Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Memuliakan Ibu, Menihilkan Kekerasan terhadap Perempuan
23 Desember 2022 5:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelumnya izinkan saya mengucapkan: “Selamat Hari Ibu, untuk seluruh ibu-ibu hebat di mana saja berada. Semoga selalu terhormat dan dihormati.”
ADVERTISEMENT
Perintah memuliakan ibu merupakan amanat yang universal. Tidak tersekat oleh agama, suku, kebangsaan, dan lainnya. Dalam ajaran agama Islam , tidak hanya memuliakan, bahkan kita diminta untuk selalu mendoakannya.
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil." (QS. Al Isra: 24)
Maka, tidak salah ketika momentum peringatan Hari Ibu selalu dihiasi dengan ucapan serta doa terbaik. Kita kembali mengingat masa lalu, kemudian mempublikasikan foto-foto kenangan indah bersamanya. Tentu, tidak lupa memberikan doa terbaik, baik ketika mereka yang saat ini masih berkesempatan bersama maupun yang telah mendahulukan kita.
Hari Ibu. Meskipun penetapan harinya baru dikukuhkan oleh negara setelah usia kemerdekaan bangsa berusia 14 tahun, tepatnya melalui Keppres No. 316 tahun 1959. Namun jika menilik dari catatan historisnya, embrio hari ibu ini mencuat tidak lepas dari semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia. Di antara itu adalah pelaksanaan kongres perempuan Indonesia yang hari pertama pelaksanaannya berlangsung pada tanggal 22 Desember 1928.
ADVERTISEMENT
Nah, di tengah suasana romantis dalam peringatan Hari Ibu ini, sepatutnya kita tidak melupakan substansi lainnya, kaumnya ibu, yakni para perempuan di Indonesia. Harapannya, romantisme yang dibangun tidak hanya sekadar selebrasi atas kecintaan kita pada sosok ibu, namun harus ada upaya yang terpadu agar para perempuan — yang juga nantinya akan menjadi seorang ibu: Di rumah, di sekolah, dan di masyarakat — mendapatkan kehidupan yang terbaik, di antaranya hidup dalam ketiadaan kekerasan. Termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Meskipun terbilang sangat telat, namun pemerintah sendiri telah mengupayakan hadirnya berbagai bentuk perlindungan bagi kaum perempuan, di antaranya Undang-Undang Penghapuskan KDRT, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan terakhir yang baru disahkan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, untuk 10 tahun terakhir (2012 - 2021), terdapat hampir 50.000 laporan kasus kekerasan seksual. Tepatnya 49.762 kasus. Sementara itu, untuk periode Januari - November 2022 saja, sudah ada 3 ribu kasus terhadap perempuan, yang di antaranya 860 kasus terjadi dalam zona publik dan 899 terjadi dalam zona personal.
Senada dengan catatan Komnas Perempuan, dalam siaran persnya yang dipublikasikan pada September lalu, KemenPPPA juga mengungkapkan sejumlah fakta yang masih memilukan. Di antaranya adalah sebesar 26,1 persen perempuan dan 41,05 persen anak perempuan masih mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Artinya bukan hanya terjadi secara insidentil, namun kekerasan yang dialaminya berjalan sepanjang waktu.
Hadirnya angka kekerasan ini bisa saja diklaim akibat hadirnya berbagai faktor pendukung. Di antara faktor tersebut adalah kondisi ekonomi keluarga yang menyebabkan tingginya tekanan hidup. Imbasnya, berbagai kekerasan hadir dalam rumah tangga yang di antara korbannya adalah anak dan istri. Selain itu, sering terjadi juga berbagai bentuk eksploitasi terhadap keduanya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya alibi faktor ekonomi tidak bisa dibenarkan begitu saja. Apalagi, temuan dari Komnas Perempuan mencatat bahwa juga sering terjadi kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pejabat publik, ASN, dan anggota TNI/Polri.
Untuk itu, gerakan menihilkan — bukan sekadar meminimalisasikan – kekerasan terhadap perempuan memang harus digerakkan secara bersama. Meski tidak mudah, apalagi ketika masuk ke ranah rumah tangga, yang di antaranya tersekat oleh tembok-tembok privat. Ditambah lagi masih biasnya definisi terkait kekerasan tersebut. Banyak yang merasa baik-baik saja, padahal selalu melewati hari dengan tatapan yang merana.
Bisa jadi persentase yang tertera dalam berbagai temuan survei itu bak fenomena gunung es. Banyak yang diam, banyak yang takut bersuara, dan banyak yang tidak memahami bahwa dirinya telah mendapatkan perlakuan kekerasan. Terutama bagi mereka yang terperangkap dalam lingkar kekuasaan, akibat pelakunya adalah sang pemilik kuasa. Sebagai contoh kekerasan-kekerasan (Seksual) yang terjadi dalam panggung pendidikan, relasi siswa - guru atau mahasiswa - dosen yang masih banyak dipandang siswa dan mahasiswa sebagai takdir nilai. Mahasiswa dan siswa jadi kelompok bergantung (Dependence) pada dosen (Guru). Sayangnya, ada beberapa pendidik yang memanfaatkan ketergantungan ini. Akibatnya tidak jarang, korban memilih bungkam. Diam hanya karena alasan ‘menyelamatkan’ masa depan.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, upaya-upaya meningkatkan terciptanya ruang aman bagi perempuan juga harus dikawal secara terus menerus. Dijaga secara bersama. Diperkuat hukumnya bagi para pelaku, tanpa pengecualian. Hukum harus benar-benar membela kebenaran. Bukan tunduk pada kekuasaan.
Setidaknya, ada dua hal yang harus segera diperkuat, yakni kesadaran dan keteladanan . Kesadaran tidak cukup diuraikan dengan lahirnya berbagai peraturan, akan tetapi harus diperjelas dengan lahirnya bentuk-bentuk keteladanan. Terutama keteladanan di lingkungan kekuasaan, termasuk dunia pendidikan.
Ketika ada oknum di sekitarnya yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan, apakah segera ditindak dengan tegas atau malah membantu mencari jalan keluar agar pelaku menjadi bebas? Bila yang terjadi adalah melindungi pelaku, bukan korban, makin lengkaplah alasan mengapa kekerasan terhadap yang lemah ini semakin banyak.
ADVERTISEMENT
Terakhir adalah keteladanan melalui kehidupan dalam berumah tangga dan di setiap satuan pendidikan. Ingatlah, ketika kita mampu memberikan nuansa harmonis, maka anak-anak akan turut menyejukkan kehidupan.
Sebaliknya, ketika kekerasan demi kekerasan yang terus kita hadirkan di hadapan, bukan tidak mungkin mereka dengan cepat bertransformasi menjadi pelaku kekerasan tersebut. Perilaku itu bersifat menular. Perilaku baik akan membuat komunitas membaik. Juga demikian bagi perilaku bejat.
Semoga peringatan Hari Ibu ini menjadi alarm bagi kita bersama untuk memperkuat hak hidup bagi perempuan-perempuan, di mana pun mereka berada.