Konten dari Pengguna

Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
30 April 2017 10:16 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
17
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali
zoom-in-whitePerbesar
Fotografer Australia, Clifford White, belum lama ini mengunggah foto-foto Bali pada 1970-an via akun Facebook-nya. Rangkaian foto itu ia unggah dalam satu album yang diberi judul “Bali, Indonesia, the early years, 1975-1977,” dengan deskripsi “Images from various surfing trips to beautiful unspoilt Bali, when Kuta was a fishing village, Nusa Dua had a dirt road and no buildings and we had to hike on foot to Uluwatu.”
ADVERTISEMENT
White menghimpun kembali lembaran-lembaran potretnya tentang Bali tempo dulu karena didera rindu dengan suasana Pulau Dewata ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di sana pada Maret 1977.
“Saya merindukan wajah Bali yang dulu, yang tidak ramai dan sesak seperti sekarang,” kata dia ketika berbincang dengan rekan saya di kumparan, Ardhana Pragota, pekan lalu.
Ia bercerita betapa dulu dia dan kawan-kawannya menyusuri padang rumput dan jalanan terjal berlumpur (tak beraspal) demi bertemu ombak mahadahsyat di Pantai Uluwatu yang sempat memukau mata peselancar dunia ketika pertama kali dilihat dunia dalam film Morning of the Earth tahun 1972.
“Bali saat itu masih otentik. Sekarang sebagian besar wilayahnya menjadi tempat yang kacau. Kemurniannya hilang ketika melihat Kuta yang penuh sesak hari ini,” ujar White.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (1)
zoom-in-whitePerbesar
Saya bukan orang Bali, tak tinggal di Bali, dan hanya beberapa kali mengunjungi pulau cantik itu (ya, bagi saya yang megenal Bali pada masa ini, dia sungguh cantik—meski mungkin tak di semua lokasi). Walau begitu, saya sepertinya paham perasaan White.
ADVERTISEMENT
Seperti dia yang tak menyukai lingkungan penuh sesak, demikian pula saya. Namun, begitulah adanya ketika kita pergi ke Kuta. Wilayah itu bagai pantai metropolis yang dipenuhi massa bermalas-malasan ketika matahari terbenam dengan musik ingar bingar menguar di udara.
Itu sebabnya saya tak begitu suka Kuta. Terlebih saya tipe orang yang tak senang bising. Buat apa pergi dari “perangkap” ibu kota Jakarta jika di Bali bertemu pula dengan keriuhan?
Maka ketimbang mesti bertemu gaduh di deretan pantai metropolis Bali, saya memilih untuk menyeberang ke pulau-pulau yang lebih kecil di tenggara Bali—Nusa Penida (yang terbesar), Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan.
Buat saya (generasi yang lahir 1980-an dan tak pernah ke Bali pada 1970-an), ketiga pulau kecil itu cukup memberikan ketenangan yang dibutuhkan untuk kabur sejenak dari gaduh Pilkada DKI Jakarta—syukurlah sebentar lagi berakhir, dan rutinitas—yang bila tak dikelola dengan baik bisa menyulap manusia menjadi robot dan membuat jemu hidup.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (2)
zoom-in-whitePerbesar
Sejak awal, saya sepenuhnya sadar fasilitas dan akomodasi yang terdapat di pulau-pulau itu tak semegah dan semewah di mainland Bali.
ADVERTISEMENT
Never mind. Sebab yang saya cari bukan fasilitas bintang lima—lagi pula isi kantong juga tak seberapa. Pokoknya saya cari tempat tenang yang asyik buat bersemadi atau bertapa.
Hanya saya dan alam. Titik.
Maka dengan tujuan sederhana itu, saya menyeberang dari Pantai Sanur ke Nusa Penida, kemudian dari Nusa Penida ke Nusa Lembongan.
Tentu saja sehari tak cukup untuk berkeliling Nusa Penida—tak seperti Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan yang jauh lebih kecil sehingga bisa dijelajahi dalam waktu 24 jam, namun cukup untuk memanjakan mata dengan pemandangan alam menawan.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (3)
zoom-in-whitePerbesar
Destinasi utama saya tentu saja pantai-pantai—sesuatu yang identik dengan Bali. Oke, boleh saja Jakarta punya Pulau Seribu yang sebagian di antaranya juga masih bersih dan memukau. Tapi buat saya, ada suasana di Bali yang tak tergantikan oleh tempat lain.
ADVERTISEMENT
Begini ceritanya…
Beberapa tahun lalu saat saya juga menyambangi Bali, pagi hari sembari menanti mentari merekah, saya keluar dari kamar (yang menghadap laut lepas), dan berdiri diam di tepi laut yang dipenuhi kabut.
Entah dari mana asalnya, terdengar suara mengalun di balik kabut itu, di sela ringan debur ombak. Begitu melodius dan mistis, membuat saya terpaku. Saat itu belum ada siapapun di tepi pantai. Saya berada di Nusa Ceningan, pada bagian yang tepat menghadap ke Nusa Lembongan.
Di antara kabut yang mengapung, saya merasa udara berhenti bergerak. Yang mengalir hanya suara gamelan ritmis itu—yang menyihir saya jadi arca.
Well, kadang-kadang hal semacam itu bisa terjadi pada siapa saja. Tapi sejak itulah Bali mengikat hati saya. Yup, dia memikat sekaligus mengikat dalam satu waktu.
ADVERTISEMENT
Saya segera tahu, saya akan kembali ke tempat itu suatu hari nanti. It’s a must, janji saya pada pulau gaib itu. Dan dia seperti kekasih penyabar yang menanti pengunjungnya kembali.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (4)
zoom-in-whitePerbesar
Maka sampailah lagi saya ke sana—dan nanti lagi di masa depan.
Betapa senangnya. Meski itu “hanya” Bali (hei, saya turis domestik, jadi pergi ke Bali mestinya sama sekali tak spesial), nyatanya Bali, bagi banyak orang termasuk wisatawan mancanegara, adalah segalanya.
Pulau ini punya 1001 alasan untuk menawan hati tamunya dan salah satu alasan utamanya: bentangan alam memesona.
Itu pula kenapa banyak turis asing selalu kembali ke Bali meski sudah pernah ke sana, bahkan akhirnya memilih tinggal di pulau itu, membeli lahan dan properti di sana, lalu sebagian menyewakannya kepada warga dunia termasuk turis domestik seperti saya (oke, hal agak pelik ini sebaiknya dibahas pada bab lain karena pengetahuan saya soal itu terbatas).
ADVERTISEMENT
Anyway, judul cerita saya ini apa sih? Oh iya, “Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali.”
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (5)
zoom-in-whitePerbesar
Seperti saya sebut di atas, Nusa Penida tak seperti mainland Bali (maafkan pilihan kata saya yang menyontek istilah Mainland China, hanya supaya mudah membedakan antara pulau utama di Bali dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya).
Secara harfiah, keseluruhan pulau yang masuk wilayah administratif Kabupaten Klungkung Bali itu, seperti tercantum dalam laman resmi Pemerintah Kabupaten Klungkung, merupakan dataran pantai dengan permukaan tanah tak rata—bergelombang dan terdiri dari bukit-bukit terjal yang kering dan tandus.
Jika ingin membayangkan securam apa dataran di Nusa Penida, kemiringan tanah di sana di atas 40 persen. Jadi, jangan bayangkan kita menemukan jalan beraspal rata mulus di pulau itu. Ya, jalan utama yang melingkari pulau itu memang beraspal. Tapi sisanya entah berupa tikungan tajam tak terhitung dengan rute berzig-zag atau tanah bebatuan yang bisa mengaduk-aduk perut.
ADVERTISEMENT
Dengan trek seperti itulah kita akan menjumpai pantai-pantai memukau di pulau cantik nan garang itu. Kenapa garang? Ya tentu karena jika kita tak hati-hati di sana, taruhannya adalah nyawa. Seorang turis asing yang datang ke sana dua pekan sebelum saya, tewas setelah jatuh dari karang dan terseret ombak yang mendadak mengganas.
Lokasi dia terjatuh dikenal dengan sebutan Angel’s Billabong—yang mungkin seharusnya berubah menjadi Devil’s Billabong kala gelombang sedang pasang dan arus tengah deras.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (6)
zoom-in-whitePerbesar
Devil’s, eh, Angel’s Billabong itu hanya satu dari banyak tempat memikat di Nusa Penida. Lokasi pertama yang saya tuju ialah Pantai Atuh di bagian selatan pulau. Kenapa? Ya karena bagus. Saya sudah sering melihatnya di jagat maya.
ADVERTISEMENT
Saya juga tahu untuk menuju ke sana, kita perlu menuruni—artinya: juga mendaki untuk naik—entah hampir seratus atau memang seratusan anak tangga yang sebagian curam. Saya tak sanggup menghitungnya dengan napas ngos-ngosan, sudahlah.
Yang menyebalkan—beginilah kelas menengah ngehe ibu kota yang manja-manja, untuk melihat lanskap pantai yang lebih luas dari atas, saya mesti mendaki seratusan (lagi) anak tangga menuju spot yang disebut Pulau Seribu (tentu bukan yang di Jakarta).
Dan anak-anak tangga yang saya daki itu bukannya bersemen rapi aman, melainkan undak-undakan tanah—dengan tali rafia di kanan-kiri ditopang batang ranting yang goyah tak meyakinkan—yang sudah disusun untuk memudahkan orang mendaki bukit.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (7)
zoom-in-whitePerbesar
Buat saya yang jarang olahraga (kapok!), meniti menuruni anak-anak tangga terjal dengan pijakan aduhai itu—dan kembali lagi ke atas bukit, sungguh PR besar. Saya beberapa kali memilih beristirahat di sela pendakian ketimbang pingsan di tengah jalan. No way.
ADVERTISEMENT
Tapi percayalah, bentangan laut dan langit yang menanti luar biasa indah. Amazing! Macam tiada tandingannya (mungkin karena saya belum banyak melihat tempat lain di dunia, hehe…)
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (8)
zoom-in-whitePerbesar
Pendakian serupa—turun-naik meniti bukit—harus saya ulangi saat menuju Pantai Atuh. Ini salah satu surga tersembunyi di Bali, seperti juga beberapa pantai lain di Nusa Penida yang lokasinya tersembunyi, sehingga kita harus menuruni ratusan anak tangga—bahkan ada yang sampai satu jam—untuk tiba di sana.
Buat orang seumuran saya (masih cukup muda sih, sayang kurang olahraga), menjelajah seperti ini seharian penuh sudah pasti bikin kaki linu-linu. Bahkan pada satu waktu saya seperti merasa nyaris semaput.
Jika sudah begitu, saya langsung duduk di tanah—di tengah pendakian, mengambil botol minuman dan meneguk air secukupnya, serta mengeluarkan ponsel dari tas pinggang untuk memotret bentangan lanskap yang memanjakan mata.
ADVERTISEMENT
Foto-foto saya jadi cukup banyak, lumayan. Padahal semula, itu hanya aksi kamuflase kala napas sudah tersengal-sengal dan tak kuat lagi mendaki.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (9)
zoom-in-whitePerbesar
Saat tengah duduk-duduk beristirahat sembari memotret-motret, saya berjumpa dengan penduduk lokal—oh, saya lupa namanya—yang bercerita bahwa Pantai Atuh dan lahan di bawah bukit yang sedang saya daki itu telah dibeli oleh seorang warga Prancis.
Dia bercerita dengan santai, seolah beli-membeli pantai adalah hal biasa di Bali—dan memang begitulah yang terjadi pada beberapa pantai di mainland Bali.
“Itu lihat, jalan dicor di sana, nanti akan disambung sampai sini oleh si Prancis itu. Dia akan membangun akses lebih bagus ke pantai. Lahan perkebunan di belakang pantai juga dia beli.”
ADVERTISEMENT
Saya manggut-manggut, tanpa tahu itu benar atau tidak, dan belum konfirmasi soal itu ke siapapun meski amat penasaran.
Saya tanya ke dia, “Apakah nanti jika fasilitas di sini sudah dibangun lebih bagus oleh warga Prancis itu, orang umum masih boleh masuk? Atau apakah mau dijadikan pantai privat?”
Itu, sesungguhnya, kekhawatiran terbesar saya. Sebab tak adil rasanya kecantikan Atuh hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Mendengar pertanyaan saya, dia mengedikkan bahu. Dan saya memandang ke bawah, ke Pantai Atuh nan jelita, dengan was-was.
Semoga yang saya dengar itu tak benar. Kalaupun benar, semoga si orang Prancis yang membeli lahan di sana tetap menjadikannya pantai terbuka.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (10)
zoom-in-whitePerbesar
Dari Atuh, saya menuju Pantai Kelingking—yang dinamai demikian karena salah satu tampakan karang di sana yang kecil lantas dianggap kelingking yang mungil.
ADVERTISEMENT
Tak kalah menawan dari Atuh, warna laut di Kelingking juga amat memukau, dengan tepian bernuansa pirus—hijau kebiru-biruan.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (11)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi saudara-saudari setanah air, untuk ke Pantai Kelingking, kita lagi-lagi harus menuruni ratusan anak tangga—yang panjangnya bukan main, dengan entah berapa kali kelokan—selama satu jam. Jadi, satu jam turun, dan satu jam lagi untuk kembali naik.
Kecantikan yang luar biasa “kejam”, bukan?
Tapi, mungkin, justru karena sulit dicapai, pantai-pantai elok di Nusa Penida masih relatif terjaga keindahannya—dan kesenyapannya. Tak seriuh Kuta atau Sanur di mainland.
Pendeknya, Nusa Penida cocok sekali untuk jiwa-jiwa yang menghindari bising dunia.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (12)
zoom-in-whitePerbesar
Nusa Lembongan hampir serupa dengan Nusa Penida—meski akomodasi seperti penginapan di pulau kecil yang terletak di barat daya Penida itu, lebih baik dan lebih bervariasi ketimbang di Nusa Penida.
ADVERTISEMENT
Walau kondisi geografis Nusa Lembongan serupa Penida, dengan tebing dan karang curam di mana-mana, namun perjalanan menuju pantai-pantai di pulau itu tak sesadis di Penida. Tak ada ratusan anak tangga, meski undak-undakan pasti dijumpai.
Namun yang menyedihkan di Nusa Lembongan adalah: musnahnya industri rumput laut.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (13)
zoom-in-whitePerbesar
Pada salah satu pesisir Nusa Lembongan, yang dulunya lokasi wisata budi daya rumput laut, terlihat perahu-perahu kosong terapung di laut.
Perahu-perahu itu, ujar Durma—pemuda berambut gondrong asal Nusa Penida yang kini bekerja di Lembongan—semula tak kosong, namun berisi ibu-ibu yang sibuk memanen rumput laut dua kali sebulan.
Saya ingat betul, kali sebelumnya ke Lembongan, ibu-ibu kerap terlihat berjalan atau duduk di pinggir pantai dengan membawa rumput laut.
ADVERTISEMENT
Rupanya itu tinggal kenangan. Kenapa gerangan?
Durma bercerita, rumput-rumput laut di Nusa Lembongan kini rusak akibat makin banyaknya kapal melintas di laut—yang membawa para pelancong asing maupun domestik seperti saya.
Kapal-kapal pengantar turis itu, ujar Durma, berbahan bakar bensin, dan bensin mengotori perairan, membuat mati rumput laut.
Mendengar kisah Durma tentang sisi negatif dari wisata pulau yang kian gemerlap, saya jadi iba sekaligus mengernyitkan dahi: benarkah rumput-rumput laut itu mati karena bensin?
Sepertinya, dari hasil pencarian ke sana kemari, persoalannya tak sesederhana “bensin”.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (14)
zoom-in-whitePerbesar
Sudah sejak 2015, produksi rumput laut di Nusa Lembongan dan Nusa Penida main berkurang, seiring pesatnya perkembangan industri pariwisata di pulau-pulau itu.
Generasi muda di kedua pulau tersebut kehilangan minat pada budi daya rumput laut dan lebih tertarik untuk berkecimpung di sektor turisme. Saat itu pula, warga setempat sudah menyadari petani rumput laut akan segera musnah dari desa mereka.
ADVERTISEMENT
Budi daya rumput laut kini memang masih ada di Nusa Penida, namun menurut Durma, jumlahnya sedikit, tak seperti dulu.
Dahulu, Bali termasuk salah satu provinsi penghasil komoditas rumput laut terbesar di Indonesia. Itu dulu.
Lain dulu, lain sekarang. Roda zaman berputar. Ada yang datang, ada yang hilang.
Yang hilang itulah yang dirindukan, antara lain, oleh seorang Clifford White yang menyambangi Bali kala pulau itu masih lebat oleh semak belukar yang belum terbabat.
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (15)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan di Bali juga dirasakan oleh peselancar internasional, Kelly Slater. Baginya, Bali bukan lagi tempat ideal untuk berselancar.
Alasannya: sampah di laut Bali yang makin berserak.
Sampah-sampah itu disebut Slater sebagai “yang terburuk dari yang pernah saya lihat.”
ADVERTISEMENT
Ucapan Slater itu sama sekali tak berlebihan. Sebab itu pula yang saya lihat dalam perjalanan laut dari Nusa Lembongan ke Sanur.
Kala kapal cepat berhenti di tengah laut guna memberi kesempatan kepada para penumpangnya untuk melihat lumba-lumba yang mendadak muncul dari dalam laut, bukan cuma lumba-lumba saja yang terlihat, tapi juga sampah.
Botol-botol plastik, kayu-kayu, dan sampah lain mengambang di tengah laut, merusak pemandangan perairan.
Memang, Bali—dengan segala sampah yang dikandung di kedalaman lautnya—tetaplah cantik.
Di luar jajaran hotel dan keriuhan pada sejumlah pantai metropolisnya, Bali menyimpan magisnya sendiri.
Suara gamelan di kejauhan yang menembus kabut, bakal menyihir siapapun yang mendengarnya.
ADVERTISEMENT
Tapi, sampai berapa lama sihir itu akan menyelimuti Bali?
Meniti Ratusan Anak Tangga Menuju Surga Tersembunyi di Bali (16)
zoom-in-whitePerbesar