Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Bahar duduk berselonjor kaki di samping lubang persegi yang sisi-sisinya sepanjang 75 sentimeter. Lubang itu sempit, idealnya untuk dimasuki satu orang saja. Jika dua orang ramping masuk sekaligus ke dalamnya, mereka tak akan bisa bergerak leluasa.
ADVERTISEMENT
Di samping lubang itu, Bahar tampak lemas. Lelaki 43 tahun itu menolak rokok yang ditawarkan kepadanya, meski ia sehari-hari pengisap rokok.
“Baru keluar dari dalam (lubang). Saya di dalam mungkin ada 7 jam. Nanti saja rokoknya,” kata Bahar kepada kumparan.com di Gunung Botak, Wansait, Pulau Buru, Maluku, Jumat (10/3).
Sore mendung itu, Bahar tak sendiri di Gunung Botak. Sebaliknya, ia hanya satu dari ribuan penambang emas tanpa izin (peti) di gunung kering kerontang itu --yang membuatnya tak berlebihan punya nama “Gunung Botak”.
ADVERTISEMENT
Lubang di sisi Bahar tak lain adalah tambang emas. Di lubang itu, Bahar bersama 12 orang anggota kelompoknya melakukan penggalian dan mencari emas selama 30 hari.
Sialnya, meski sudah 30 hari alias sebulan, belum ada satu gram emas pun keluar dari tanah. Padahal kelompok Bahar sudah menghabiskan uang Rp 60 juta selama proses penggalian.
Namun Bahar tak gusar. Itulah yang kadang terjadi pada seorang penambang, dan Bahar bukan orang baru dalam dunia penambangan liar.
Penambang ilegal adalah profesi Bahar. Ia telah malang-melintang di dunia itu. Dia sengaja pergi dari daerah asalnya di Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat, untuk berburu emas.
Emaslah alasan Bahar berada di Gunung Botak. Emas membuat Bahar menyeberang laut dan meninggalkan keluarganya yang terpisah jarak hampir 2.700 kilometer dari dia.
ADVERTISEMENT
Jika emas sudah ditemukan, uang modal Rp 60 juta yang ia dapatkan dari seorang pendana dan ia gunakan untuk menambang, bisa tertutupi alias balik modal.
Bahar juga bisa membawa pulang oleh-oleh berupa uang puluhan juta rupiah.
Penambangan emas ilegal di Gunung Botak sudah terjadi sejak 2011. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Maluku, penambangan liar tersebut melibatkan 50.000 orang pada 2012.
Bayangkan, 50.000 orang. Padahal luas area tambang di Gunung Botak hanya 250 hektare. Bandingkan dengan kawasan tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Mimika, Papua, yang seluas 90.000 hektare dan hanya diisi 32.416 pekerja pada tahun 2015. Itu pun tak seluruh pekerja Freeport terlibat langsung dalam proses penambangan.
ADVERTISEMENT
Masih membandingkan dengan Freeport Indonesia, emas yang dihasilkan perusahaan afiliasi Freeport-McMoran asal Amerika Serikat itu, berdasarkan laporan tahunan mereka, berkisar 30 ton lebih tiap tahunnya.
Tahun 2011, Freeport Indonesia memproduksi 40,8 ton emas. Jumlah itu kemudian cenderung turun di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2012, Freeport Indonesia “hanya” menghasilkan 27 ton emas, tahun 2013 sebanyak 34,25 ton, tahun 2014 sebanyak 34,3 ton emas, tahun 2015 sebanyak 37,5 ton, dan tahun 2016 sebanyak 34,3 ton.
Dengan demikian, berdasarkan laporan tahunan itu, total produksi emas Freport Indonesia dari tahun 2011 sampai 2016 berjumlah sekitar 208,15 ton.
Sesungguhnya, belum ada pihak yang mau mengatakan berapa persisnya emas yang sudah dihasilkan dari penambangan liar di Gunung Botak --yang perlahan benar-benar menuju botak.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Hafid Abbas, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, emas yang sudah diambil dari Gunung Botak telah lebih dari 200 ton.
Informasi itu didapat Hafid dari hasil pertemuan Komnas HAM dengan Bupati Buru, awal Desember 2016. Menurutnya, emas 200 ton lebih itu jika diolah dapat menghasilkan keuntungan signifikan bagi negara.
Namun tentu saja, karena ditambang secara ilegal, seluruh keuntungan itu --yang mestinya dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat-- melayang dari tangan negara.
Dengan kata lain, negara kehilangan potensi pemasukan. Tak ada satu rupiah pun masuk ke kantong negara dari Gunung Botak. Sementara Freeport Indonesia yang kerap dicaci maki saja masih membayar “upeti” tiap tahun kepada pemerintah.
ADVERTISEMENT
Berapa kira-kira uang yang mestinya didapat negara dari Gunung Botak?
“Nilai eksternalitas dari pertambangan emas rakyat (di Gunung Botak) adalah sebesar Rp 131.187.700.000. Nilai ini diperoleh dari biaya transaksi,” demikian kutipan hasil penelitian gabungana Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Institut Pertanian Bogor yang diterbitkan oleh Journal of Agriculture, Resource and Environmental Economics pada 2013.
Rp 131 miliar. Itulah nilai eksternalitas yang disebutkan pada tahun 2013. Maksud dari nilai eksternalitas ialah manfaat tak langsung yang diberikan dari satu pihak dalam aktivitas ekonomi. Jumlah itu belum mencakup nilai emas yang keluar dari Gunung Botak.
Kerusakan bentang alam Gunung Botak tampak jelas. Metode menambang yang digunakan ribuan penambang liar itu membawa kerusakan luar biasa. Mereka meruntuhkan tebing sehingga reruntuhannya meluncur ke kolam endapan atau melalui karpet, untuk kemudian dicari pasir yang mengandung emas.
ADVERTISEMENT
Di sana-sini, tanah tandus dan cekungan besar bekas aktivitas pertambangan emas membuat Gunung Botak buruk rupa. Padahal, gunung itu semula hijau dengan tanaman.
Bukan cuma ratusan galian dan peruntuhan tebing yang merusak Gunung Botak, tapi juga bahan kimia beracun yang digunakan ribuan penambang liar di sana.
Merkuri, bahasa awamnya, ialah air raksa. Cairan berwarna keperakan itu jika masuk ke tubuh dapat menyebabkan tremor, parkinson, anemia, tuli, hingga kematian. Sementara sianida ialah senyawa kimia beracun. (Ingat kasus pembunuhan Mirna dengan sianida?)
ADVERTISEMENT
Betapa gambar di atas memperlihatkan dekatnya lokasi tambang liar bermerkuri di Buru dengan sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat. Tambang di Gunung Botak dekat dengan Sungai Anahoni, sedangkan tambang di Gunung Gogorea dekat dengan Sungai Waepo.
Pemerintah Provinsi Maluku bukannya tak sadar dengan kerusakan lingkungan dan hilangnya potensi pendapatan daerah akibat penambangan ilegal di Gunung Botak.
Sudah 24 kali upaya menutup penambangan liar itu dilakukan, namun selalu gagal. Baru penutupan ke-25 membuahkan hasil, yakni pada 15 November 2015. Kali itu, pasukan TNI dan Polri dikerahkan ke lapangan.
ADVERTISEMENT
Setelah ditutup, polisi, tentara, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), berbagai satuan tugas dari dinas terkait, dan masyarakat adat, diterjunkan untuk menjaga lokasi eks penambangan agar tak kembali diserbu penambang ilegal.
Namun lagi-lagi, upaya itu menghadapi kendala ketika pasukan di Gunung Botak ditarik turun.
“Kami terpaksa menarik turun pasukan karena butuh personel tambahan untuk pengamanan pilkada,” kata Kapolres Buru, AKBP Leo Simatupang, di Markas Komando Distrik Militer 1506/Namlea, Pulau Buru.
Maka, begitu Gunung Botak kosong dari penjagaan aparat, para penambang ilegal kembali berhamburan naik ke sana. Dalam waktu dua bulan saja, 3.000 orang penambang liar kembali memadati gunung gersang itu.
ADVERTISEMENT
Penutupan operasi tambang ilegal di Buru juga sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi, Kamis (9/3), dalam rapat kabinet terbatas di Istana Negara, bahwa pertambangan rakyat tak boleh menggunakan merkuri.
Semoga prahara gunung emas Buru selamanya berakhir.
Olah data: Tio Ridwan Utama