Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gerakan Petisi dalam Teori Komunikasi Spiral of Silence
8 Februari 2024 20:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gelombang petisi dari Civitas Academica semakin massif menyuarakan teguran terhadap pemerintahan, menyoroti keprihatinan atas dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Teguran juga mencakup keberpihakan aparat pemerintah kepada calon tertentu, dugaan intimidasi terhadap konstituen lain oleh aparat, dan penggunaan anggaran negara dalam bentuk bantuan sosial untuk kepentingan pribadi (pansos atau panjat sosial ).
ADVERTISEMENT
Namun, alih-alih merespons dengan tangan terbuka, pemerintah melalui perwakilannya menyatakan bahwa gerakan ini merupakan strategi politik partisan untuk kepentingan politik electoral. Bahkan, ada pernyataan dari Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang, Hardi Winoto, yang mengaku kedatangan dua polisi untuk membuat video wawancara dengan jawaban-jawaban yang menunjukkan kebaikan pemerintahan Jokowi.
Demikian juga, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Ferdinandus Hindiarto, mengaku sempat diminta membuat video yang bertujuan mengapresiasi kinerja Presiden Joko Widodo oleh seseorang yang mengaku polisi. Namun, Ferdinandus menolak karena permintaan tersebut dinilai tidak sesuai dengan sikap universitas tersebut.
Perlakuan aparat kepolisian dalam mengintimidasi rektor dan dosen yang sedang memberikan pernyataan kritis dinilai tidak sejalan dengan semangat kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kabid Humas Polda Jateng kemudian memberikan tanggapannya terkait permintaan video testimoni kepada sejumlah rektor, mengklaim bahwa ini adalah bagian dari program Cooling System dari para tokoh dan akademisi untuk mengampanyekan pemilu damai dan menjaga kondusivitas menjelang hari pencoblosan pemilu serentak.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Civitas Academica sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 9 (1) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1). Pasal tersebut menyatakan bahwa kebebasan akademik adalah hak sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Penertiban yang dilakukan oleh pemerintah terhadap guru besar, dosen, dan sivitas akademika yang gelisah terhadap problematika kenegaraan jelas merupakan upaya untuk mendisiplinkan kebebasan akademik.
Gerakan ini tidak muncul tanpa alasan yang jelas. Diketahui bahwa Presiden adalah hasil dari proses demokrasi yang dianggap sebagai pemberi harapan. Jokowi awalnya muncul sebagai politisi yang menjanjikan dari proses demokrasi yang baik, kemudian menapaki jenjang demi jenjang dalam karir politiknya.
ADVERTISEMENT
Namun, saat ini, keputusan dan tindakan pemerintahan menimbulkan keraguan atas kualitas demokrasi yang diwakili. Dalam konteks ini, penting untuk mencermati perubahan dalam proses demokrasi dan sikap pemerintah terhadap kritik dan kebebasan akademik. Tindakan aparat kepolisian dan respons pemerintah terhadap gerakan petisi menunjukkan perluasan ruang publik dan peran masyarakat sipil dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi.
Apabila dilihat dari sudut pandang Ilmu Komunikasi, Penulis melihat adanya sebuah bom waktu dalam keheningan. Dalam komunikasi dikenal sebuah teori Keheningan (spiral of silence). Teori ini diciptakan oleh Elisabett N. Neumann, keseluruhan ide tidak terlepas lepas dari pengalamannya sebagai mantan wartawan di zaman Nazi dimana Hitler sangat membenci orang Yahudi, sehingga timbul pendapat umum latent yang tersembunyi ditingkat bawah karena diburu oleh rasa ketakutan.
ADVERTISEMENT
Opini publik yang tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (spiral of silence). Dalam hal ini media mempengaruhi opini publik yang secara langsung berhubungan dengan kebebasan berpendapat dan memicu timbulnya kelompok mayoritas serta minoritas. Teori spiral keheningan menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki sudut pandang minoritas akan cenderung diam dan tidak banyak berkomunikasi.
Setiap individu mendapat opini publik dari dua sumber, yakni observasi pribadi serta media. Observasi pribadi atau personal didasarkan pada pengamatan individu mengenai suatu hal.
Dalam hal ini, individu mampu mendengarkan pendapat orang lain, serta menggabungkannya dengan pendapat mereka sendiri. Karena pada dasarnya manusia punya sifat sosial yang memungkinkan mereka berbicara soal pendapat atau pengamatan mereka terhadap suatu hal kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Kondisi spiral of silence ini juga pernah terjadi di Indonesia, terutama satu dekade menjelang kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto. Banyak sekali opini publik berkembang di tingkat bawah, tetapi tidak bisa terangkat karena bertentangan dengan opini mayoritas di tingkat atas.
Hal ini menjadi tolak ukur kita sebagai penyintas sejarah, dimana para civitas academica yang diwakili para Guru Besar yang selama ini tenggelam dalam kesibukan mencerdaskan bangsa dengan kegiatan Pendidikan. Tebangunkan oleh maneuver-manuver pemerintah yang keluar dari tujan awal reformasi, yang menolak keras kebangkitan orde baru.
Jangan sampai hal ini menjadi bom waktu kedua yang membawa kita kedalam titik nadir 1998 untuk kedua kalinya. Kekuasan dapat menyiasati semua hukum yang dibuat manusia tetapi tidak mampu untuk menyiasati hukum alam.
ADVERTISEMENT
Semua hal yang dilakukan dengan paksaan dan penekanan yang massif akan menghasilkan produk gagal. Dalam akhir tulisan ini saya mengutip quote dari isabell allande “Yang paling saya takuti adalah kekuasaan yang bebas dari hukuman. Saya takut penyalahgunaan kekuasaan, dan kekuasaan untuk menyalahgunakan”.