Fenomena Penamaan Unsur Geografis: Penggunaan Nama Orang yang Masih Hidup

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
14 Juni 2021 9:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam dan sedang giat-giatnya melakukan pembangunan infrastruktur serta mempromosikan wisata di tengah situasi pandemi COVID-19. Pembangunan infrastruktur dan promosi wisata ini ternyata diikuti pula dengan pemberian atau penggantian nama unsur geografis atau unsur rupabumi, seperti jalan hingga kawasan wisata (baik objek alami maupun buatan).
Ilustrasi unsur geografis alami dan buatan (Kredit Foto: Photo by Devon Daniel on Unsplash)
Seiring pembangunan juga mesti diimbangi dengan penataan dan penertiban nama objek terbangun. Badan Informasi Geospasial (BIG) merupakan lembaga di bidang Informasi Geospasial yang diamanahkan menjadi National Geographical Names Authority (NGNA) di Indonesia. Sekarang sedang dalam fase lahirnya fenomena penamaan yang menggunakan nama orang masih hidup. Konon katanya, hal ini tidak selaras dengan prinsip penamaan.
ADVERTISEMENT
Betulkah penamaan Jalan MBZ memancing lahirnya fenomena penamaan unsur geografis menggunakan nama orang yang masih hidup?
Tol Layang Mohamed Bin Zayed (MBZ). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Masih ingatkah penamaan jalan di UEA dengan nama Jalan Presiden Jokowi dan kini dibalas oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan penggunaan nama MBZ sebagai pengganti nama jalan tol Japek.
Kasus ini memancing pakar toponimi menuangkan opininya. Profesor Multamia RMT Lauder menegaskan perlunya Pemerintah untuk mempertimbangkan kembali penamaan Jalan MBZ Sheikh Mohamed bin Zayed karena tidak selaras dengan kesepakatan internasional, dan tidak sejalan dengan prinsip penamaan rupabumi di Indonesia. Sebuah opini lain ditulis, pakar toponimi yaitu T Bachtiar yang juga menyoal Penggantian Nama Jalan Tol Japek.
ADVERTISEMENT
Akhir April 2021, isu penamaan kawasan kota tua muncul saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mempertimbangkan perlunya untuk menamai kawasan Kota Tua Jakarta menjadi Batavia. Saya langsung menanyakan pendapat dari Bang JJ Rizal sebagai budayawan Jakarta yang paham toponim dan sejarah penamaan di wilayah tersebut terhadap pemberitaan mengenai usulan penggantian nama kawasan Kota Tua.
Kota Tua Jakarta yang penuh sejarah (Photo by Heru Eko Saputro on Unsplash)
Melalui akun twitternya, Bang JJ Rizal menyampaikan bahwa "selain menyalahi amanah PP 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, terlebih lagi pengubahan nama itu juga mengabaikan sejarah kawasan kota tua jakarta yang berlapis-lapis tak hanya sejarah kolonial, semoga Pak @aniesbaswedan dapat menimbang hal ini".
Selain permasalahan pada nama kawasan buatan manusia tersebut, nama kawasan untuk unsur alami seperti kawasan bukit dan pantai juga merupakan salah satu nama geografis yang kerap menggunakan nama orang yang masih hidup. Bukit Soeharto diberi nama saat beliau masih hidup, kemudian di Jayapura ada nama Bukit Jokowi. Belakangan ini, pada awal bulan April 2021 sejumlah media memberitakan penamaan pantai di Kota Pariaman menggunakan nama Wapres Ma'ruf Amin. Konon katanya, nama ini diberikan karena sejak Indonesia merdeka baru kali ini pemimpin negara datang ke daerah tersebut atas undangan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Kemudian, masih di bulan April pada minggu terakhir, Puncak Paku Mandeh di Pesisir Selatan, Sumatera Barat menuai polemik terkait usulan Bupati untuk menggantinya dengan nama Puncak Jokowi. Menparekraf Sandiaga Uno menyampaikan bahwa untuk branding hal tersebut sah-sah saja. Di sisi lain, sejumlah masyarakat menyatakan keberatan karena akan merusak tatanan sejarah yang telah ada. Nama puncak paku sendiri merupakan sejarah yang telah dinamai oleh nenek moyang mereka sejak dulu dan hal ini sesuai dengan keberadaan lokasi tersebut yang ditumbuhi banyak pohon paku. Wilayah pesisir memang memiliki potensi wisata kaitannya dengan toponimi.
Selain itu, ada polling usulan nama stadion di Provinsi Banten di mana salah satu pilihan yang ada adalah nama pasangan pemimpin pemerintahan di Provinsi Banten tersebut. STADION WH-ANDIKA, diartikan stadion yang dibangun di masa kepemimpinan pak WH dan Andika yang semangat membangun.
ADVERTISEMENT
Seorang kawan menyampaikan bahwa ternyata nama Stadion WH-Andika menduduki posisi kedua dari hasil polling. Lalu, di Provinsi Jawa Tengah juga terdapat berita yang menarik di mana nama Ibu Megawati menjadi nama gedung di Klaten. Lebih lanjut Bupati Klaten, Sri Mulyani, menyampaikan "Nama itu dipilih lantaran melihat sosok Megawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima di Indonesia dan satu-satunya perempuan yang menjadi presiden dalam sejarah Indonesia hingga kini".
Sejumlah pakar dan pemerhati toponimi dalam WhatsApp Group Toponimi menyampaikan kegundahan mereka dan mengingatkan Badan Informasi Geospasial (BIG) agar segera melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Terutama, pasca lahirnya fenomena penamaan unsur geografis yang mengabaikan prinsip penamaan sebagaimana amanat PP Nomor 2 Tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Harry Ferdiansyah, Koordinator Kelompok Jabatan Fungsional Toponim dan Verifikasi Informasi Geospasial Partisipatif, Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, BIG menyampaikan bahwa fenomena penamaan tersebut semakin meningkat dan memerlukan kerja sama berbagai pihak. "BIG akan berusaha menjalankan peran sesuai yang diamanahkan dalam PP 2 Tahun 2021. Salah satunya sosialisasi mengenai amanah PP 2 Tahun 2021, terutama urgensi penerapan prinsip dalam pemberian maupun penggantian nama," ujar Harry.
Selain nama permukiman, nama pemakaman, dan nama kawasan wisata di atas maka penamaan yang kuat hubungannya dengan pemangku kepentingan adalah penamaan infrastruktur, termasuk nama jalan (odonim). Sejumlah paper terkait toponimi terutama yang mengupas tentang nama jalan selalu mengaitkan adanya relasi kekuasaan dalam penamaan bahkan penamaan jalan kerap jadi wadah ritual pertukaran penggunaan nama.
ADVERTISEMENT
Lalu, adakah penggantian nama yang dapat menjadi praktik baik?
Memori kita akan tertuju pada rekonsiliasi jiwa dan beban moral yang diusung oleh 3 Provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta. Sebuah paper yang ditulis oleh seorang kolega mengupas mengenai isu tersebut bahwa penggantian nama jalan tersebut dapat menjadi acuan manfaat toponim sebagai diplomasi budaya dan "peacemaker" di Indonesia yang memiliki berbagai macam suku budaya dan bahasa.
Salah satu sudut kekuatan budaya Yogyakarta (Kredit Foto: Photo by Angga Kurniawan on Unsplash)
Mengapa nama geografis perlu ditata dan dibakukan?
Menyimak hal tersebut, kawan saya menyampaikan tampaknya bahasan yang dimaksud berkaitan juga dengan opini yang disampaikan oleh Profesor Multamia RMT Lauder. Kepatuhan pemberian nama geografis agar sesuai dengan prinsip penamaan memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga otoritas penamaan di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai penataan dan pembakuan, tantangan berikutnya adalah bagaimana menertibkan yang belum sesuai dan mengenalkan prinsip penamaan. Hal ini karena isu toponim bukanlah hal yang seksi atau dikenal meskipun nama-nama tersebut bagian dari kehidupan kita sehari-hari, dari papan nama penunjuk jalan hingga nama yang muncul dalam peta di dalam gawai kita.
Kalau ada pelanggaran prinsip penamaan unsur geografis, siapa yang berhak menilang?
Seorang dosen muda geografi dari Universitas Negeri ternama di Yogyakarta menanyakan pertanyaan yang cukup apik dalam suatu forum diskusi. "Siapa ya yang berhak menilang (pelanggar prinsip toponim)?"
Nama geografis yang sudah melalui tahapan penelaahan, seperti contoh penamaan untuk 8 gunung api bawah laut yang telah melalui pengecekan usulan nama agar sesuai dengan prinsip. Prinsip penamaan unsur geografis di Indonesia ada 10 prinsip dan semuanya tertuang dalam PP Nomor 2 Tahun 2021 pada Pasal 3. Dari mulai prinsip nama rupabumi yang harus menggunakan bahasa Indonesia; dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila Unsur Rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan; hingga terdapat prinsip yang terkait dengan kasus nama jalan MBZ yaitu nama rupabumi harus menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Kembali ke jawaban untuk pertanyaan pelanggaran prinsip, siapakah yang berhak menilang?
Jika pertanyaannya yang berhak menilang dalam konteks memberikan pemahaman mengenai toponim, maka tentunya adalah tugas dari lembaga otoritas penamaan dalam hal ini di Indonesia adalah BIG. Akan tetapi, ada hal yang mesti dicermati terkait sejauh mana regulasi penyelenggaraan pembakuan nama geografis yang ada mengatur konsep tilang tersebut.
PP Nomor 2 Tahun 2021 tidak memuat konsep sanksi atau tilang sebagaimana yang diharapkan oleh kawan saya tersebut. Untuk pelanggaran di level pemerintah daerah, tentunya BIG beserta Kementerian/Lembaga terkait dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Badan Bahasa dapat mendorong pemerintah daerah untuk menyusun peraturan turunan tentang penyelenggaraan nama rupabumi di daerah yang dapat memuat sanksi. Tentunya dalam prosesnya perlu dikawal oleh ketiga instansi pusat tersebut.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana yang melanggar adalah pemangku kepentingan di tingkat pusat? Maka itulah salah satu pekerjaan rumah bagi lembaga otoritas penamaan untuk mengenalkan keberadaan regulasinya, terutama penerapan prinsip penamaan agar melahirkan nama geografis baku yang dapat diacu dan menjaga jati diri bangsa.
Konsep tilang terhadap pelanggaran dalam kegiatan penyelenggaraan nama geografis ini tentunya berbeda dengan tilang kendaraan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh negara anggota PBB yang tergabung dalam Kelompok Pakar tersebut adalah konsep literasi toponimi melalui pengenalan toponim yang tentunya membutuhkan dukungan berbagai pihak, termasuk media massa.
Kalau terkait isu penggunaan nama orang untuk nama geografis, isi rekomendasi PBB seperti apa? Bagaimana negara lain mengatasi permasalahan penggunaan nama orang tersebut?
ADVERTISEMENT
Resolusi VIII/2 Praktik Pemberian Nama Diri Orang sebagai wujud penghargaan/peringatan dalam penamaan unsur geografis, memuat dua rekomendasi utama sebagai berikut:
Berdasarkan resolusi tersebutlah, maka prinsip penamaan poin 7 dalam Pasal 3 PP Nomor 2 Tahun 2021 muncul dengan masa tunggu 5 tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia.
Ternyata menerapkan prinsip tersebut juga tidaklah mudah, Kanada sebagai negara inisiator yang mengusulkan poin rekomendasi tersebut juga masih menemui kendala yang sama dengan Indonesia. Salah satu solusinya adalah tetap gencar melakukan edukasi toponimi mengenai urgensi dari penerapan prinsip tersebut.
ADVERTISEMENT
Toponim merupakan bagian dari alat komunikasi dan interaksi kita sehari-hari, selain itu terdapat pengetahuan dan kebijakan lokal dari nenek moyang kita yang acapkali tersimpan dalam sebuah nama.
Oleh karena itu, menata nama geografis tidak dapat dilakukan oleh lembaga tertentu saja namun memerlukan kontribusi dan dukungan berbagi pihak. Edukasi toponimi membutuhkan peran pemerintah, akademisi, dan media massa sebagai penyampai pesan dan informasi ke berbagai pihak.
Mari bersama bersatu padu, merawat NKRI melalui Nama Rupabumi. Satu Peta, Satu Nama Rupabumi Baku, Satu Data, Satu Nusantara.