Belajar Keikhlasan dari Syair Rabiah al-Adawiyah

Rahmat Aiman
Pustakawan Rumah Baca Philosophia, Makassar Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Brawijaya, Malang
Konten dari Pengguna
13 Mei 2022 13:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Aiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nama lengkap dari perempuan yang dijuluki Ibu Para Sufi itu adalah Rabiah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah. Dalam bahasa Arab, Rabiah berarti empat. Nama itu diberikan kepadanya karena dia adalah anak keempat dari empat bersaudara.
ADVERTISEMENT
Terlahir dari keluarga yang miskin, Rabiah juga menjadi yatim piatu sejak kecil. Bersama saudara-saudaranya, dia pernah mengembara ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Namun karena suatu hal, Rabiah terpisah dari saudara-saudaranya dan diculik oleh sekelompok penyamun. Rabiah lantas dijual dengan harga murah kepada seorang pedagang yang kemudian menjadikannya sebagai sahaya.
Kehilangan status kemerdekaan membuat hidup Rabiah al-Adawiyah semakin susah. Siang dan malam, dia harus bekerja keras memenuhi tuntutan dari majikannya. Sampai pada suatu hari dia memohon kepada Allah Swt agar dimerdekakan. Sebagai gantinya, dia berjanji akan menggunakan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada-Nya.
Tak lama berselang, doanya dikabulkan. Untuk memenuhi janjinya, dia mengembara ke padang pasir sebelum menemukan tempat tinggal yang layak untuk beribadah. Di sana, dia mengisi malam-malamnya dengan munajat kepada Allah Swt.
ADVERTISEMENT
Ekspresi cinta dan kerinduan yang digubahnya dalam munajat menjadi syair-syair penuh makna bagi orang-orang yang memahaminya. Namun karena isyarat-isyarat Rabiah tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh orang awam, ada juga yang menganggap syair-syair Rabiah sebagai perkataan sesat.
Salah satu anggapan yang berkembang adalah Rabiah telah melenceng dari Islam karena tidak lagi menginginkan surga ataupun takut dengan neraka. Padahal, terdapat banyak ayat al-Quran dan hadis yang mengambarkan pentingnya memohon perlindungan dari neraka atau mengharapkan surga sebagai ganjaran atas amal ibadah.
Dalam salah satu syairnya, Rabiah memang menyatakan kalau dia menyembah Allah bukan karena takut neraka atau menginginkan surga. Satu-satunya alasan mengapa Rabiah mengabdi kepada Allah adalah kecintaannya kepada-Nya.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang gagal memahami syair Rabiah, umumnya hanya menafsirkannya dari sisi syariat. Surga dan neraka memang merupakan dua konsep utama yang mendorong orang-orang meninggalkan maksiat atau melakukan ibadah. Tapi apakah sesat namanya jika ada seorang hamba yang termotivasi melakukan ibadah dengan dasar cinta?
Ikhlas beribadah kepada Allah Swt. Sumber gambar: Unsplash
Dalam salah satu ceramahnya, Gus Baha menjelaskan kalau Rabiah al-Adawiyah justru bisa menjadi teladan dalam keikhlasan. Kita menyembah Allah karena Dia memang layak untuk disembah. Surga dan neraka tidak lain hanyalah media agar kita lebih termotivasi beribadah. Namun pada hakikatnya, tujuan utama dari setiap ketaatan adalah untuk menggapai rida-Nya.
Prof. Nasaruddin Umar mendefinisikan ikhlas sebagai sesuatu yang bersih dari campuran yang bisa mencampurinya atau sesuatu yang sangat murni. Ikhlas beribadah kepada Allah Swt berarti memurnikan ketaatan hanya untuk mencapai rida-Nya. Terhindarnya kita dari siksa neraka dan dianugerahinya kita dengan ganjaran surga hanya merupakan salah satu tanda-tandanya.
ADVERTISEMENT
Hal yang terkadang dipermasalahkan dari syair Rabiah adalah karena dia tidak lagi peduli dengan neraka dan surga. Namun, mereka tidak melihat kemungkinan lain bahwa neraka bagi Rabiah adalah dijauhkannya seorang hamba rida Allah, sedangkan surga adalah dianugerahinya seorang hamba kesempatan untuk menyaksikan keindahan wajah-Nya.
Apakah keinginan untuk melihat wajah Allah itu berlebihan? Mampu menyaksikan wajah Allah justru merupakan ganjaran tambahan bagi para penghuni surga (QS.Yunus: 26). Hal ini senada dengan yang disabdakan oleh Rasulullah Saw: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama. Kalian tidak berdesak-desakan ketika melihat-Nya”. (HR. Bukhari no. 554, 573, 4851, 7434, dan Muslim no. 633).
Di sisi lain, orang yang menjauhi larangan Allah karena takut neraka dan menjalankan perintah Allah karena menginginkan surga tidak bisa juga dikatakan tidak ikhlas. Biar bagaimanapun, mereka meyakini bahwa surga dan neraka berada dalam kekuasaan Allah. Sehingga takut akan neraka juga bisa berarti takut akan siksa-Nya, sedangkan menginginkan surga berarti menginginkan karunia-Nya.
ADVERTISEMENT
Niat tersebut pada akhirnya tetap disandarkan kepada Allah Swt. Meskipun dalam tasawuf, ibadah dengan motivasi demikian taraf keihlasannya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan karena Allah memang pantas untuk disembah.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazhali membagi pengabdian hamba dalam tiga golongan. Ibadah yang dilakukan karena takut neraka adalah ibadah para budak. Pengabdian yang dilakukan karena menginginkan surga adalah ibadah para pedagang. Sementara penyembahan yang dilakukan karena Allah memang layak disembah adalah ibadah para pecinta.
Menurut Rabiah al-Adawiah, Allah dicintai untuk dua alasan. Dia mengungkapkannya dalam syair berikut:
ADVERTISEMENT
Imam Al-Gazhali menjelaskan bahwa cinta karena rindu adalah cinta yang muncul karena Allah telah menganugerahinya berbagai nikmat kehidupan sehingga Rabiah bisa beribadah kepada Allah Swt. Sementara cinta karena Allah berhak untuh disembah adalah cinta yang hadir karena Rabiah telah menyaksikan kebesaran Allah Swt. Menurut Al-Gazhali, cinta jenis kedua inilah yang merupakan cinta yang tertinggi.
Selain itu, beribadah karena ingin menyaksikan wajah Allah pada dasarnya memang sesuatu yang diperintahkan di dalam Al-Quran. Orang yang ragu-ragu dengan ayat Allah seringkali tenggelam dalam lembah maksiat. Oleh karena itu, mereka perlu diancam agar bisa keluar dari kebiasaannya. Di sisi lain, ada juga orang yang sudah beribadah tapi masih susah untuk istiqamah. Mereka pun diberi kabar gembira dengan surga agar mereka lebih termotivasi melakukan amal saleh. Akan tetapi, tujuan sesungguhnya dari setiap pengabdian tersebut adalah untuk bertemu dengan Allah Swt dalam keadaan diridai-Nya.
ADVERTISEMENT
Dalam al-Quran yang mulia, Allah berfirman:
Dengan motivasi dari al-Quran yang sedemikian jelasnya, apakah kita masih berani menganggap orang yang mengabdi kepada Allah Swt karena hanya mengharapkan wajah-Nya itu sesat?