Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menjaga Peran Perguruan Tinggi (Swasta)
28 September 2022 11:29 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara aklamasi, negara ini telah menyepakati bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional . Selain itu, diakui juga memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih begitulah definisi pendidikan tinggi yang masih berlaku di negeri ini — UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Harapan kepada pendidikan tinggi memang sangat tinggi. Sebagai bagian dari akhir jenjang pendidikan formal, pendidikan tinggi tidak hanya melahirkan kaum-kaum terdidik dengan berbagai gelar akademiknya. Lebih dari itu, gagasan sekaligus solusi nyata untuk pembangunan bangsa juga (seharusnya) selalu mengalir dari sini.
Satu hal lagi, setidaknya sampai saat ini, lulusan Perguruan Tinggi (PT) masih tertulis dalam salah satu kualifikasi pada berbagai rekrutmen tenaga kerja. Termasuk untuk tenaga kerja plat merah baik untuk karyawan BUMN maupun ASN (CPNS dan PPPK) itu. Inilah salah satu alasan yang logis mengapa lulusan SMA/sederajat banyak yang bermimpi menjadi mahasiswa. Bukan sekedar menguatkan kapasitas keilmuannya, tetapi disini terdapat jalan perbaikan takdir untuk mendongkrak perekonomian yang bersangkutan dan juga keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang demikian terkonfirmasi dengan temuan BPS dalam Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia tahun 2021. Temuannya menjelaskan bahwa rata-rata upah pekerja berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi jugalah upahnya.
Secara sederhana, dengan berbagai intervensi seperti perluasan lapangan kerja dan dukungan regulasi maka bisa dirumuskan juga bahwa ketika ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka akses ke pendidikan harus terbuka luas dan berkeadilan. Termasuk akses untuk kuliah di PT.
Nyatanya sampai saat ini, Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi hanya mampu berada di kisaran 31,19 persen. Tidak jauh bergerak dibandingkan beberapa tahun terakhir. Sementara itu, setiap tahun SMA/sederajat meluluskan lebih dari 3,5 juta siswa.
Sebenarnya, kita sangat yakin bahwa lulusan putih abu-abu itu bukan tidak berminat untuk kuliah. Tapi secara sistem mereka memang tidak diberikan ruang yang maksimal. Misalnya, untuk program penerimaan PTN melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN 2022. Total pendaftar SNMPTN ada 612.049 peserta, namun yang diterima sekitar seperlimanya saja (120.643). Sisanya kemana? Tentu diantaranya lanjut ke jalur SBMPTN yang tahun ini jumlahnya tembus 800.852 peserta, namun yang diterima hanya 213.406 saja.
ADVERTISEMENT
Sudah dapat ditebak kemana pilihan selanjutnya bagi mereka yang gagal masuk PTN melalui jalur tersebut? Kemungkinan pilihannya ada 4, yakni mengikuti jalur masuk Ujian Mandiri — jalan terakhir meraih status mahasiswa PTN, mengambil gap year untuk mengikuti tes PTN lagi di tahun selanjutnya, memilih jalan untuk bekerja/berusaha saja, dan yang terakhir adalah "melarikan diri' ke Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sepertinya tidak banyak yang melanjutkan kuliah di luar negeri. Jika ada yang di luar kemungkinan-kemungkinan di atas, berarti kemungkinannya adalah menjadi pengangguran. Bukan sebuah pilihan.
BPS melalui Statistik Indonesia 2022 merekapitulasi bahwa jumlah PTN hanya 125 di bawah Kemenristekdikti dan 85 di bawah Kemenag, serta ada beberapa PTN di bawah kementerian lainnya. Tentunya ketika arah keberlanjutan pendidikan siswa hanya berorientasi pada PTN, tentulah akan tersandera oleh daya tampung. Belum lagi ketika kita bicara soal "kompetisi" biaya kuliah ketika mereka memilih jalur Ujian Mandiri, persentasenya tentu sangat sedikit.
ADVERTISEMENT
Sehingga sudah saatnya pemerintah kembali memikirkan keberadaan PTS yang jumlahnya berkali lipat dari PTN itu. Ada sekitar 4.000 PTS yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara statistik, sangat mungkin dan bisa untuk menjawab permasalahan terkait rendahnya APK pendidikan tinggi.
Hanya saja perlu pembenahan terkait keberadaan PTS itu sendiri. Diantaranya adalah, pertama, terkait cara pandang kita (terutama pemerintah) terhadap keberadaan PTS. Cara pandang yang kelak juga berdampak pada cara pandang siswa dan orang tuanya. Walaupun pemerintah berusaha menghilangkan dikotomi PTN-PTS ini, pada kenyataannya tidak terlalu banyak perubahan cara pandang ini. Untuk sekolah, kita mengenal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang juga diperuntukkan untuk sekolah-sekolah swasta. Tapi di PT, tidak ada BOPTS. Bantuan Operasional PTS.
ADVERTISEMENT
Kedua, cara pandang yang benar juga akan berdampak pada upaya untuk memajukan PT secara maksimal. Dengan pengelolaan yang tepat, PTS tidak lagi terjebak sebagai tempat pelarian akhir calon mahasiswa. Untuk itu PTS juga harus membenahi diri secara internal. Aktivasi tri dharma haruslah dilaksanakan dengan kesungguhan dan disertai dengan peningkatan kualitas. Bukan sekedar kuantitas, apalagi hanya sekedar memenuhi "syarat sah" saja. Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi atau Yayasan perlu memahami kompleksitas PTS ini.
Pembenahan PT memerlukan kekuatan konsep dan upaya operasionalisasinya. Saat ini PT di Indonesia diperlakukan secara sama, tidak ada klasifikasi mandat berfokus pada pengajaran atau riset, pengembangan, dan terapan sains. Akibatnya dosen semuanya mendapat tugas tri dharma sebagai persyaratan kenaikan jenjang akademik. Model ini kurang menguntungkan bagi para dosen yang sebenarnya senang mengajar atau penelitian saja.
ADVERTISEMENT
Secara kelembagaan juga tidak kondusif terhadap PTS yang mengajar sebagai basis-basis kegiatan dosennya. Ketika mereka “kum” kenaikan pangkatnya tidak lengkap, sulit naik pangkat. Ujungnya, tidak banyak dosen PTS yang berhasil meraih Guru Besar. Dengan demikian, masyarakat pun akan dengan mudahnya menilai PTS itu tidak bermutu. Padahal belum tentu jelek juga.
APK memang sekedar indikator. Tetapi mengapa APK PT kita rendah tetap harus dijadikan alarm karena di dalamnya banyak sekali kompleksitas masalah pendidikan tinggi yang dibiarkan. Tidak pernah ada upaya sungguh-sungguh memecahkan persoalan ini. Dibiarkan “acak-acakan”. Semua sibuk di riak-riak permukaan. Jalan keluar terlalu "trivial" (remeh temeh).
Misalnya dengan KIP atau bantuan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang tidak mempunyai dampak tsunami. Kedua program itu (KIP dan UKT) sudah bagus tetapi arahnya bukan ke pembenahan sistem dan kelembagaan PT secara mendasar. Sehingga program KIP dan UKT tidak memberikan daya ungkit yang signifikan. Sehingga wajarlah APK terus-terusan bertengger di sekitar 30%. Tidak ada lompatan menjadi di atas 50% atau lompat ke 40% saja sepertinya susah. Variasi APK dari daerah ke daerah juga indikasi masih beragamnya mutu pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Selain pemerintah, peran industri swasta dalam pendidikan tinggi ini juga sangat penting untuk dilibatkan. Sudah waktunya mereka ikut terlibat membenahi sistem pendidikan dengan ikut langsung terjun. Misalnya dengan penyediaan tempat magang, laboratorium, dan lapangan kerja. Mereka bisa langsung terlibat membenahi jurusan-jurusan vokasi agar tidak sekedar teori. Bila PT dan industri sudah harmonis, efeknya tentu akan terjadi loncatan APK.
Kelak, ketika tidak ada lagi ketimpangan yang mendalam antara kehidupan PTN dengan PTS, pada posisi inilah pendidikan tinggi benar-benar menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki berbagai peran strategisnya.
Bukan tidak mungkin, setelah melahirkan Merdeka Belajar Episode 22 tentang Transformasi Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dalam rangka menjaga peran PTS, Mas Menteri dan tim sebaiknya juga meluncurkan Revitalisasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Swasta untuk Merdeka Belajar Episode 23. Tapi model seleksi PTS jangan terlalu meniru gaya PTN. Biarkan PTS berkreasi dalam mencari bakat-bakat calon entrepreneur, manajer, profesional, dan bahkan pemimpin negara.
ADVERTISEMENT
Sambil membenahi kampus kita masing-masing. Kita tunggu aksinya Kementerian Mas Menteri. PR kita untuk pembenahan PT memang perlu ditangani secara khusus dan serius. Bukan sambilan. Bukan kebetulan.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)