Konten dari Pengguna

Menyoal Tunjangan Profesi Guru dan Dosen

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
22 September 2022 15:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyoal Tunjangan Profesi Guru dan Dosen. Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Menyoal Tunjangan Profesi Guru dan Dosen. Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
Salah satu pasal yang cukup ramai dipersoalkan dalam RUU Sisdiknas ialah tentang TPGD (Tunjangan Profesi Guru dan Dosen). Karena hal itu berkaitan dengan uang, tentu akan dimasalahkan bila kelak tidak ada lagi TPGD.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai grup WA yang saya ikuti, ketika diskusi RUU Sisdiknas, topik tunjangan profesi guru dan dosen ini selalu muncul. Ketika ada beberapa teman mengangkat masalah ini ternyata 'UUD' alias ujung-ujungnya duit, selalu ada teman lain yang sedikit gusar. Saking sensitifnya, mereka yang ingin tetap ada TPGD berpendapat bahwa guru/dosen juga profesi, seperti halnya dokter, insinyur, maka harus dihargai. Jadi harus ada tunjangan untuk guru dan dosen. Hal ini adalah bentuk penghormatan kepada pendidik.
Bukankah pendidikan ini sangat penting dalam membangun negara? Bila jawabannya "ya" maka guru/dosen harus mendapat tunjangan. Demikian, kurang lebih, alasan teman-teman yang mendukung agar TPGD itu tidak boleh hilang. Tunjangan sangat penting bagi para pendidik. Dan pemerintah dapat mengalokasi dari 20% APBN untuk pendidikan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari semua itu, tidak semua guru dan dosen itu otomatis mendapat tunjangan. Ada proses untuk memperoleh TPGD. Pemerintah dengan berbagai keterbatasannya, terutama anggaran, memberikan jatah TPGD kepada sekolah atau PT (Perguruan Tinggi). Jatah itu oleh pimpinan sekolah atau PT dialokasikan berdasarkan berbagai faktor, seperti senioritas, bidang atau jurusan tertentu, dan lain-lain.
Selain itu, bisa saja guru/dosen yang diminta ikut seleksi ternyata tidak lulus, walaupun yang bersangkutan sudah senior, dan bahkan guru/dosen itu "ngajarnya" tidak jelek-jelek amat. Akhirnya, banyak faktor yang membuat tidak semua guru dan dosen mendapat tunjangan profesi.
Memang idealnya, semua tenaga pendidik itu mendapat tunjangan profesi. Itu yang dituntut oleh PGRI agar TPGD ini jangan dikeluarkan dalam RUU Sisdiknas. Bagaimana caranya? Mereka yang saat ini sudah mendapatkan TPGD harus diteruskan sampai usia pensiun. Untuk mereka yang sudah menjadi guru/dosen tetapi belum mendapat TPGD bisa dilakukan dengan meneruskan pola sekarang yakni seleksi dari Kemendikbud Ristek.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana bagi mereka yang berminat jadi guru/dosen? Sebaiknya Indonesia punya lembaga profesi yang berkaitan dengan sertifikasi. Lembaga ini bersifat profesional dan bisa melakukan pelatihan materi pendidikan dan pengajaran untuk memperoleh sertifikat profesi. Sertifikat profesi pendidik ini sebagai syarat menjadi guru/dosen. Sebelum mempunyai sertifikat ini, mereka tidak boleh menjadi guru/dosen tetap dan tidak berhak mendapatkan TPGD.
Ide lembaga profesional untuk sertifikasi guru/dosen ini diperoleh dari pengalaman ketika studi di Kanada. Pada saat saya tugas belajar di Kanada (1990-1996) sempat ketemu dengan orang Kanada yang sudah Magister Biologi tetapi sedang sibuk ikut pelatihan. Dia ternyata sedang berusaha mendapatkan sertifikasi pendidikan dan pengajaran karena ingin jadi guru SMA. Saya sedikit heran, bertanya "Bukankah Anda sudah magister?". Jawabannya, walaupun sudah master biologi dan akan mengajar biologi di SMA, tetap harus punya sertifikat profesi guru.
ADVERTISEMENT
Hal ini berlaku bagi semua bidang ilmu. Seseorang tidak otomatis bisa mengajar dalam bidangnya. Dia bilang, semua calon guru wajib memiliki sertifikat profesi pendidik, sejenis SIM (Surat Izin Mengajar). SIM ini sebagai indikator kemampuan dan pemahaman psikologi, metode pembelajaran, dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran.
Tanpa itu, seorang sarjana, magister, atau bahkan doktor sekalipun tidak boleh jadi guru. Saya menjadi sadar bahwa jadi guru itu tidak melulu jago ilmu. Dia harus kuasai semua aspek penting dalam pendidikan dan pengajaran. Untuk itu, negara menyediakan beasiswa pelatihan dalam rangka memperoleh sertifikasi guru.
Bagaimana dengan profesi dosen? Sepengetahuan saya, di Kanada untuk menjadi dosen, tidak harus memiliki sertifikasi pengajaran. Cukup bidang keilmuan yang ditunjukkan dengan paper-paper riset, kemampuan menggaet dana riset, dan bukti-bukti kinerja lain berkaitan dengan keilmuannya.
ADVERTISEMENT
Teman saya yang baru lulus S3, tidak lama kemudian jadi Profesor (setingkat Assistant Professor). Alasannya, dia memperoleh dana riset dari perusahaan peternakan besar di Kanada. Dana ini berupa hibah kompetitif penelitian pemuliaan ternak. Dalam hibah ini ada komponen biaya pembimbingan mahasiswa magister dan doktor. Teman saya yang baru lulus S2, langsung menjadi mahasiswa S3 di bawah bimbingan sang Profesor muda itu.
Di kampus tempat saya kuliah, University of Guelph (UofG) bisa dikategorikan sebagai Research Based University (RBU). Artinya universitas itu harus memiliki kualitas riset yang tinggi serta dosen mempunyai kewajiban mengajar. Walaupun ada dosen yang hanya wajib meneliti dan membimbing mahasiswa S2/S3. Tugas mengajarnya bersifat sunnah (opsional). Hal ini terutama bagi Adjunct Professor yang gajinya dari industri yang bermitra dengan kampus. Outputnya adalah hasil penelitian untuk kepentingan industri dan paper jurnal bereputasi. Walaupun yang bersangkutan itu mengajar, hanya sebagai anggota tim mata kuliah dengan kredit sekitar 3-4 SKS.
ADVERTISEMENT
Jadi praktis Adjunct Professor dari industri itu sehari-harinya adalah meneliti dan menulis paper. Tentunya dia boleh membimbing mahasiswa S2/S3. Apakah dosen itu wajib memperoleh sertifikat pengajaran? Jawabannya, tidak. Jadi berbeda dengan guru yang wajib mempunyai SIM sebelum menjadi guru tetap.
Berbeda dengan situasi di Indonesia dimana bobot pengajaran sangat tinggi. Dosen lebih banyak mengajar sampai belasan SKS per semester daripada riset. Hal ini disebabkan dana riset masih sedikit. Kalau tidak salah, dana riset Indonesia masih jauh 1 % dari GDP. Sementra tetangga kita sudah melesat. Malaysia sudah di atas 1% dan Singapura sudah tembus di atas 2%.
Bila ingin menjadikan Indonesia sebagai Innovation based economy, dana riset ini harus ditingkatkan minimal mendekati 2%. Dan pihak swasta jangan diam saja. Karena dana riset kita masih didominasi dari sumber APBN. Adapun pihak industri swasta masih jauh dari partisipasi riset.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kegiatan mengajar di kampus itu masih dominan, maka wajar bila TPGD itu masih perlu. Akan tetapi, sebaiknya bagi calon dosen, wajib memperoleh sertifikat profesi pendidik dari lembaga profesional. Bagi mereka yang sudah jadi dosen, pemerintah dapat meneruskan pola saat ini.
Terlepas dari itu semua, model RBU (Research Based University) perlu juga dipikirkan. Yakni, dosen yang tugas utamanya penelitian, tidak harus memperoleh TPGD. Dia hanya memperoleh gaji pokok dari negara, adapun tunjangan riset diperoleh dari dana industri. Untuk itu, diperlukan kemudahan atau bahkan kewajiban bagi industri untuk membiayai riset di kampus. Saya pikir, PTN BH dan PTS besar bisa dikelompokkan sebagai RBU, sehingga komponen risetnya cukup signifikan.
Bagi PT (Perguruan Tinggi) yang kegiatan utamanya pengajaran, sebaiknya seluruh dosen tetap memperoleh TPGD. Syaratnya mereka memiliki serdos (sertifikasi dosen). Serdos bagi calon dosen harus diperoleh lewat Ujian Sertifikasi dari LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) yang legal. Legalitasnya tentu dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).
ADVERTISEMENT
Saya yakin TPGD ini akan cukup, bila APBN 20% untuk pendidikan itu dilakukan secara benar. Tidak seperti sekarang, ndak jelas.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)