Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Qatar Terjepit Kobar Api Perseteruan Saudi-Iran
7 Juni 2017 9:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Qatar, negeri kecil di jazirah Arab yang berbatasan dengan Arab Saudi dan Teluk Persia, digayuti muram setelah mengalami pemutusan hubungan diplomatik oleh enam negara Arab, plus Maladewa dan Maurutius, yang dimotori oleh Saudi --kekuatan politik dominan di kawasan itu.
ADVERTISEMENT
Sehari sejak diblokade Saudi, Selasa (6/6), dengan jalur darat dan udara ditutup, Qatar langsung merasakan imbasnya. Warga Qatar mulai was-was dan menyerbu supermarket serta pusat-pusat perbelanjaan untuk menimbun bahan pangan guna berjaga-jaga jika stok makanan di negara mereka menipis.
Truk-truk berisi logistik tak dapat memasuki Qatar akibat perbatasan ditutup Saudi. Alhasil, untuk menghindari kekurangan pasokan makanan, Qatar mengandalkan Iran yang berada di seberangnya, terpisah laut. Laut pula yang menjadi jalur distribusi pengiriman pangan dari Iran, karena rute darat nyaris mustahil ditembus dengan letak geografis Qatar yang hanya berbatasan darat dengan Saudi.
Padahal, selama ini Qatar mengandalkan impor makanan dari Saudi dan Uni Emirat Arab, 2 dari 6 negara Arab yang memblokadenya, untuk mengisi perut 2,7 juta penduduk Qatar --yang mayoritas (2,3 juta) terdiri dari ekspatriat.
ADVERTISEMENT
Meski Iran bersedia menolong Qatar, namun hal tersebut dinilai tak akan banyak membantu dalam jangka panjang. Kerugian akibat pemutusan hubungan diplomatik oleh Saudi dan sekutunya, diyakini lebih besar.
“(Dengan dibantu Iran pun), Qatar tetap akan rugi, karena letak geografisnya berdekatan dan berbatasan langsung dengan Saudi. Ia melakukan banyak transaksi dalam berbagai sektor dengan Saudi. Dan kini Saudi menutup wilayah darat, air, dan udaranya bagi Qatar. Ini jelas sangat menyulitkan,” kata Tia Mariatul Kibtiah, pakar Timur Tengah Universitas BINUS, kepada kumparan.
Ia berpendapat, “Qatar harus berbaikan dengan Saudi, melakukan pendekatan agar bisa diterima kembali oleh Gulf Countries, jika ingin situasi membaik. Kalau tidak, kondisi seperti sekarang tak baik buat Qatar dan stabilitas regional di kawasan itu.”
ADVERTISEMENT
Gulf Countries yang dimaksud Tia ialah negara-negara Arab yang berbatasan dengan Teluk Persia --Bahrain, Irak, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab-- dan tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council; GCC).
Dari 7 Negara-negara Teluk tersebut, 3 memutuskan hubungan dengan Qatar, yakni Saudi, UEA, dan Bahrain. Sementara 4 negara lain yang ikut mengisolasi Qatar di luar Gulf Countries ialah Yaman, Mesir, Libya, Maladewa, dan Mauritius.
Jika krisis Qatar sukar dirampungkan, maka peta geopolitik Timur Tengah dapat bergeser, dengan posisi Qatar akan lebih dekat ke Iran.
“Selama ini Qatar (secara formal) mendukung kebijakan luar negeri Saudi Arabia. Tapi dengan isolasi ini, kemungkinan berubah,” ujar Tia.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: Iran, “Biang Keladi” Putusnya Hubungan Saudi-Qatar ]
Saudi dan Iran ialah ialah seteru di jazirah Arab. Keduanya sulit, bahkan hampir mustahil, untuk disatukan.
“Karena memang ada pihak-pihak yang tak menginginkan dua kekuatan besar di Timur Tengah itu damai, dengan mengedepankan konflik Suni-Syiah di antara mereka,” kata Tia.
Dulu, pada satu waktu, Iran sesungguhnya pernah menjalin hubungan mesra dengan negara-negara Arab. Masa itu sesungguhnya belum lama berlalu, sekitar 40 tahun lalu.
“Itu pada masa (Mohammad Reza) Pahlavi. Iran bekerja sama baik dengan tetangga-tetangganya di Arab. Amerika Serikat mendukung penuh Pahlavi. Demikian pula Saudi yang merupakan sekutu AS. Tapi semua itu berakhir ketika Revolusi Islam. Sejak saat itu, Iran selalu berseberangan dengan negara-negara Arab, juga AS,” ujar Tia.
ADVERTISEMENT
Pahlavi yang memerintah Iran pada periode September 1941-Februari 1979 ialah raja atau syah terakhir dari Monarki Iran. Pada masa pemerintahannya, Monarki Iran yang telah berusia 2.500 tahun berjaya. Sistem monarki ini serupa dengan Saudi yang hingga kini menganut monarki absolut.
Pada era Pahlavi, Iran mencanangkan rangkaian pembaruan ekonomi dan sosial yang disebut Revolusi Putih. Program itu berhasil memodernisasi Iran, memberikan hak pilih kepada perempuan, dan mengubah Iran menjadi salah satu negara kuat yang diperhitungkan di dunia.
Di sisi lain, perlahan seiring waktu, reformasi agraria macet, demokratisasi nol besar, kebijakan pengakuan Iran atas Israel dikecam, campur tangan Barat dalam perekonomian negara jadi blunder, dan peran tradisional kaum rohaniwan Syiah merosot. Itu semua menyebabkan oposisi menguat.
ADVERTISEMENT
Pada masa kritis itu, pemerintahan Iran makin represif --melarang salah satu partai politik, dan menindas lawan politik hingga pada 1978 atau setahun sebelum kejatuhan Pahlavi, tahanan politik Iran mencapai sekitar 2.200 orang.
Situasi genting itu berujung revolusi pada pertengahan Januari 1979. Monarki tumbang, Republik Islam Iran berdiri di bawah Ayatollah Ruhollah Khomeini, Pahlavi --yang didukung AS-- terguling, dan ia menjadi Syah Iran yang terakhir setelah berkuasa selama 37 tahun.
[Baca juga: Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi ]
Sistem pemerintahan republik mengembuskan angin demokrasi di Iran, dan hal ini tak disukai Arab Saudi yang memegang kuat sistem monarki absolut --pemerintahan yang dikepalai oleh raja.
Di sinilah kepentingan Saudi dan AS bertemu. Keduanya sama tak suka dengan pemerintahan baru Iran --pun meski AS menganut sistem demokrasi bahkan mengagungkannya dan menjadikannya salah satu alasan untuk menginvasi negara lain.
ADVERTISEMENT
AS dongkol karena rezim Pahlavi yang ia sokong runtuh, sedangkan Saudi was-was karena salah satu negara kuat di Timur Tengah kini mengusung demokrasi --ancaman serius bagi monarki yang sebelumnya dianggap abadi di kawasan itu.
“Kalau demokrasi menyebar ke seluruh jazirah Arab, berbahaya untuk Dinasti Saud,” kata Tia.
Pada kondisi demikian, Qatar dengan nekat mendobrak pakem. Ia yang sekutu Saudi, perlahan terus meningkatkan hubungan kerja samanya dengan Iran. Dan ini sesungguhnya tak aneh, karena Qatar biasa berprinsip pragmatis.
Faktor Iran dalam memantik konflik Saudi-Qatar sama sekali tak bisa diabaikan. Ketegangan Qatar-Saudi bermula dua pekan lalu, 24 Mei, ketika Kantor Berita Qatar memuat tulisan tentang pidato Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Tsani, pada satu upacara militer.
ADVERTISEMENT
Dalam pidato itu, menurut Qatar News Agency, Tamim menyatakan bahwa Iran adalah “kekuatan besar”. Ia juga disebut mengatakan Qatar memiliki hubungan “baik” dengan Israel. Ucapan Tamim itu lantas dipasang pada news ticker stasiun televisi Qatar, tanpa menayangkan cuplikan pidatonya.
Pada news ticker itu, Tamim disebut mengatakan “Iran mewakili kekuatan regional dan Islam yang tidak bisa diabaikan, sehingga tidak bijaksana jika melawan mereka. Iran adalah kekuatan besar dalam stabilitas di kawasan.”
Tamim juga disebut mengatakan “Qatar tengah bersitegang dengan Presiden AS Donald Trump.”
Pemberitaan Qatar News Agency dan news ticker tersebut ditanggapi keras Saudi. Saudi dan Uni Emirat Arab langsung memblokir seluruh media Qatar, termasuk yang terbesar, Al Jazeera --media yang dibangun dari modal Raja Qatar, dan konsisten memberitakan gerakan prodemokrasi.
Menghadapi aksi blokir media oleh Saudi, Qatar kaget. Otoritas Qatar mengklaim pemberitaan Qatar News Agency dan news ticker di stasiun televisi Qatar tak benar, menyebut media mereka diretas dan disusupi berita hoaks tentang sang Emir.
ADVERTISEMENT
Meski Qatar kemudian mendatangkan penyelidik dari AS untuk menginvestigasi kasus berita hoaks tersebut, Saudi dan Negara-negara Teluk kadung berang.
Jika ucapan Tamim betul, dan demikianlah yang diyakini Saudi dan sekutunya, maka Qatar telah menyinggung hal paling sensitif bagi Saudi: Iran.
Iran ialah rival serius Saudi dalam berebut pengaruh di jazirah Arab. Kedua raksasa itu kerap berseberangan dalam menyikapi berbagai konflik di Timur Tengah, seperti di Yaman dan Suriah.
Dengan latar belakang itu, Qatar dianggap telah bermain api, dan Saudi tak segan melempar kobaran api lebih besar untuk “menghanguskan” Qatar.
“Kami tidak menoleransi pembangkangan seperti itu, terutama jika berhubungan dengan Iran,” ujar seorang pejabat Saudi.
[Baca juga: Qatar vs Saudi: Semua yang Perlu Anda Tahu ]
Kedekatan Qatar dan Iran sesungguhnya tak baru. Emir Qatar saat ini, Sheikh Tamim bin Hamad al-Tsani, cenderung pro-Iran.
ADVERTISEMENT
CEO Gulf State Analytics, Giorgio Cafiero, di Al-Monitor --media dengan sajian analisis tentang Timur Tengah yang berbasis di Washington AS-- mengulas tentang hubungan Qatar dan Iran yang meningkat signifikan di bawah Tamim.
Kerja sama harmonis Doha dan Teheran itu, ditambah dukungan Doha untuk Ikhwanul Muslimin, dan media Al Jazeera milik Qatar yang kritis, membuat berang Saudi. Riyadh menuding Doha mengejar kepentingan dan ambisinya sendiri dengan mengorbankan keamanan kolektif kawasan. Itu sebabnya Qatar dianggap duri oleh Saudi.
Rivalitas Saudi-Iran lantas berkelindan dengan masalah baru: persaingan Qatar-Saudi, dan ini membentuk “Segitiga Bermuda” Saudi-Iran-Qatar yang berbahaya.
Rivalitas Qatar-Saudi, menurut Cafiero, mulai terlihat sejak Arab Spring meletus di Timur Tengah pada 2011. Arab Spring ialah gelombang revolusi unjuk rasa besar yang terjadi di dunia Arab. Semangat menumbangkan rezim kala itu menyebar cepat dari satu negara ke negara lain di jazirah Arab, dan disambut dengan represi oleh aparat.
ADVERTISEMENT
Pada masa Arab Spring itulah, Saudi dan Qatar mulai bersaing pengaruh untuk mengisi kekosongan politik di sejumlah negara seperti Mesir dan Suriah.
Riwayat hubungan Qatar-Saudi yang diwarnai prasangka, seperti perselisihan perbatasan antara keduanya dan dugaan intervensi Saudi dalam perpolitikan Qatar sepanjang 1990-an, membuat Qatar memutuskan untuk berdiri otonom dan berjarak dari orbit geopolitik Saudi.
Pada saat yang sama, Qatar tak pernah merasa terlalu terancam oleh kemungkinan revolusi seperti yang pernah terjadi di Iran, dan karenanya menggandeng Iran untuk bekerja sama di berbagai bidang.
Berbeda dengan Negara-negara Teluk lain yang memandang Iran sebagai ancaman, Qatar justru melihatnya sebagai bagian dari solusi. Di mata Qatar, Iran dapat berperan dalam menjaga keamanan regional.
ADVERTISEMENT
Pada 2010 misalnya, Qatar dan Iran menandatangani perjanjian bilateral untuk “memerangi terorisme dan mendorong kerja sama keamanan.”
Ikatan ekonomi kedua negara pun cukup kuat. Mereka menjalin kerja sama dalam mengelola ladang gas alam terbesar di dunia yang berlokasi di Iran, yaitu North Dome/South Pars.
Itu pula sebabnya Qatar menentang kebijakan apapun yang berpotensi memicu konflik militer di Teluk yang melibatkan Iran. Sebab hal tersebut dapat mengancam gas yang mereka kelola.
[Baca juga: Gas Alam Qatar, Sumber “Kedengkian” Arab Saudi ]
Jika Qatar memutuskan menjaga hubungan baiknya dengan Iran, kata Tia, maka ia akan cenderung berada di kubu Iran-Rusia-China.
“Berbeda dengan Saudi dan Negara-negara Teluk lain yang beraliansi dengan Amerika dan Eropa,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kebijakan luar negeri Qatar bisa saja berubah drastis jika terjadi pergantian kepemimpinan di dalam negeri.
“Rezim berganti, kebijakan berubah. Tidak menutup kemungkinan Qatar akan kembali bergabung dengan Saudi dan meninggalkan Iran.”
Faktor politik global, termasuk AS yang salah satu negara adidaya hingga kini, tak dapat dinafikan.
“Biasanya, jika ada negara tak patuh (pada AS), ada kekisruhan di negara tersebut. Dulu (Presiden Suriah) Hafizh al-Assad kan nurut sekali sama Amerika. Ketika pada kepemimpinan anaknya, Basyar al-Assad, berpaling (dari AS), di sana langsung ricuh. Contoh lain, (Presiden Irak) Saddam Hussein tak juga mau patuh, ia akhirnya dituduh memiliki senjata pemusnah massal,” kata Tia.
[Baca juga: Kisruh Qatar: Dari Meja Diplomasi ke Lapangan Hijau ]
Kemarin, seperti dilansir Reuters, pemerintah Qatar menyatakan siap berunding di bawah mediasi Kuwait untuk mengakhiri perseteruan dengan Saudi dan sekutunya. Emir Qatar, Tamim, telah berbincang via telepon dengan Emir Kuwait, Sheikh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah.
ADVERTISEMENT
Kuwait berkomunikasi intensif dengan pihak-pihak yang terlibat kisruh diplomatik untuk mengakurkan Qatar dan Saudi. Atas saran Kuwait, Tamim juga menunda pidatonya di hadapan rakyat Qatar tentang konflik tersebut.
Emir Kuwait dianggap sebagai orang tua sendiri oleh Emir Qatar, dan itu sebabnya Tamim patuh pada nasihatnya. Pun, Kuwait merasa pemutusan hubungan diplomatik terhadap Qatar berbahaya karena merusak keharmonisan negara-negara di Semenanjung Arab.
[Baca juga: Syarat dari Arab Saudi Jika Qatar Ingin Berdamai ]
Menteri Luar Negeri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, dalam wawancaranya dengan Al Jazeera menyatakan, “Qatar percaya ketidaksepahaman antara negara-negara bersaudara harus diselesaikan melalui dialog.”
Semoga, atau rakyat mereka akan jadi korban.