Jelajah Desa Tertinggal di Aceh: Merah Putih di Sekolah Berkubang Lumpur (4)

Konten Media Partner
7 September 2020 9:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
SD Blang Lango, wilayah terpencil di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
SD Blang Lango, wilayah terpencil di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
ADVERTISEMENT
Bangunan sekolah berbentuk permanen itu berdiri kokoh di sebuah lahan tak berpagar. Dindingnya berlapis cat kuning yang memudar. Berada di kawasan pegunungan, gedung itu hanya mempunyai tiga ruang yang menjadi tempat belajar siswa.
ADVERTISEMENT
Di halamannya, sebuah kubangan lumpur menganga. Tak jauh dari sana, selembar Bendera Merah Putih berkibar-kibar disapu angin di ujung tiang. Bukan terbuat dari besi, tiang penyangga panji kebesaran negara Indonesia itu hanya batang bambu.
Beginilah kondisi SD Blang Lango yang terletak di Desa Blang Lango, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Selain gedung sekolah, di areal itu tak terdapat bangunan lain. Lokasinya pun berada di kawasan perbukitan kampung pedalaman itu.
Tak ada aktivitas saat acehkini mengunjungi sekolah itu pada hari libur, Minggu (30/8). Namun di sana kami bertemu Yurnalis, guru honorer yang mengajar anak-anak di SD cangkokan atau sekolah jauh dari sekolah induk: SDN Alue Bakti, itu. Sekolah induknya berada di Desa Alue Tho, yang berada jauh di seberang sungai dan melewati sejumlah tanjakan jalan berlumpur.
ADVERTISEMENT
Meski akses yang sulit, Yurnalis tetap semangat membagikan ilmunya kepada anak-anak di kampung tertinggal itu. Ia pun tak berharap gaji yang menurutnya tak seberapa bila dibandingkan dengan perjuangannya ke sana. "Tapi ini panggilan jiwa, karena ini anak-anak kita," ujarnya.
Yurnalis, guru honorer SD terppencil di Blang Lango, Nagan Raya, Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Yurnalis tinggal di Desa Tuwi Meuleusong. Sebuah perkampungan yang bertetangga dengan Desa Blang Lango. Dua desa ini bernasib sama: jauh dari pusat kecamatan dan juga pembangunan infrastruktur pemerintah.
Hampir saban hari, Yurnalis harus bertarung sekitar satu jam dengan medan jalan dari rumahnya hingga akhirnya tiba di sekolah. Kadang-kadang ada tanjakan yang tak sanggup ditaklukkan motornya.
Kalau sudah begini, ia terpaksa memarkirkan kendaraannya di tengah jalan. Lantas berjalan kaki ke sekolah. "Bagi saya sudah biasa dan tidak jauh lagi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Seingat Yurnalis, SD Blang Lango resmi berdiri menjadi sekolah jauh atau cangkokan dari SDN Alue Bakti pada 2017. Sebelumnya, anak-anak di sana diajarkan oleh warga yang menjadi relawan dan tempatnya pun di rumah kosong yang tak ditempati.
Sekolah jauh akhirnya didirikan karena anak-anak Blang Lango sangat sulit menempuh pendidikan ke SDN Alue Bakti yang jaraknya sangat jauh dan harus menyeberangi sungai tanpa jembatan.
Kendati siswa sehari-hari sudah bisa belajar di ruang kelas sekolah jauh, namun untuk ujian pertengahan dan akhir semester, mereka harus mengikuti ke SDN Alue Bakti.
Yurnalis masih ingat suatu hari saat ujian semester berlangsung, anak-anak Blang Lango urung tiba di SDN Alue Bakti karena terhalang banjir dan tidak bisa menyeberangi sungai. "Anak-anak tidak bisa lewat. Tapi pihak SD Alue Bakti juga memaklumi dan disesuaikan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Setiap satu atau dua kali dalam sepekan, Yurnalis harus pergi ke sekolah induk: SDN Alue Bakti, untuk sekadar mengetahui informasi terbaru terkait pembelajaran. Ini karena Desa Blang Lango dan Tuwi Meuleusong belum terkoneksi dengan jaringan internet.
Yurnalis menuturkan, SD Blang Lango terdapat 6 tenaga pengajar. Di antara semua guru, hanya satu orang yang sudah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Selebihnya adalah honorer. Guru-guru itu mengajari 26 siswa yang duduk di kelas 1 sampai 4, sedangkan kelas 5 dan 6 kosong. Para siswa berasal dari Desa Blang Lango dan Tuwi Meuleusong.
Kondisi jalan di Blang Lango, wilayah terpencil di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Selama pandemi COVID-19, guru-guru di sana dibuat pusing dengan metode pembelajaran secara daring. Masalah utamanya adalah keterbatasan jaringan internet. "Mereka tak melihat keadaan di sini, kalau dibuat daring memang tidak mungkin," katanya.
ADVERTISEMENT
Larangan pembelajaran tatap muka dan tak dapat mengakses secara daring, kemudian membuat pembelajaran di SD Blang Lango lumpuh total di tengah pandemi. Lantas orang tua siswa di sana menyampaikan keluhan kepada Yurnalis.
"Kalau pun mengajar dari rumah ke rumah juga tidak mungkin, karena kondisi jalan naik-turun gunung. Jangankan kalau hujan, tidak hujan saja sulit kendarai motor," imbuhnya.
Selama ini, SD Blang Lango juga kekurangan buku pelajaran dan tenaga pengajar yang sesuai mata pelajaran. Yurnalis berharap pemerintah mengatasi ketertinggalan sarana pendidikan di pelosok negeri itu. Termasuk mengganti tiang bambu penyangga bendera merah putih. [tamat]