. Artinya, ia lahir dari struktur sosial yang memungkinkan hal itu untuk terjadi, entah itu berupa pembiasaan, penghasutan, maupun pembiaran.
Italia adalah salah satu tempat di mana rasialisme itu masih menjadi hal biasa. Setidaknya, begitulah yang terlihat dari bagaimana persepakbolaan Italia memperlakukan perbedaan.
Arrigo Sacchi, misalnya, pernah mengeluhkan banyaknya "pemain kulit hitam" di Tim Nasional Italia. Entah pada dasarnya Sacchi benar-benar membenci orang kulit berwarna atau tidak, yang jelas pernyataan ini agak aneh mengingat dulunya, pelatih legendaris ini sudah kerap bekerja dengan pemain-pemain kulit berwarna.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ada pula Carlo Tavecchio. Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) ini pada 2014 lalu juga pernah melontarkan sindiran bernada rasial. Di tengah maraknya rumor pencurian umur yang melibatkan eks-gelandang Lazio, Joseph Minala, pria 73 tahun ini "mengeluhkan" minimnya proses penyaringan terhadap pemain-pemain muda.
Presiden FIGC, Carlo Tavecchio (kiri). (Foto: Wikimedia Commons)
Ketika itu, Tavecchio, seperti dikutip dari The Guardian, berkata, "Di Inggris, mereka punya seleksi yang ketat untuk para pemain profesional. Di sini, kita punya 'Opti Poba' yang sebelumnya cuma makan pisang dan tiba-tiba bisa bermain untuk Lazio."
"Opti Poba" sendiri adalah nama fiktif. Namun, pesan di pernyataan Tavecchio itu jelas. Bahwa ada seorang pemain antah berantah yang tiba-tiba saja mengenakan seragam Gli Aquilotti.
Munculnya pernyataan dari dua sosok yang (seharusnya) dihormati di jagat persepakbolaan Italia itu pun menjadi preseden. Kalau yang di atas saja seperti itu, bagaimana dengan mereka yang di bawah?
ADVERTISEMENT
Dan, benar. Di level akar rumput, hal ini masih kerap terjadi, bahkan sampai tahun 2017 ini.
Baru-baru ini, Sulley Ali Muntari dan Medhi Benatia menjadi korban terbaru. Muntari yang memperkuat Pescara mendapat pelecehan dari suporter Cagliari. Melihat perangkat pertandingan tidak melakukan apa-apa untuk menghukum si pelaku pelecehan, Muntari pun memilih untuk meninggalkan lapangan. Hasilnya, dia pun diberi hukuman larangan bermain untuk satu pertandingan meski akhirnya dicabut.
Kemudian, Benatia mendapat pelecehan ini saat sedang diwawancarai saluran televisi RAI Sport usai laga Derby della Mole. Lewat earpiece yang dikenakannya, bek Juventus ini mendengar seseorang mengatainya "orang Maroko keparat". Juventus sendiri sudah menuntut pertanggungjawaban dari pihak RAI, meski pelaku sampai sekarang belum ditemukan.
ADVERTISEMENT
Apa yang menimpa Muntari, di mana dia justru dijatuhi hukuman setelah menjadi korban, adalah bukti bahwa rasialisme merupakan bentuk kekerasan struktural. Pasalnya, secara tidak langsung, FIGC menafikan keberadaan pelecehan tersebut.
Secara teknis, Muntari memang bersalah ketika kita berbicara dari sudut pandang sepak bola. Sebagai pemain, dia memang tidak berhak untuk ngeloyor begitu saja dari lapangan.
Akan tetapi, ada hal yang lebih besar di sana. Ada pelanggaran yang lebih parah dari sekadar ngeloyor dari pertandingan sepak bola. Ada pelecehan rasial di sana, tetapi FIGC kemudian menutup mata.
Hukuman untuk Muntari ini memang sudah dicabut. Akan tetapi, sulit untuk melihat penghapusan hukuman ini sebagai "langkah yang benar" dari FIGC. Sulit untuk tidak melihat penghapusan hukuman ini sebagai bentuk penyelamatan muka belaka.
ADVERTISEMENT
Muntari diperlakukan tak adil. (Foto: ANSA/Fabio Murru)
Langkah FIGC dalam memberi hukuman pada Muntari ini sampai juga ke telinga FIFA. Sekretaris Jenderal FIFA, Fatma Samoura, seperti dilansir BBC Sport, mengatakan bahwa komite yang bertugas mengurusi masalah rasialisme ini sudah diminta turun tangan.
Sebelumnya, Muntari sudah mengeluhkan bahwa organisasi-organisasi sepak bola yang ada, khususnya FIFA dan UEFA, tidak pernah menganggap rasialisme sebagai masalah serius. Walau begitu, dia mengaku percaya pada rezim baru yang dipimpin Gianni Infantino.
Rezim Infantino sendiri sebelumnya sudah pernah dikritik lantaran membubarkan satuan tugas anti-rasialisme. Namun, Fatma Samoura menjelaskan bahwa pembubaran satgas itu dilakukan karena mereka sudah selesai menunaikan tugas yang telah diemban sejak 2013.
Hasil kerja utama satgas ini adalah Sistem Pengawasan Anti-Diskriminasi yang telah diaplikasikan pada 850 pertandingan berisiko tinggi di ajang persahabatan dan Kualifikasi Piala Dunia 2018. Namun, untuk pengawasan langsung ke liga-liga lokal, FIFA memang belum memiliki instrumen yang memadai.
ADVERTISEMENT
Dalam responsnya, Gianni Infantino telah mengatakan bahwa dia bakal mengadakan pertemuan dengan Muntari dan Tavecchio. Sebelumnya, FIFA juga telah mengeluarkan dukungan terhadap Muntari. Tak hanya itu, Infantino juga dengan tegas menyebut bahwa siapa pun yang melakukan pelecehan rasial sebagai "idiot".
Gianni Infantio & Fatma Samoura (Foto: Reuters/Hamad I Mohammad)
Apa yang dikatakan Infantino itu memang ada benarnya. Siapa pun yang melakukan pelecehan tersebut pasti merupakan "idiot". Namun, pernyataan ini pun bisa dilihat sebagai sebuah bentuk penyangkalan atas masalah yang sebenarnya.
Begini. Menyebut para pelaku pelecehan sebagai "idiot" sama dengan menuduh "oknum" sebagai biang kekacauan. Secara teknis, si "oknum" itu pasti "idiot". Tetapi, bagaimana bisa "oknum idiot" ini terus secara leluasa melakukan pelanggaran? Bagaimana bisa kejadian ini terus menerus terulang?
ADVERTISEMENT
Kalau kenyataannya begini, artinya ada banyak sekali "oknum idiot" ini yang beredar di masyarakat. Lalu, apakah dengan demikian, apakah mereka tetap pantas disebut "oknum"?
Inilah pekerjaan rumah yang mesti dihadapi oleh semua orang. Sekali lagi, masalah ini; kekerasan struktural ini, bukan masalah yang hanya terjadi di sepak bola.
Kalau memang pelanggaran ini terjadi di arena sepak bola, memang FIFA atau badan sepak bola terkait punya tanggung jawab untuk memberi hukuman setimpal. Namun, untuk mencegah agar rasialisme ini masuk ke arena, yang harus dilakukan adalah menghapuskannya di luar lapangan, dan itu, saudara-saudara, bukan tugas FIFA semata.