In Memoriam: 10 Tahun Wafatnya Pemimpin GAM, Tgk Hasan Tiro

Konten Media Partner
3 Juni 2020 22:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tgk Hasan Muhammad Di Tiro saat pulang kembali ke Aceh, 11 Oktober 2008. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Tgk Hasan Muhammad Di Tiro saat pulang kembali ke Aceh, 11 Oktober 2008. Foto: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
Kabar mengejutkan menyebar cepat dari mulut ke mulut, ponsel dan media sosial, Kamis siang, 3 Juni 2010. Innalilahi wainna ilaihi rajiun, telah berpulang ke Rahmatullah, Paduka Yang Mulia (PYM) Wali Nanggroe Aceh DR. Tgk. Hasan Muhammad Di Tiro.
ADVERTISEMENT
Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wafat dalam usia 84 tahun dalam perawatan di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUDZA) karena komplikasi penyakitnya. Tokoh penting dalam sejarah Aceh itu kemudian disalatkan ribuan orang di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Selanjutnya dimakamkan tepat di sebelah makam leluhurnya, Pahlawan Nasional dari Aceh, Tgk Chik Di Tiro.
Dalam ceramah yang sendu melepas jenazah Tgk Hasan Tiro, ulama Aceh Tengku Muhibuddin Waly berkata, "Semoga kita semua menjaga amanah Wali untuk terus menjaga perdamaian abadi di Aceh.”
Jenazah Tgk Hasan Tiro di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto: Suparta
Tiga hari berturut-turut bendera setengah tiang berkibar di Aceh, untuk menghormati jasanya dalam berperang dan berdamai, memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Hari ini, Rabu (3/6) tepat 10 tahun lalu Tgk Hasan Tiro wafat. Memperingatinya, Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar mengajak para pejuang dan segenap rakyat Aceh untuk melanjutkan cita-cita perjuangan. “Saya menghimbau kepada para perjuang dan segenap bangsa Aceh untuk melanjutkan perjuangan yang telah beliau (Almarhum DR. Tgk. Hasan Muhammad di Tiro) wariskan kepada kita 44 tahun yang lalu, sehingga suatu saat tercapai cita-cita perjuangan Aceh, Insya Allah,” kata Tgk. Malik Mahmud.
ADVERTISEMENT
Perjuangan itu adalah menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh, setelah hadirnya perdamaian pada 15 Agustus 2005.
***
Tgk Hasan Tiro (kanan) dan Tgk Malik Mahmud. Dok. pribadi
Hasan Tiro lahir di Gampong Tiro, Pidie, 25 September 1925. Berasal dari keluarga ulama, beliau ikut dalam perang melawan Belanda, saat Indonesia baru merdeka. Beliau sempat kuliah di Universitas Islam Indonesia, Yokyakarta. Pada awal 1948, menjadi anggota staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara
Melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat, Tgk Hasan Tiro sempat bekerja paruh waktu di Perwakilan Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selanjutnya konflik terjadi di Aceh, Tgk Hasan Tiro bergabung ke dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh, di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh. Beliau menjadi Duta Besar Aceh untuk perjuangan di PBB, tahun 1953. Pemerintah Indonesia mencabut kewarganegaraannya.
ADVERTISEMENT
Kemudian perjuangan DI/TII Aceh padam lewat perjanjian perdamaian pada 9 Mei 1962, Aceh mendapat otonomi khusus. Tgk Hasan memilih tetap tinggal di Amerika Serikat menjadi pengusaha di bidang minyak, emas, timah, dan permukiman.
Tgk Hasan Tiro kemudian pulang ke Aceh, mendeklarasikan GAM di Gunung Halimun, Pidie pada 4 Desember 1976. Sejak itu, beliau menjadi buruan kelas wahid aparat keamanan, dicap pemberontak yang merongrong stabilitas keamanan Indonesia. Tiga tahun lamanya, Tgk Hasan Tiro bergerilya, memimpin pasukannya di belantara Aceh. Pada 28 Maret 1979, beliau meninggalkan Aceh melalui sebuah pelabuhan kecil di pesisir Jeunieb, Bireuen. Ia kembali ke Amerika Serikat, hingga akhirnya menetap di Alby, Norsborg, Swedia.
Baca kisah lanjut dalam artikel berikut:
ADVERTISEMENT
Tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, perang masih terjadi. Pemerintah Indonesia dan GAM kembali serius merintis perdamaian, agar tak banyak lagi warga Aceh yang menjadi korban sia-sia. Pemerintah mengajukan sejumlah tawaran kepada GAM untuk berunding. Mereka sepakat duduk semeja, difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI), pimpinan mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, sebagai juru penengah. Semua pada tujuan sama, membangun Aceh kembali dari keturpurukan akibat konflik dan bencana.
Akhir Januari 2005, kedua delegasi awal bertemu di Helsinki, Finlandia. Lebih setengah tahun, dialog lima babak di Helsinki sampai pada kesimpulannya. Ketua tim perunding Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin dan Ketua perunding GAM, Perdana Menteri, Malik Mahmud, membubuhkan tanda tangan perdamaian pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini dikenal dengan MoU Heksinki.
ADVERTISEMENT
Kisahnya dapat dibaca pada artikel berikut:
Usai Damai Aceh disepakati, Tgk Hasan Tiro kembali ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Saat itu puluhan ribu orang dari berbagai kabupaten/kota berbondong-bondong datang ke Banda Aceh, memenuhi Bandara Sultan Iskandar Muda dan Masjid Raya Baiturrahman. Wali Hasan Tiro pulang melalui Malaysia, dijemput sejumlah sahabatnya.
Di Masjid Raya Baiturrahman, Wali Hasan Tiro menyampaikan amanahnya, dibacakan Tgk Malik Mahmud. “Biaya perang mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal. Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua.”
Bagi Tgk Hasan Tiro, kepulangannya ke Aceh adalah janji yang ditunaikan sekaligus menumpahkan kerinduan pada tanah leluhur. “Saya akan segera kembali begitu misi terlaksana dengan sempurna,” tulis Tgk Hasan Tiro dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary. []
ADVERTISEMENT