Emas dan Merkuri yang Mengubah Wajah Pulau Buru

20 Maret 2017 8:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana penambangan emas di Kabupaten Buru. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Kutukan atas Buru tak hanya terjadi pada masa Orde Baru, saat Soeharto membuang ribuan tahanan politik ke pulau itu. Bahkan setelah rezim itu tumbang, Buru kembali dilanda kutukan.
ADVERTISEMENT
Semua bermula pada tahun 2011. Saat itu, muncul beberapa titik penambangan emas di Buru. Satu yang paling tersohor adalah Gunung Botak di Kecamatan Namlea.
Selain Gunung Botak, terdapat dua tambang emas lain yang cukup besar di Buru, yakni Gogorea dan Gunung Nona. Namun di antara ketiganya, kandungan emas di Gunung Botak adalah yang terbesar.
Bambang Riyadi, Manajer Operasional PT Buana Pratama Sejahtera --perusahaan yang terlibat dalam rehabilitasi Gunung Botak pada 2015-2016, mengatakan satu karung pasir di gunung itu mengandung sedikitnya 2-3 gram emas.
“Gunung Botak sangat tinggi kandungan emasnya. Paling tinggi dibanding lokasi tambang lain,” ujar Bambang.
Maka, Buru kini bukan lagi dikenal sebagai tempat pengasingan, melainkan lokasi perburuan emas. Pulau di Maluku itu dijarah habis-habisan oleh banyak orang, tepatnya ribuan para penambang liar yang memiliki beking-beking di belakang mereka. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Konon, penemu emas pertama di Buru ialah seorang transmigran. Kilau emas Buru lantas dengan cepat tersiar dari mulut ke mulut, membuat Buru kedatangan para pemburu emas dari berbagai penjuru Indonesia.
Maka bila pada masa Orde Baru ribuan orang datang ke Buru karena terpaksa --dibuang sebagai tahanan politik, pada era berikutnya gelombang manusia menyerbu Buru karena kemauan sendiri --yang ditunggangi rasa rakus akan harta.
Tahun 2015 menjadi puncak perburuan emas di Buru. Sekitar 50.000 penambang beraktivitas di Gunung Botak, kebanyakan berasal dari Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. (Baca:)
Bahar, misalnya, sengaja jauh-jauh meninggalkan kampung halamannya di Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat, demi membawa pulang uang puluhan juta rupiah dari hasil berburu emasnya di Gunung Botak. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Demikian pula Tomo yang meninggalkan sepetak sawahnya di Kediri, Jawa Timur, demi mengeruk emas di Buru.
Perburuan emas di Buru perlahan mengubah wajah pulau terbesar ketiga di Maluku itu. Mata pencaharian penduduk asli Buru bahkan ikut berubah. Bertani, berkebun, dan mencari ikan di laut pelan tapi pasti mereka tinggalkan.
Pertambangan bagai lubang hitam yang menyedot habis keindahan Buru dan kehidupan asri penduduknya. Tragis. (Baca juga: )
Aktivitas di Gunung Botak, Maluku. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Penghuni Buru, sebelum pertambangan emas marak, kebanyakan hidup sebagai petani dan nelayan. Jemy misalnya, warga asli Buru yang kini sehari-hari beraktivitas di Gunung Botak, salah satu lokasi sentral tambang liar di pulau itu.
Jemy sebetulnya bukan penambang. “Saya hanya menjaga orang-orang luar yang menambang di sini, supaya tidak dipukul orang-orang (asli) sini.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan (kumparan.com) di Gunung Botak, Buru, Jumat (10/3), dia menceritakan sekelumit kehidupannya sebelum dan sesudah pertambangan liar menjadi “nyawa” Buru.
Dulu, untuk menafkahi keluarga, Jemy mencari ikan di laut atau bekerja di ladang. Ya, ia sesungguhnya nelayan dan petani, seperti kebanyakan warga Buru lain. Jika cuaca sedang jelek, Jemy tak melaut. Ia pergi ke ladang untuk menanam dan memanen cokelat atau kakao.
Itu dulu. Tambang emas membuat Jemy langsung meninggalkan dua profesi yang digelutinya bertahun-tahun itu. Ia bergabung dengan kelompok penambang yang berasal dari luar Buru.
Alasannya sederhana saja: uang.
“Keuntungan dari hasil tambang bisa lebih cepat dan 10 kali lipat (dari melaut dan berkebun),” kata Jemy.
Sepintas memang masuk akal. Siapa pula tak mau kaya?
ADVERTISEMENT
Tapi, apakah emas lantas mengubah Buru jadi lebih baik, dan menyulap penduduknya jadi lebih bahagia?
Ternyata tidak. Secara keseluruhan, justru sebaliknya yang terjadi. Bahaya serius mengintai di balik kilau emas Buru.
Ini karena butiran-butiran emas itu diburu dengan cairan perak beracun alias merkuri atau air raksa. Merkuri, jika masuk ke tubuh, dapat menyebabkan tremor, parkinson, anemia, tuli, hingga kematian. (Baca )
Keracunan merkuri dalam dosis rendah dapat menyebabkan gangguan syaraf seperti penurunan daya ingat, penurunan kemampuan meraba, mendengar, melihat, gangguan bicara, sensoris, dan koordinasi gerak, peningkatan rasa letih; gangguan kardiovaskular seperti penurunan sistem imun; serta gangguan reproduksi seperti penurunan tingkat kesuburan dan cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Pada anak, keracunan merkuri dosis rendah dapat menyebabkan keterlambatan bicara, keterlambatan kemampuan berjalan, penurunan kemampuan berkonsentrasi, dan autisme.
(Baca: )
Rendaman yang mengandung merkuri dan sianida. (Foto: Dok. Istimewa)
Merkuri biasa digunakan dalam penambangan emas skala kecil atau tambang rakyat --seperti halnya yang berlangsung secara liar di Pulau Buru. Larutan merkuri diperlukan untuk memisahkan (mengekstraksi) emas dari pasir.
Proses ekstraksi tersebut dikenal dengan istilah amalgamasi. Dalam proses itu, terbentuk ikatan senyawa antara emas dan merkuri. Sederhananya, merkuri mengikat emas padanya, sehingga memisahkan emas itu dari pasir, dan membuatnya dapat diambil dengan mudah.
Gambaran Area Pulau Buru (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Merkuri yang digunakan pada tambang-tambang emas liar Buru itu lantas dibuang ke sungai, dan mengalir hingga ke laut.
Lihat saja lokasi tambang liar bermerkuri di Buru. Tambang di Gunung Botak dekat dengan aliran Sungai Anahoni, sedangkan tambang di Gunung Gogorea dekat dengan Sungai Waepo. Sungguh celaka.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, merkuri mencemari sungai dan laut. Dampaknya kini mulai dirasakan oleh penduduk Buru.
Laodi misalnya, menceritakan keluhannya sebagai nelayan yang secara tak langsung dirugikan oleh penggunaan merkuri pada tambang-tambang liar di Buru.
“Warga di pasar-pasar Namlea sekarang takut beli ikan dari Teluk Kayeli. Omzet harian jadi makin berkurang,” kata Laodi yang tinggal dekat Pelabuhan Namlea.
Ia menduga, warga takut beli ikan karena ada kabar Teluk Kayeli, tempat tinggalnya, tercemar merkuri.
Hal itu lantas menjadi alasan tambahan bagi banyaknya nelayan Buru yang beralih profesi menjadi penambang.
Penghasilan nelayan yang tak seberapa, dan kian seret karena isu laut tercemar merkuri dari tambang, justru direspons para nelayan dengan ikut menambang demi kelangsungan perekonomian keluarga mereka. Sungguh lingkaran setan.
Kawasan Gunung Botak, Maluku. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Wajah Buru yang berubah usai dihantam ratusan titik pertambangan liar itu sepenuhnya disadari oleh Gubernur Maluku Said Assagaff. Ia paham betul emas menjadi rayuan maut yang sulit ditolak penduduk Buru.
ADVERTISEMENT
“Raja (kepala adat) di sana mobilnya bisa sampai dua. Penambang ilegal kalau mau masuk (menambang) kan harus bayar ke orang adat,” kata Said kepada kumparan dalam perjalanan menuju Pulau Seram, Maluku, Kamis (9/3).
Namun tentu saja, ujar Said, dampak buruk penambangan emas liar itu perlu ditindak.
“Lingkungan rusak parah, pertanian hancur. Saat waktunya panen, malah tidak bisa panen karena penduduk pada beralih ke pertambangan,” kata dia.
Kini, tambang-tambang emas liar itu telah ditutup sesuai Instruksi Gubernur Maluku Nomor 48 Tahun 2017 yang berisi perintah penutupan operasi tambang di Gunung Botak dan Gogorea, Pulau Buru.
Sebanyak 3.000 penambang ilegal yang pekan lalu masih beraktivitas di Gunung Botak, diperintahkan pergi demi menyelamatkan apa yang masih tersisa dari Buru. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Demi Buru, sekarang atau tidak sama sekali.
Infografis Kronologi Tambang Emas Pulau Buru (Foto: Mateus Situmorang/kumparan)