Konten dari Pengguna

Diktisaintek Berdampak: Rebranding Cerdas atau Kudeta Kebijakan?

KASMAN RENYAAN
Akademisi Universitas Banda Naira
4 Mei 2025 15:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KASMAN RENYAAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aula Des Alwi, Universitas Banda Naira, Kecamatan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Aula Des Alwi, Universitas Banda Naira, Kecamatan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap arah kebijakan pendidikan nasional, terdapat satu pola yang terus berulang, nyaris abadi; bahwa setiap kali kursi menteri bergeser, kebijakan pendidikan dan kurikulum pun ikut berganti. Seolah-olah perubahan nomenklatur menjadi indikator utama transformasi, bukan evaluasi atas dampak nyata atau efektivitas kebijakan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Para eksekutor pendidikan tampaknya sibuk berlomba menorehkan jejak, dalam bentuk label kebijakan, bukan lewat capaian nyata yang berdampak. Alih-alih memperkuat dan menyempurnakan program yang masih muda dan belum cukup waktu untuk dievaluasi menyeluruh, kebijakan justru dipoles ulang dengan nama baru, seolah perubahan istilah mampu menggantikan kebutuhan akan perubahan substansi.
Fenomena ini terlihat jelas dalam perubahan nomenklatur yang baru-baru ini diluncurkan. Di bawah nahkoda baru, Kurikulum Merdeka di sekolah berubah rupa menjadi Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). Kementerian Agama, yang membawahi lembaga pendidikan keagamaan, turut mengganti kurikulum yang sama menjadi Kurikulum Cinta.
Sementara itu, di perguruan tinggi, jargon Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), yang pernah menjadi ikon reformasi pendidikan tinggi, "dimuseumkan." Nama baru itu kini resmi, menjadi “Diktisaintek Berdampak.” Nomenklatur ini diumumkan nahkoda Mendiktisaintek Brian Yuliarto, bertepatan dengan momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025. Kabar itu dilansir oleh Tempo.co sehari setelahnya, pada 3 Mei 2025.
ADVERTISEMENT
Perubahan nomenklatur ini sejalan dengan restrukturisasi kelembagaan dalam pemerintahan Kabinet Prabowo-Gibran, menyusul pemecahan Kemendikbudristek. Namun bila arah dan isinya masih begitu-begitu saja, kenapa harus repot ganti nama?
Apa cuma demi tampil beda dan membangun citra baru sang pemimpin? Atau ini cara halus buat menghapus jejak pendahulu tanpa benar-benar membawa perubahan yang berarti? Yang pasti, pola seperti ini terus berulang. Begitu kursi menteri bergeser, kebijakan ikut berganti—sering kali sebelum mahasiswa sempat menyelesaikan satu siklus kurikulum dengan utuh.
Contohnya program MBKM. Banyak kampus baru mulai menerapkannya di lapangan, tapi sekarang suasananya sudah seperti mau belok arah lagi. Mendiktisaintek Brian Yuliarto bilang, “Diktisaintek Berdampak” keberlanjutan dari MBKM, hanya saja dengan fokus baru ke riset dan inovasi.
ADVERTISEMENT
Tapi, bukankah sejak awal MBKM juga membuka ruang untuk dua hal itu? Riset juga menjadi bagian integral dari delapan program utama MBKM yang tengah dijalankan di berbagai perguruan tinggi. Melalui skema ini, mahasiswa yang mengikuti program magang MBKM juga didorong untuk terlibat aktif dalam kegiatan riset sebagai upaya mempercepat masa studi mereka.
Gedung Cagar Budaya Tingalan Kolonial Inggris, kini digunakan sebagai ruang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Banda Naira, Maluku Tengah, Maluku. Di FKIP terdapat 3 Prodi yakni Prodi Pendidikan Sejarah, Prodi Bahasa Indonesia dan Prodi Matematika. Sumber Foto: Dokumen Pribadi
Bahkan, sejumlah kampus telah melakukan terobosan dengan mengganti ujian skripsi, karena riset mahasiswa terbukti memiliki kualitas tinggi dan berhasil dipublikasikan di jurnal terakreditasi SINTA maupun jurnal bereputasi internasional.
Sampai di titik ini, publik mulai mencium aroma tak sedap bukan karena tak yakin dengan perubahan itu, tetapi terobosan ini semacam “kudeta kebijakan.” Ada simbol lama yang ingin digusur dan label baru yang buru-buru ditikam lebih dalam, demi jejak “politik penanda” sang kurator. Kalau memang Kampus Merdeka dianggap berhasil, kenapa tidak dilanjutkan dan disempurnakan saja secara berkelanjutan? Atau jangan-jangan ini bukan soal kualitas program, tapi soal siapa yang berhak menandatangani prasasti peresmian yang kelak namanya akan terlukis indah sebagai pengerak perubahan?
Gedung Cagar Budaya Tingalan Kolonial Inggris yang digunakan Fakultas Perikanan Univeritas Banda Naira. Terdapat 3 program studi, yakni Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Budidaya Perairan, Sosial Ekonomi Perikanan Dokumen Pribadi
Sekjen Kemendiktisaintek, Togar Simatupang (dalam Tempo.co 3 Mei 2025), menyebut program baru ini sebagai “selangkah lebih maju.” Tapi yang terdengar justru ironis, kulit sudah berganti, rumusan srategi capaian, seperti magang, yang katanya jadi inti program—belum selesai dirumuskan. Infrastruktur pendukung juga masih sebatas menjaring aspirasi. Jadi, sebenarnya apa yang sedang dirayakan? Nama baru?
ADVERTISEMENT
Diktisaintek Berdampak tampak lebih sebagai produk dari ruang "politik simbolik" ketimbang hasil dari pemikiran kebijakan yang matang. Di balik jargon "dampak," yang muncul malah kebingungan soal istilah, tumpang tindih aturan, dan absennya kesinambungan.
Kampus bisa jadi bingung, mitra industri bertanya-tanya, mahasiswa menunggu arah yang jelas. Kalau tiap menteri sibuk menamai ulang tanpa belajar dari kebijakan sebelumnya, pendidikan tinggi bukan sedang bergerak maju, melainkan terjebak dalam pusaran ego struktural yang tak kunjung selesai.
Budaya “ganti presiden, ganti menteri, ganti nama” bukan cuma bikin capek, tapi pelan-pelan juga merusak fondasi keberlanjutan kebijakan publik. Sudah waktunya berhenti sibuk memuja simbol dan mulai memberi ruang pada substansi.
Perubahan sejati tidak datang dari nama baru atau jargon segar, melainkan dari keberanian melanjutkan yang sudah baik, membenahi yang masih lemah, dan merawat kebijakan yang terbukti bekerja—apa pun namanya. **
ADVERTISEMENT