Pengentasan Kemiskinan

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
23 Januari 2023 6:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pemuda berjalan di atas puing-puing perahu kayu dengan latar gedung di Jakarta Utara, Indonesia. Foto: REUTERS/Beawiharta (via kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pemuda berjalan di atas puing-puing perahu kayu dengan latar gedung di Jakarta Utara, Indonesia. Foto: REUTERS/Beawiharta (via kumparan.com)
ADVERTISEMENT
Bila kita lihat dalam program SDGs (Sustainable Development Goals) dari 17 tujuan, eradikasi kemiskinan adalah tujuan pertama. Alasannya, saya kira karena kemiskinan itu sangat sentral dan berkaitan dengan kebutuhan dasar yang tangible dari pembangunan. Manusia sebagai subyek dan sekaligus objek atau tujuan dari pembangunan itu sendiri. Eradikasi kemiskinan menjadikan manusia itu sebagai tujuannya. Pemerintah berkewajiban terus-menerus melakukan upaya pengentasan kemiskinan. Bila persentase kemiskinan masih tinggi, proses pembangunan pun tidak terlalu mulus.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan ini memang sangat kompleks. Tidak sekedar bisa dilakukan dengan modal charity atau bantuan pemenuhan kebutuhan pangan saja, bahkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang digelontorkan pemerintah itu masih jauh dari harapan hasil. Itulah sebabnya BLT sering diplesetkan menjadi “bantuan langsung telas” alias habis seketika.
Akan tetapi program BLT masih tetap diperlukan bagi mereka yang miskin komplit, sulit berdaya. Untuk itu jangan sampai BLT ini dikorupsi. Walaupun masih diperlukan upaya-upaya lain agar kemiskinan terus berkurang. Bahkan menjadi “no poverty” seperti yang menjadi tujuan pertama SDGs.
Kemiskinan berkaitan dengan pemenuhan wajar (wajib belajar) 9 tahun, kesehatan, pengangguran, anak jalanan, peminta-minta, dan persoalan sosial lainnya. Situasi ini perlu terus-menerus mendapatkan perhatian pemerintah melalui program-program yang terintegrasi dan terpadu. Siapapun Presiden RI. Tidak sepotong-sepotong dan parsial. Eradikasi ini berkaitan juga dengan kemiskinan struktural dan kemiskinan non-struktural.
ADVERTISEMENT
Eradikasi Kemiskinan Struktural
Teman saya, orang Indonesia, yang telah lama bermukim di Singapura dengan latar belakang pendidikan S1 sampai S3 di Kanada, tidak percaya adanya kemiskinan struktural. Karena negara tempat dia sekolah dan bermukim itu tidak ada masyarakat miskin secara masif dalam jumlah yang cukup besar.
Kemiskinan yang bisa disebabkan oleh kesalahan kebijakan publik, atau akibat sistem sosial kemasyarakatan, budaya, dan kepercayaan. Misalnya sistem waris kepemilikan tanah, bila ahli waris tidak mampu mengoptimalkan aset, bisa menyebabkan kemiskinan. Bagi dia, orang miskin hanya akibat malas, tidak semangat kerja, kurang kreatif, dan tidak inovatif. Jadi kemiskinan itu melulu kesalahan pribadi.
Untuk pengentasan kemiskinan struktural ini, tahap awal pemerintah harus memetakan kemiskinan di wilayah lengkap dengan faktor-faktor penyebabnya. Bisa jadi faktor-faktor berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalam menganalisis hal ini, perlu menerapkan pemodelan yang tidak bersifat umum (general model), tetapi lebih ke model spesifik. Sehingga kebijakan dan programnya pun berlainan. Jangan terjebak pada pola “one policy fits all”.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab kemiskinan adalah akses terhadap sumber pendanaan, seperti perbankan. Akses ini juga berkaitan dengan birokrasi dan administrasi. Pada umumnya keluarga miskin itu lemah dalam literasi sederhana, apalagi literasi akuntansi. Untuk itu perlu upaya kemudahan untuk memperoleh kredit perbankan, selain persentase kredit.
Basisnya adalah “trust” (kepercayaan). Bila akses sulit akibat birokrasi dan administrasi berbelit-belit, jangan heran akhirnya rentenir (seperti tengkulak atau bakul) akan subur. Bahkan persentase kredit yang tinggi pun, tetap laku.
Pelatihan-pelatihan dasar berkaitan teknologi saat ini, serta informasi-informasi prospek komoditas bisnis baik dalam maupun luar negeri. Termasuk juga bisnis berbasis digital dengan memanfaatkan kemudahan penyebaran informasi melalui media sosial seperti WA, tiktok, IG, FB, dan lain-lain. Begitu juga bisnis rantai pasok kebutuhan pokok primer, sekunder dan tersier.
ADVERTISEMENT
Indonesia yang sangat kaya dengan SDA (Sumber Daya Alam), bisa jadi strategi untuk pengentasan kemiskinan struktural. Untuk agribisnis unggas yang butuh pakan tentu akan memerlukan bahan pokoknya seperti jagung. Penanaman jagung dapat bekerjasama dengan komunitas-komunitas di wilayah yang mempunyai lahan atau lahan negara yang “idle” (terbengkalai). Bisa juga membuat koperasi untuk konsolidasi pemilikan lahan yang beberapa tahun ini sudah resmi bersertifikasi.
Berkaitan dengan rantai pasok agribisnis ini tentu juga berkaitan dengan kebijakan impor. Tanpa kebijakan impor yang berpihak kepada masyarakat agribisnis internal, betapapun bagusnya hulu pertanian, seperti jagung untuk kebutuhan pakan, sulit untuk membantu eradikasi kemiskinan. Dengan demikian, kepedulian pemerintah terhadap masyarakat menjadi kunci utama dalam program pengentasan kemiskinan (struktural)
ADVERTISEMENT
Eradikasi Kemiskinan Non-struktural
Yang saya maksud dengan kemiskinan non-struktural berkaitan dengan perilaku masyarakat yang tentu merupakan akumulasi perilaku individual. Dan hal ini sangat berkaitan dengan peran keluarga, lingkungan sekitar, pendidikan, dan agama. Pemerintah mempunyai peran sangat penting dengan faktor pendidikan.
Pendidikan selain bersifat masif dan sistematis juga para siswa cenderung meneladani para guru. Tidak heran bila ada anggapan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Bila guru membiarkan murid menyontek, jangan heran bila sudah dewasa murid jadi koruptor. Jadi, guru mesti hati-hati dalam berperilaku.
Berkaitan dengan eradikasi kemiskinan melalui pendidikan ini adalah pengajaran-pengajaran sehari-hari selain mata ajaran, juga tentang konsep atau paradigma kehidupan. Bila para murid tidak mendapatkan pelajaran tentang konsep rezeki yang benar, tentu murid tidak punya paradigma kaya.
ADVERTISEMENT
Mohon dicatat dalam hal ini bahwa kekayaan tidak saja berkaitan dengan materi atau harta, tetapi kekayaan immaterial, seperti kesehatan, kelapangan dada.
Di dalam kelas, murid tidak saja diajari materi ilmu pengetahuan, tetapi juga berkaitan dengan kebiasaan usaha, kerja keras, hemat, dan kerjasama. Murid terbiasa selalu ingin memberikan yang terbaik, tanpa harus berkompetisi untuk mengalahkan orang lain. Murid terbiasa bahwa sesuatu itu, termasuk kekayaan, bisa dicapai melalui usaha kreatif, inovatif, dan mencari cara yang baik, bukan melalui manipulasi koruptif.
Murid yakin bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, bila kaum itu tidak mau merubah nasibnya. Termasuk dalam mempelajari ilmu dan teknologi yang diperlukan.
Selain melalui lembaga sekolah, eradikasi kemiskinan non-struktural bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga agama. Para pemuka agama dapat terus menginspirasi umatnya untuk selalu bahagia dan ikhlas dalam bekerja. Mencintai apa yang dikerjakan. Dengan demikian, selalu muncul ide-ide baru dalam mendapatkan hasil yang baik. Selain itu tentunya pemahaman tentang kekuatan do’a, the power of do’a. Biasakan untuk bekerja secara sempurna, adapun hasilnya kita serahkan kepada Tuhan YME.
ADVERTISEMENT
Biasakan murid dan umat untuk selalu berpikir positif, behati bersih, dan bertindak penuh manfaat. Selalu berdo’a untuk kebaikan diri, keluarga, tetangga, teman sekelas, teman sekantor, dan siapapun yang bertemu di jalan, serta alam lingkungan. Jangan ada sedikitpun pikiran kotor dan negatif terhadap siapapun, termasuk diri sendiri. Yakinlah kesuksesan bisa diraih melalui do’a dan usaha.
Dengan mensinergikan upaya mengentaskan kemiskinan struktural dan non struktural secara konsisten, sistematis, dan serius maka “no poverty” di Indonesia, bukanlah angan-angan-angan. Insya Allah akan terwujud di tahun 2030 seperti harapan SDGs.