Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Gelombang Tinggi di Anyer Menunjukkan Lemahnya Komunikasi Bencana
23 Desember 2018 9:31 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Avianto Amri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kejadian Sabtu malam (22/12), terkait munculnya gelombang tinggi di pesisir pantai wilayah Barat pulau Jawa dan wilayah Selatan pulau Sumatera telah banyak membingungkan masyarakat setempat dan juga di kalangan peneliti.
ADVERTISEMENT
Informasi yang muncul simpang siur, antara terjadinya tsunami akibat meningkatnya aktivitas Gunung Krakatau atau adanya gelombang pasang yang ekstrem karena kejadian bulan purnama, dan juga cuaca ekstrem yang juga dipengaruhi dengan adanya Siklon Tropis Kenanga .
Pada Sabtu malam, media mulai memberitakan mengenai adanya tsunami di Pantai Anyer. Lalu selang beberapa menit, beredar informasi wawancara personel Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa fenomena yang terjadi di Anyer adalah gelombang pasang biasa dan bukan tsunami.
Hal ini diperkuat pula dengan pernyataan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa tidak ada tsunami di Anyer dan Lampung Selatan , hanyalah gelombang pasang. Kemudian beberapa jam berikutnya, informasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan bahwa naiknya air laut bukan karena erupsi anak gunung Krakatau.
ADVERTISEMENT
Lalu, BMKG mengkoreksi pernyataannya dan mengumumkan bahwa fenomena yang terjadi adalah tsunami. Di kalangan peneliti, hal ini cukup membingungkan karena tsunami terjadi diakibatkan adanya guncangan yang kuat di dasar laut, sesuai dengan definisi dari Intergovernmental Oceanographic Commission, bahwa tsunami adalah serangkaian gelombang air laut yang bergerak ke segala arah dan terjadi karena adanya “gangguan” di dasar laut .
Gangguan ini biasanya terjadi karena guncangan akibat gempa bumi, namun bisa juga disebabkan karena gempa aktivitas gunung berapi, longsoran bawah laut (seperti yang memicu tsunami di wilayah Palu dan sekitarnya September lalu), atau meteor besar yang jatuh ke laut.
Di sisi lain, BMKG menyatakan tidak mencatat adanya gempa yang menyebabkan tsunami. Sepamahaman saya, walaupun tsunami terjadi akibat aktivitas gunung berapi atau longsoran di bawah laut, perlu adanya energi yang cukup besar sehingga bisa menimbulkan gelombang tsunami. Sehingga, semestinya ada data seismograf yang menunjukkan adanya aktivitas pergerakan lempeng bumi yang dapat memicu tsunami.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, terdapat juga info bahwa ada kerusakan seismograf di lokasi Anak Gunung Krakatau . Perdebatan ini lumrah di kalangan peneliti, karena ilmu pengetahuan kita terus berkembang, dan saya rasa dalam beberapa hari ke depan akan muncul informasi-informasi baru dan mungkin saja akan ada koreksi lagi dari pihak yang berwenang. PVMBG dan BMKG juga akan mengirim tim mereka ke lokasi untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
Namun, patut disayangkan arus informasi yang terjadi selama kurang dari 12 jam terakhir yang membuat masyarakat bingung. Artikel berita pertama kali muncul di HP saya pada pukul 11.30 malam, memberitakan tsunami di Pantai Anyer dan beberapa hotel roboh. Rekan saya yang kebetulan sedang di Pantai Carita juga memberitakan kondisi jalanan yang macet karena masyarakat berusaha evakuasi dengan kendaraannya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, informasi yang dikeluarkan oleh pihak BMKG melalui akun Twitter-nya berupaya untuk menenangkan masyarakat seolah tidak ada kejadian yang signifikan terjadi.
Teknik penggunaan kata dan emoji seolah menyepelekan hal yang terjadi. Twit ini kemudian dikoreksi hampir tiga jam berikutnya dengan menghilangkan emoji yang ada.
Kita sudah beberapa kali mendapatkan pernyataan-pernyataan dari instansi terkait yang berusaha menenangkan masyarakat dengan cara menyepelekan potensi ancaman yang ada, misalnya saat adanya studi terkait potensi gempa 8,7 SR yang dapat mengguncang Jakarta, dan BMKG kemudian menyatakan bahwa ini hanyalah “tema sarasehan Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA)” .
Lalu saat publik heboh terkait pemberitaan potensi tsunami di pesisir barat laut Jawa yang dapat mencapai ketinggian 57 meter, BMKG menyatakan bahwa hal ini adalah studi yang belum teruji dan bahkan BPPT mengeluarkan pernyataan permintaan maaf kepada publik .
ADVERTISEMENT
Kembali ke komunikasi bencana terkait kejadian di Anyer dan Lampung selatan, pihak berwenang sebaiknya lebih cermat lagi dalam memberikan informasi kepada warga, di mana pesan-pesan kesiapsiagaan perlu diikutsertakan saat mengumumkan suatu kejadian.
Instruksi untuk “tetap tenang” tentunya bisa berakibat fatal di mana warga sekitar akhirnya tidak melakukan tindakan apapun dalam menghadapi ancaman bahaya yang mungkin terjadi.
Di satu sisi, faktanya adalah terdapat gelombang tinggi yang bersifat destruktif terjadi di pesisir pantai Anyer dan Lampung Selatan, dan hal ini perlu diikuti dengan pesan kesiapsiagaan untuk warga sekitar, seperti misalnya segera evakuasi ke tempat yang lebih tinggi dan aman, membawa perlengkapan siap siaga (misalnya senter, peluit, dokumen-dokumen penting).
Informasi lainnya yang penting untuk disebarkan adalah nomer telepon penyedia layanan darurat seperti polisi, rumah sakit, dan pemadam kebakaran setempat.
ADVERTISEMENT
Pada Minggu (23/12), informasi terakhir yang saya terima pukul 7.30 adalah korban yang meninggal dunia sudah mencapai 20 orang, 165 orang luka-luka, serta 43 rumah dan 9 unit hotel rusak berat, yang menunjukkan kejadian yang ada cukup destruktif.
Hal ini juga menunjukkan pentingnya setiap keluarga untuk memiliki rencana siap siaga , menyediakan perlengkapan siap siaga, dan seluruh anggota keluarga untuk memahami apa yang harus dilakukan sebelum, saat, dan sesudah kejadian bencana.
------
Avianto Amri
Kandidat Doktor di Macquarie University, Australia
Pendiri PREDIKT