Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
"Good fence make a good neighbor.”
ADVERTISEMENT
Ungkapan itu muncul di Kongres Amerika Serikat saat membahas rencana pembangunan tembok AS-Meksiko untuk pertama kalinya tahun 2006. Para politikus Amerika menganggap hanya lewat tembok kita dapat membentuk perilaku tetangga yang baik dan keamanan bisa dicapai.
Rencana tersebut dilanjutkan oleh Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, yang akan membangun tembok sepanjang perbatasan negerinya dengan Meksiko.
Alasan Trump membangun tembok tersebut adalah anggapan bahwa imigran Meksiko menyumbang masalah-masalah di AS. Imigran itu dituding menjadi kartel narkoba, pemerkosa, dan tukang madat.
Kebijakan Trump meruntuhkan anggapan bahwa peradaban modern akan makin mengurangi sekat-sekat fisik di dunia.
Anggapan batas-batas fisik tak lagi relevan, muncul ketika dunia memasuki era globalisasi dan peranti telekomunikasi makin maju.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata dalam kehidupan modern, pembangunan tembok pemisah masih dilanjutkan.
Trump bukan pemimpin dunia pertama yang menggunakan tembok sebagai simbol kedaulatan dan perlindungan. Puluhan ribu kilometer tembok telah dibangun manusia, direkatkan oleh ketakutan mereka sendiri yang tak pernah sirna sepanjang sejarah.
Tembok adalah bangunan fisik yang tercipta dari harapan manusia akan perlindungan. Tidak hanya tembok, bisa saja pagar, jeruji, atau bentuk fisik apapun yang tidak mampu dilewati oleh kemampuan fisik manusia.
Semakin batasan tersebut tidak bisa dilewati, menandakan semakin besar ketakutan manusia terhadap apa yang ada di luar tembok. Karenanya, tembok dibangun dengan aransemen ketakutan dan nyanyian kekhawatiran.
Hantu kengerian yang sama menggelayuti pemimpin dunia lain. Hasilnya, muncul Tembok Besar China (The Great Wall) pada abad 24 Sebelum Masehi.
Dengan logika serupa, berdiri pula tembok pembatas Yunani-Turki guna menghalau imigran Afrika pada tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Lain zaman, lain pula tantangan yang tertanam pada tembok. Kekaisaran China Kuno rela membangun Tembok Besar China selama lebih dari 2.000 tahun karena diliputi ketakutan serangan pasukan Mongol.
Sementara Tembok Hadrian di Inggris dibangun Raja Hadrian tahun 122 Masehi untuk melindungi kotanya dari kaum barbar.
Di Eropa, tembok berdiri mengitari bangunan laksana benteng untuk melindungi serangan yang bisa datang kapan saja.
Hingga akhirnya dunia mengenal penghormatan terhadap kedaulatan lewat perjanjian Westphalia pada abad ke-17 yang membuat manusia tidak lagi takut wilayahnya dicaplok oleh bangsa lain.
Namun, makna terhadap tembok benar-benar berubah lewat Tembok Berlin. Saat itu Jerman Timur memutuskan membangun tembok untuk melindungi warganya dari kaum fasis Jerman dan kapitalis barat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, tembok dimaknai sebagai pendisiplinan terhadap warganya sendiri. Disiplin dari kontaminasi eksternal.
Wendy Brown dalam bukunya Walled States, Waning Sovereignty menyebutkan bahwa tembok modern dibangun seiring munculnya tantangan terorisme, perdagangan senjata, dan penyelundupan manusia.
Bukti menunjukkan, tembok-tembok yang masih berdiri dan berfungsi pada abad ke-21 dibangun di atas tanah permusuhan, ancaman terorisme, kecurigaan, dan konflik sektarian.
Tembok Belfast di Irlandia dibangun untuk memisahkan konflik antara warga Katolik dan Protestan. Sementara tembok di Turki dan Arab Saudi dibangun karena ketakutan akan ISIS.
Kenyataan tentang tembok ini paradoks dengan realitas manusia masa kini yang masih dilingkupi bencana kemanusiaan dahsyat. Konflik kemanusiaan mendorong perpindahan banyak orang untuk mencari tempat aman.
ADVERTISEMENT
Dari kacamata pencari suaka, tembok dalam balutan masyarakat modern punya simbolisasi sebagai keangkuhan. Banyak imigran beserta harapan kebebasan mereka terkurung di tembok-tembok yang menghadang mereka untuk masuk.
Masyarakat dunia, setidaknya sebagian dari mereka, kini telah bangun dari tidurnya dengan menolak angkuhnya bangunan tembok.
Demo bertajuk No Ban No Wall juga meneriakkan hal yang sama.
“From Mexico to Palestine, All Walls Will Fall!”
Selengkapnya seri "prahara tembok"
Live Update