Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kutipan dari Karl Marx dan Menguapnya Berkah Ramadan
18 Mei 2022 15:02 WIB
Tulisan dari Rahmat Aiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya bukan pendukung Marxisme terutama sekali karena saya belum paham sepenuhnya tentang dasar pemikiran Karl Marx . Namun ada satu kalimat dari sosiolog asal Jerman tersebut yang membuat saya terpikat: "Hidup bukan untuk memiliki sebanyak-banyaknya tapi untuk mengada sebanyak-banyaknya". Kalimat tersebut tidak saya temukan di Das Kapital. Saya menemukan petuah tersebut dalam buku The Art of Living karya Erich Fromm .
ADVERTISEMENT
Belakangan saya tahu kalau kutipan tersebut berangkat dari pandangan Karl Marx tentang hakikat manusia. Tidak seperti Sigmund Freud yang menjadikan libido sebagai pendorong utama dari aktivitas manusia, Marx berpandangan bahwa manusia melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk mengekspresikan diri. Karena punya mata, maka manusia harus melihat. Karena punya telinga, maka manusia harus mendengar. Karena punya pikiran, maka manusia harus berpikir. Karena punya perasaan, maka manusia harus merasa. Segala potensi manusia mestinya diaktualkan dan dilandaskan pada dorongan aktif untuk berinteraksi dengan dunia alih-alih untuk memuaskan kepentingan psikologisnya semata.
Kutipan "mengada alih-alih memiliki" di atas tampaknya dikeluarkan Karl Marx sebagai bentuk perlawanannya atas kapitalisme yang menekankan akumulasi kepemilikan sebanyak-banyaknya. Penting untuk digarisbawahi bahwa kepemilikan tidak melulu tentang benda-benda tapi juga termasuk keinginan untuk dihargai, dihormati, dicintai, dipatuhi, dan berbagai modus lainnya yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat relasi. Di sisi lain, modus mengada atau menjadi berkaitan dengan usaha manusia berbagi keberadaan atau mengekspresikan dirinya terhadap dunia. Modus tindakannya selalu merujuk kepada sesuatu yang aktif seperti keinginan untuk mencintai, menghormati, memedulikan, membantu, atau berbagi lebih banyak. Pemikiran tersebut digunakan Karl Marx untuk membedah realitas sosial dan ekonomi. Tapi konsekuensi filosofisnya bisa jadi juga menyentuh fenomena religiositas atau praktik keberagamaan sehari-hari.
Ramadan dan Karl Marx
ADVERTISEMENT
Selama Ramadan, tidak hanya sekali penceramah Tarawih memberikan motivasi agar umat Islam tambah tekun beribadah agar bisa mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Ramadan adalah bulan di mana semua kebaikan akan diberi ganjaran yang berlipat ganda lebih dari bulan-bulan lainnya maka umat Islam harus memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik-baiknya.
Sebagai contoh, salat sunah di bulan kesembilan tahun Hijriah tersebut setara dengan salat wajib di luar Ramadan. Selain itu, jika membaca 1 huruf Al-Quran di luar Ramadan akan diganjar 10 pahala, selama Ramadan pahalanya bisa mengalir lebih deras lagi. Kata salah satu penceramah Tarawih, umat Islam setidaknya harus berupaya menamatkan Al-Quran minimal sekali selama Ramadan. Puncak dari ganjaran yang berlipat ganda itu sendiri jatuh pada lalilatulqadar . Satu malam yang penuh kemuliaan di mana orang yang beribadah di waktu tersebut akan dianugerahi pahala seperti orang yang melakukan ibadah selama seribu bulan.
ADVERTISEMENT
Semua tindakan yang dimaknai sebagai ibadah tentu saja merupakan hal yang bagus. Tapi ibadah yang diorentasikan untuk mendapatkan pahala semata masih belum sempurna. Pada tahap tertentu, orang yang hanya fokus mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya bisa jadi lupa dengan esensi ibadah yang mereka lakukan.
Orang yang fokus menamatkan Al-Quran berkali-kali selama Ramadan bisa jadi akan membaca Al-Quran secara terburu-buru tanpa merenungkan maknanya. Orang yang tidak paham bahasa Arab, bisa jadi membaca Al-Quran tanpa membuka terjemahannya sama sekali. Ada juga orang yang rajin melakukan salat selama Ramadan, tapi jika kita hanya fokus pada kuantitas, bisa jadi kita melupakan aspek tuma’ninah dan tidak memahami apa yang kita ucapkan selama salat.
Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan jika setelah Ramadan usai, beberapa orang gagal menjadi lebih baik. Alih-alih kembali kepada kondisi fitrah, banyak orang yang kembali kepada kebiasaan lama sebelum Ramadan. Pada titik ini, kita seharusnya sudah bisa merefleksikan bagaimana bacaan Al-Quran dan salat sunah selama Ramadan mampu mentransformasi kita sebagai hamba yang lebih bertakwa. Apakah kita misalnya tidak lagi suka suka marah-marah, mengeluh, kikir, atau justru masih menemukan gejolak yang sama setelah Ramadan?
ADVERTISEMENT
Jika kita memperhatikan dengan seksama, tujuan dari semua ibadah adalah untuk transformasi diri. Pahala memang akan diberikan sesuai janji Allah tapi bukan itu tujuan utamanya. Membaca Al-Quran diperintahkan oleh Allah Swt agar kita bisa mengambil pelajaran dan menghilangkan berbagai penyakit hati. Salat yang tegak mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar serta melindungi dari sifat suka berkeluh kesah lagi kikir. Meskipun kita dijanjikan ganjaran langsung dari Allah Swt, tujuan utama dari puasa Ramadan adalah menjadi hamba yang bertakwa.
Kembali pada kutipan Karl Marx, bisa dikatakan bahwa tujuan utama dari semua ibadah bukanlah untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyak tapi agar kita bisa mengada dan menjadi sebanyak-banyaknya. Aspek penting yang membedakan dari keduanya adalah motif-motif yang mendasarinya. Ibadah yang dengan modus memiliki pahala sebanyak-banyaknya orientasi tindakannya dipusatkan pada diri sendiri. Sebaliknya ibadah dengan modus mengada atau menjadi sebanyak-banyaknya, orientasi dari tindakannya adalah bagaimana mengekspresikan diri sebagai seorang manusia sekaligus hamba.
ADVERTISEMENT
Pada modus memiliki, membaca Al-Quran semata tanpa mengetahui artinya sebenarnya sudah bagus. Akan tetapi, derajat kita bisa setingkat lebih tinggi jika kita membaca Al-Quran untuk memahami makna-maknanya dan mendialogkannya dengan perjalanan hidup kita. Selain mendapatkan pahala, kita juga berpeluang bertransformasi menjadi manusia yang lebih baik jika kita mampu merenungkannya dengan seksama.
Orang yang melakukan salat dalam rangka memiliki pahala sebanyak-banyaknya, bisa jadi akan tetap berusaha maksimal saat menghadap ke kiblat. Akan tetapi, orang yang memiliki orientasi menjadi akan membawa serta ketersambungannya kepada Allah tidak hanya selama salat tapi juga di luar salat. Orang yang berorientasi pada pahala juga mungkin sekali melakukan puasa penuh selama 30 hari tapi belum tentu dia bisa mengendalikan diri di luar Ramadan. Sebaliknya, orang yang berorientasi untuk belajar mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya selama Ramadan untuk menjadi hamba yang diridai Allah besar kemungkinan akan mendapatkan predikat takwa begitu memasuki bulan Syawal.
ADVERTISEMENT
Meskipun masih sering keluar dari pagar syariat, sampai saat ini saya masih percaya bahwa syariat datang untuk memyempurnakan umat manusia baik dari segi individu maupun sistem sosial. Puasa yang dikerjakan selama sebulan penuh itu seharusnya tidak hanya mentransformasi individu tapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Jika Karl Marx membaca banyak perihal Islam, dan menerapkan filosofi “menjadi atau mengada sebanyak-banyaknya”, saya menduga dia bisa menjadi muslim yang lebih baik dari orang kebanyakan. Tapi sebagian dari pemeluk agama Islam saat ini justru tidak mampu memaksimalkan semua ritual keagamaan tersebut untuk menjadi manusia yang lebih baik. Padahal jika kita memilih fokus untuk mentrasformasi diri untuk menggapai rida-Nya, saya yakin kita akan jadi manusia yang lebih utuh dan tetap akan mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Allah Swt.
ADVERTISEMENT