Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengembalikan Kasih (Tuhan)
12 Februari 2018 5:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
The whole purpose of religion is to facilitate love and compassion, patience, tolerance, humility, and forgiveness.
― Dalai Lama
Mood akhir pekan bisa rusak karena apa saja. Salah satunya: kabar buruk. Dan kabar buruk itu datang pagi hari. Saya--yang semula meniatkan diri untuk tak membuka berita apapun selama Sabtu-Minggu ini demi ketenangan pikiran (yang belakangan mulai kembali pupus)--tak sengaja melihat notifikasi breaking news di layar ponsel. Notifikasi itu kira-kira berbunyi, “Pria Berparang Serang Gereja di Yogya” .
ADVERTISEMENT
Deg. Jantung saya terasa berdetak lebih keras saat ibu jari men-swipe layar handphone untuk membaca artikel lengkapnya. Hati seketika rusuh.
Saya tak konsentrasi lagi pada buku Life is Elsewhere yang lembar-lembarnya terbuka di depan mata. Jaromil si penyair hilang, Xavier si petualang mimpi musnah. Mendadak benak dipenuhi segala pikiran yang berpilin berpintal jadi benang kusut. My mind was elsewhere.
Saya setengah berharap si penyerang, lelaki pembawa parang itu, adalah orang gila kambuhan yang lepas dari rumah sakit jiwa. Sungguh, saya sudah muak jika mendengar lagi tentang satu atau sekawanan ekstremis yang hendak mengacak-acak jagat.
Dan saya kian geram ketika--lagi-lagi tak sengaja--membaca tulisan seorang kawan, Mbak Camelia Pasandaran, di Facebook. Ia bercerita, “Salah satu korban adalah guru musik saya di Pusat Musik Liturgi, Romo Karl Edmund Prier, SJ . Romo Prier adalah orang yang sangat rendah hati dan baik. Ia berasal dari Jerman dan sudah berusia 80 tahunan. Dia mengabdikan hidup puluhan tahun di Indonesia dan sangat fasih berbahasa Indonesia.”
Begini kira-kira kronologi kejadian yang saya baca. Si penyerang, pria pembawa parang yang kini diketahui bernama Suliyono, masuk dari pintu gereja bagian barat saat misa sedang berlangsung. Ia menyerang seorang anggota jemaat yang membawa anak kecil. Jemaat lelaki itu kena luka bacok di bagian punggung.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Suliyono berlari ke depan dan menyerang Romo Prier yang memimpin misa. Ia juga memenggal kepala patung Yesus dan Bunda Maria di mimbar gereja. Pada peristiwa ini, empat orang terluka sebelum si agresor ditembak polisi karena berusaha menyerang aparat saat hendak diringkus.
“Saya tidak mengerti orang macam apa yang bisa berbuat jahat pada orang yang luar biasa baik seperti Romo,” kata Mbak Camel.
Nah nah nah, di situlah letak masalahnya. Suliyono tak kenal Romo Prier. Kombinasi antara “tak kenal maka tak sayang” dan kedunguannya itu jadi perkara besar.
Semoga saja tak banyak orang dungu macam ini berkeliaran membunuhi sesama hanya karena entah alasan apa yang ada di otaknya (nyaris tak ada alasan yang dapat dibenarkan bagi manusia untuk membunuh manusia lainnya, kecuali dia merasa sudah jadi Tuhan).
ADVERTISEMENT
Dan Mbak Camel, dengan sedih, mengakhiri kisahnya tentang Romo Prier dengan doa bagi sang Romo--dan penyerangnya.
“Cepat sembuh Romo, doa kami selalu menyertai. Siapapun yang menyerangmu, untuk alasan apapun, semoga dia berkesempatan bertobat dan mendapat pencerahan.”
Amin.
Tak hanya umat Nasrani, Majelis Ulama Indonesia juga mengecam aksi penyerangan si pria berparang. Tindakan tersebut, tegas Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi, “Tidak mencerminkan ajaran dan nilai agama, patut dikutuk apapun motifnya, dan tak bisa ditoleransi.”
Zainut tentu saja benar. Ajaran agama apa yang mengajari umatnya untuk melakukan kekerasan? Agama diturunkan ke dunia bukan untuk medium berbuat onar. Manusialah si pembuat onar.
Hari saya jadi rusak. Meski sudah mencebur ke kolam untuk mendinginkan kepala yang mendidih cepat, dan berenang bolak-balik tak henti-henti--entah tujuh atau sembilan putaran--untuk mengenyahkan rasa gusar, tapi hal-hal macam ini sungguh-sungguh membuat saya jengkel.
ADVERTISEMENT
Apalagi, sebelumnya saya--lagi-lagi kebetulan--juga membaca soal persekusi terhadap seorang biksu di Tangerang, yang menurut polisi perkara itu sudah selesai. Intinya, kata polisi, masyarakat setempat menolak kebaktian umat Buddha yang hendak dilakukan dengan menebar ikan di danau desa tersebut.
Mereka juga menyangka rumah Biksu Mulyanto Nurhalim dijadikan tempat ibadah bersama karena ia sering dikunjungi umat Buddha dari luar kecamatan. Sangkaan itu tak benar, perkara (katanya) sudah rampung.
Tapi... bukankah itu menyedihkan? Memang kenapa kalau biksu itu dikunjungi umatnya? Kan pendeta dan ulama pun sah-sah saja jika menerima kunjungan umat untuk berkonsultasi soal agama. Sesama rekan sekantor atau kawan sekolah pun wajar bila saling menyambangi.
Sebelum itu, akhir 2017, Ustaz Abdul Somad juga dipersekusi ketika hendak berdakwah di Denpasar. Ia ditentang datang oleh kelompok tertentu, dan diminta mencium Bendera Merah Putih di lobi hotel. Sang Ustaz tak terima diperlakukan sebagai pemberontak, sebab ia tak terdaftar di ormas terlarang dan justru mengajarkan paham kebangsaan di berbagai sekolah.
ADVERTISEMENT
Kasus masih berderet. Akhir Januari lalu, pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah di Bandung, KH Umar Basri , diserang usai salat subuh di masjid dalam kompleks pesantrennya. Saat sang Kiai sedang berzikir, tiba-tiba seorang jamaah salat menendang kotak tempat peralatan azan sambil berteriak, lalu memukuli Kiai Umar yang berada di tempat imam salat.
Masih pekan yang sama, seorang ulama yang juga Komandan Brigade Persatuan Islam, HR Prawoto , dianiaya hingga tewas oleh seorang lelaki--yang kemudian disebut polisi mengidap “gangguan jiwa”. Kebetulan, gila pula yang disematkan pada penganiaya Kiai Umar.
ADVERTISEMENT
Mengerikan juga kalau semua orang yang menyerang membabi-buta adalah “gila”. Ya ya ya, melakukan kekerasan saja memang sudah pantas disebut “gila”. Dan kegilaan itu sudah seharusnya dibayar dengan sanksi sepadan.
Dan apakah penyerangan terhadap para pemuka agama itu sekadar kebetulan--peristiwa acak? Atau jangan-jangan ada pola tertentu pada titik-titik acak itu.
… dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qasas: 77)
Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mumtahanah: 7)
ADVERTISEMENT
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Matius 22:39)
Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (Matius 5:43-44)
Semoga semua makhluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat, semoga kami pandang-memandang dengan pandangan mata seorang sahabat. (Yajur Veda 26:2)
Bila ayat-ayat Tuhan saja menganjurkan kebaikan kepada makhluknya, kenapa manusia lantas berlaku pongah dan menyakiti sesama?
Omong-omong soal agama yang mestinya bermuara pada kebaikan dan kasih, sayangnya sejumlah hal tentang agama kerap bikin ribut, sampai memicu perang urat saraf di media sosial (terkutuklah medsos untuk hal satu ini).
ADVERTISEMENT
Contoh sederhana: ada orang pindah agama, warganet ribut; ada artis buka jilbab, gaduh lagi; ada artis memutuskan bercadar, juga bising. Nyaris seolah semua mengomentari, semua menghakimi, semua merasa paling benar dengan pendapatnya, dengan keyakinannya.
Dan dia yang disiram lampu sorot bak duduk di kursi pesakitan. Bisik-bisik tentangnya terus menjalar. Urusan privat dia dengan Tuhan-nya jadi konsumsi publik.
Buat saya (mungkin tidak bagi sebagian lainnya), agama itu personal. Pengalaman spiritual adalah personal. Tak mungkin 7,5 miliar kepala di Bumi ini punya pikiran dan keyakinan seragam. Pun bila jubah keyakinan yang dikenakan jutaan orang di antara miliaran manusia itu sama, isi otak masing-masing individu tentu tak serupa.
Apa yang dianggap benar oleh A, belum tentu demikian buat B. Semua amat tergantung pada pengalaman empiris masing-masing orang. Maka bagi saya, tak perlu ada klaim “Yang ini paling benar,” atau “Yang itu tak benar,” atau “Yang ini kurang benar.”
ADVERTISEMENT
Apa yang benar bagimu, ya sudah lakoni, tak perlu membenci mereka yang berbeda pandangan. Santai saja.
Kalau ingin semua seragam, ya harus memusnahkan banyak orang lebih dulu macam Hitler. Mungkin bisa pinjam tombol nuklir Trump atau Jong-un. Atau kalau itu terlalu pelik, ledakkan otak sendiri, atau paling tidak, cuci otak dulu supaya segar.
Oke, oke, lupakan kalimat terakhir tadi.
Yang jelas, kekhawatiran di dada kian membuncah melihat deretan kasus intoleransi yang menurut Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, tak berdiri sendiri. Berdasarkan berbagai riset selama tiga tahun terakhir, ujarnya, statistik permusuhan antarkelompok makin meningkat.
Tapi, harapan belum sirna. Seorang jemaat gereja Bedog Yogya yang menjadi saksi mata penyerangan misalnya mengatakan, betapa warga muslim di sekitar gereja langsung ikut turun tangan membantu proses evakuasi jemaah. Kemanusiaan dan welas asih tak pernah habis dilahap kebencian.
ADVERTISEMENT
Dan saya akan mengakhiri “bualan” (atau renungan?) malam ini dengan pesan universal dari Dalai Lama.
Catatan: Selesai ditulis saat jarum jam menunjukkan pukul 23.23, 11 Februari 2018. Seluruh ilustrasi gambar diambil dari Pexels.