Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Boyolali Bergerak: Gerakan Mulia yang Berawal dari Kegabutan
3 Januari 2019 20:04 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:19 WIB
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi kesibukan mahasiswa ketika tugas akhir kuliah sudah di depan mata? Pasti kegiatan sehari-hari monoton diisi dengan bimbingan dan mengerjakan skripsi. Tapi karena enggak ada kuliah kelas lagi, sebagian dari mahasiswa mungkin memiliki banyak waktu luang alias gabut.
ADVERTISEMENT
Kegabutan itulah yang juga dirasakan oleh Angga Fauzan yang pada 2016 lalu masih menjadi mahasiswa tingkat akhir Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Komunikasi Visual. Terbiasa aktif di organisasi kampus menjadi penyebab mengapa dia enggak tahan diam berlama-lama menunggu ‘buku suci’ tiket lulus yang disusunnya jadi.
Pemuda asal Boyolali , Jawa Tengah, ini bilang, kuliah doang itu membosankan. Harus ada yang dilakukan. Beruntung, saat itu ia bercakap-cakap dengan teman asramanya jurusan Tata Kota (Planologi) yang juga sedang membuat tugas akhir tentang pengembangan potensi kota-kota se-Jawa-Bali.
“Kemudian aku tanya, ‘Kamu ngapain?,’ dia menjawab, ‘Iya nih aku ngumpulin data-data beginian untuk pengembangan kota. Jadi data sekarang kota-kota kondisinya seperti apa, pengembangannya bakal seperti apa itu semua kelihatan.’ Terus dari situ aku terpikir sebenarnya Boyolali harus ngembanginnya ke arah situ juga dong, ya. Dari potensi yang ada, ngembanginnya harus bagaimana?,” ujar Angga ketika diajak ngobrol kumparan.
ADVERTISEMENT
Dari tugas temannya itu, terpikirlah Angga untuk membuat sebuah gerakan pengembangan kota dan potensi masyarakat bernama Boyolali Bergerak. Gerakan kecil baginya enggak masalah, asal berdampak. Soalnya kalau yang besar, kan, sudah tugas pemerintah daerah, katanya.
“Habis itu aku mikir, aku kan punya temen-temen SMA, mungkin aku bikin semacam komunitas sama teman-teman SMA-ku. Akhirnya kuajak beberapa,” kata Angga yang bicara dari kota tempatnya mengambil studi S2 saat ini, Edinburgh, Inggris.
Teman-teman SMA-nya itu adalah mereka yang juga kuliah di perantauan di luar kota. Umumnya mereka pulang ke Boyolali saat liburan semester.
Namun, Angga tak mau bergerak tanpa contoh yang nyata. Sebelum mengajak teman-temannya, ia sudah duluan menginisiasi lomba esai dan pengadaan Taman Baca kecil-kecilan untuk anak SMP/SMA bulan Juni 2016 lalu yang bertepatan dengan bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Soal dana kegiatan lomba tersebut, Angga mengaku berasal dari uang beasiswa Bidikmisi yang didapatnya dan dikumpulkannya selama kuliah.
“(Kalau) yang Taman Baca, bukunya aku dapat dari komunitas Buku Untuk Negeri di Bandung di mana aku juga jadi anggotanya, mereka tuh biasa ngasih donasi-donasi buku. Jadi mereka menerima donasi buku dan menyalurkannya. Akhirnya kita kasih buku tersebut ke yang menang proposal lomba pengadaan Taman Baca tadi,” terang cowok yang tahun ini akan menginjak usia 25 itu.
Dari bantuan perlengkapan sekolah sampai mentoring kuliah
Berhasil membuat gerakan kecil-kecilan berupa lomba, Angga pun mengajak teman-temannya bergabung. Prioritas pertama gerakannya yaitu mengembangkan laman di media sosial Boyolali Bergerak. Ia mulai mengisinya dengan mempromosikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada di Boyolali.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, mereka pun membahas prospek komunitas Boyolali Bergerak. Tercetuslah ide buat membikin kegiatan yang bernama Sayang Anak.
“Kita jualan kaos, kemudian hasilnya itu kita beliin buat perlengkapan sekolah anak-anak SD yang kurang mampu. Mungkin kita mikirnya tuh mungkin sekolah udah murah atau gratis sekalipun, tapi kan mereka tetap (harus) beli perlengkapan sekolah, kan? Misalnya, buku, tas dan sebagainya. Nah, itu kita bantu deh,” ujarnya.
Dalam tiga tahun ini, Sayang Anak sudah berjalan tiga kali, dan untuk kegiatan Sayang Anak yang baru saja dilaksanakan pada Desember 2018 lalu, komunitas Boyolali Bergerak sampai melibatkan berbagai mahasiswa dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang kuliah di luar negeri.
“Jadi PPI itu mereka bagian ngasih kayak pesan-pesan semangat dari kakak yang lagi kuliah di luar negeri. (Mereka) bikin surat, kita print, kita kasih ke adik-adik anak SD sekitar 40-50 anak,” kata Angga antusias.
ADVERTISEMENT
Selain Sayang Anak, Boyolali Bergerak juga rutin membuat kegiatan semacam mentoring masuk perguruan tinggi. Enggak cuma sosialisasi ke sekolah-sekolah SMA doang, ya. Tapi pemuda Boyolali satu ini sampai memikirkan kurikulum apa yang mau diberikan buat adik-adik agar paham dunia perkuliahan dan seluk beluknya.
“Misalnya pertama, mengenai minat bakat. Kedua, mengenal dunia kampus, kuliah tuh gimana. Ketiga, jurusan-jurusan di kampus itu apa aja, misal IPA-IPS, terus kemudian ada Sosial, Teknik, dan sebagainya. Habis itu udah, tentang beasiswa. Beasiswa kuliah tuh apa aja sih? Bisa dapatnya tuh gimana?” jelasnya.
Angga mengaku kesal karena saat SMA sama sekali buta soal dunia kuliah dan seluk beluknya. Apalagi ia pernah melihat temannya yang skip kuliah dua tahun gara-gara diberi informasi yang salah oleh guru BP di sekolahnya.
ADVERTISEMENT
“Dia tuh nanya begini, ‘Kalau Bidikmisi itu nanti dibiayain sampai akhir enggak?’ Terus guru BP-ku tuh ngeselin banget lah. Dia bilangnya adalah, ‘Bidikmisi itu (gratis) cuma sampai kamu masuk doang, sisanya bayar sendiri’,” kenangnya menirukan teman dan guru BP-nya.
Angga yang nekat kuliah termasuk beruntung karena akhirnya mengetahui beasiswa Bidikmisi itu menyediakan biaya kuliah sampai lulus. Bahkan biaya hidupnya pun ditunjang sebesar Rp 900.000 per bulan.
Berangkat dari kejadian itulah, ia lantas tercetus ide memberi mentoring intensif bagi mereka siswa kelas XII SMA yang mau kuliah.
“Jadi kita diskusi (mentoring) ada dua, di grup WA secara virtual beberapa minggu sekali sesuai kurikulum yang ada, atau ketemuan setelah janjian. Itu dampaknya gede, maksudnya benar-benar banyak yang bilang, ‘Oiya, makasih Mas, Mbak, akhirnya aku keterima di ITB, UNS dan sebagainya’,” kata cowok yang logat bahasa Jawanya masih lekat saat berbicara.
ADVERTISEMENT
Saat teman-temannya pulang ke Boyolali, pasti ada saja kegiatan yang dibikin. Selain yang rutin, ada juga kegiatan yang spontan dihelat setelah tercetus ide. Misalnya seperti kegiatan membangun dan mengembangkan Taman Pendidikan Alquran, menginisiasi kurban di desa yang enggak pernah ada kurban saat Iduladha, hingga memberdayakan ekonomi individu yang kurang mampu.
“Sebenarnya kita enggak punya program kerja yang saklek. Jadi bukan kayak organisasi kuliah. Kita bahkan enggak punya struktur. Benar-benar kayak cuma sekumpulan orang punya ide apa, udah kelar satu ide, program udah kelar dijalanin kita mikir lagi kita mau bikin apa,” ujar cowok yang lulus dari ITB pada tahun 2016 lalu.
Ingin anak muda bergerak
Bagi Angga, tujuan pendirian Boyolali Bergerak terbilang simpel. Ia enggak berharap orang sampai menganggap gerakannya bisa menyelesaikan masalah yang ada di mana-mana.
ADVERTISEMENT
“Yang aku dan teman-temanku pikir adalah gimana caranya anak-anak muda Boyolali itu terbiasa buat bergerak, terbiasa bikin gerakan, makanya namanya Boyolali Bergerak, kan? Bikin kegiatan sosial bikin apa, jadi kalau melihat masalah, kamu terbiasa bergerak, ya udah, selesain,” tegasnya.
Cowok yang pernah jadi Ketua Pemilu Raya Keluarga Mahasiswa ITB ini juga berharap agar anak muda Boyolali yang berprestasi dan sedang merantau mau berkontribusi buat kota asalnya. Mereka harus mampu menyisihkan waktu untuk membikin sesuatu bagi Boyolali.
“Kalau misalkan kita tidak memberikan gagasan, kita tidak memberikan gerakan, ya tidak akan menciptakan perubahan apapun, kan? Padahal anak-anak muda Boyolali itu yang misalkan (mahasiswa atau alumni) ITB, UI, UGM, UNS, Undip dan sebagainya itu banyak gitu,” kata Angga menggebu-gebu.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, “Kalau kita keluar (kota) enggak balik ke Boyolali, sayang aja. Boyolali yang mau mbangun siapa?”