Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Heboh Megathrust: Mengapa Komunikasi Risiko Kita Masih Gagal?
27 Agustus 2024 5:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Avianto Amri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa jam yang lalu, gempa berkekuatan cukup kuat mengguncang wilayah Gunung Kidul dan dirasakan oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya . Peristiwa ini kembali mengingatkan kita akan ancaman nyata yang dihadapi wilayah Indonesia, terutama terkait potensi gempa megathrust yang dapat terjadi kapan saja. Kejadian ini menyoroti betapa pentingnya memiliki kesiapsiagaan yang baik dan sistem komunikasi risiko yang efektif.
Masyarakat dalam Kepanikan: Apa yang Salah?
ADVERTISEMENT
Kehebohan terkait potensi gempa megathrust bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tahun 2020, publik sempat dihebohkan dengan peringatan tentang potensi tsunami setinggi 20 meter di selatan Jawa, serta ancaman badai dahsyat yang mengancam Jabodetabek pada tahun 2022. Meskipun peringatan ini didasarkan pada analisis ilmiah, penyampaian informasi yang tidak diimbangi dengan panduan mitigasi risiko yang jelas dan tindakan pencegahan, telah berulang kali menyebabkan kepanikan yang tidak perlu di kalangan masyarakat.
Masalah ini menyoroti kelemahan mendasar dalam cara komunikasi risiko bencana dilakukan di Indonesia, terutama oleh BMKG. Informasi mengenai potensi bencana sering kali disampaikan dengan cara yang menakutkan, tanpa diikuti dengan penjelasan yang memadai tentang langkah-langkah yang dapat diambil oleh masyarakat untuk melindungi diri mereka. Alih-alih meningkatkan kesiapsiagaan, komunikasi yang kurang efektif ini justru menciptakan ketakutan massal yang berdampak buruk pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dampak dari Komunikasi Risiko yang Tidak Efektif
Kepanikan yang dipicu oleh informasi bencana yang disampaikan secara kurang tepat memiliki berbagai dampak negatif, termasuk:
1. Kepanikan Massal
Ketika masyarakat mendengar potensi bencana besar tanpa panduan yang jelas, mereka cenderung bereaksi secara tidak rasional. Dalam suasana panik, berita palsu atau informasi yang salah juga mudah menyebar, terutama melalui media sosial. Hal ini memperburuk situasi, dengan masyarakat yang semakin bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya mereka lakukan.
2. Efek Cry Wolf: Berkurangnya Kepercayaan Publik terhadap Pihak Berwenang
Jika komunikasi risiko terus-menerus menimbulkan ketakutan tanpa disertai dengan kejadian nyata atau tanpa dampak yang dirasakan, masyarakat mungkin mulai melihat peringatan sebagai hal yang berlebihan atau tidak relevan. Ini dikenal sebagai efek "cry wolf" , di mana peringatan yang sering kali tidak disertai kejadian nyata akhirnya diabaikan. Ketika ancaman yang sebenarnya terjadi, masyarakat mungkin tidak merespons dengan serius karena mereka telah terbiasa mengabaikan peringatan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
3. Dampak Ekonomi
Kehebohan terkait ancaman bencana dapat menyebabkan gangguan dalam kegiatan bisnis , seperti turunnya minat untuk berwisata, pengurangan aktivitas ekonomi, penurunan kepercayaan investor, atau bahkan penundaan proyek, yang berdampak negatif pada ekonomi lokal.
4. Kesehatan Mental
Informasi yang disampaikan tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya dapat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan di masyarakat. Bagi mereka yang pernah mengalami bencana sebelumnya, informasi yang menakutkan tanpa solusi praktis dapat memicu kembali trauma lama. Ketika banyak orang merasa takut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, ketakutan ini dapat menyebar dalam komunitas, menciptakan apa yang disebut sebagai "ketakutan kolektif ."
Kelemahan dalam Komunikasi Risiko: Apa yang Perlu Diperbaiki?
Terdapat beberapa kelemahan utama dalam komunikasi risiko yang dilakukan oleh BMKG dan instansi terkait:
ADVERTISEMENT
1. Penekanan pada Ancaman tanpa Panduan Tindakan
Informasi yang disampaikan terlalu fokus pada potensi ancaman tanpa memberikan panduan yang jelas tentang langkah-langkah mitigasi yang dapat diambil masyarakat. Hal ini menciptakan rasa takut yang tidak diimbangi dengan rasa aman dari pengetahuan dan kesiapsiagaan.
2. Bahasa yang Terlalu Teknis
Informasi ilmiah sering kali disampaikan dalam bahasa yang sulit dipahami oleh masyarakat umum. Penggunaan istilah teknis tanpa penjelasan yang sederhana menyebabkan kesalahpahaman dan kebingungan.
3. Kurangnya Koordinasi dengan Media dan Pihak Lain
Komunikasi risiko sering kali dilakukan secara terpisah dari kementerian dan lembaga lain, pemerintah daerah, serta kelompok masyarakat. Jika informasi disampaikan tanpa adanya koordinasi yang baik dengan media dan pihak berwenang lainnya, ada risiko informasi tersebut dipotong-potong, disalahartikan, atau disebarkan tanpa konteks yang tepat. Ini bisa memperburuk kekhawatiran di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
4. Respons Lambat terhadap Kepanikan
Ketika kepanikan mulai menyebar, sering kali tidak ada respons cepat dari BMKG atau otoritas terkait untuk memberikan klarifikasi atau menenangkan masyarakat. Ini menyebabkan kepanikan berlanjut dan sulit dikendalikan.
Bagaimana Kita Bisa Lebih Baik?
Untuk mengatasi masalah komunikasi risiko ini, beberapa langkah penting perlu diambil:
1. Perubahan Pendekatan Komunikasi
BMKG perlu beralih dari sekadar menjadi pemberi informasi ancaman menjadi mitra aktif dalam upaya mitigasi bencana. Informasi tentang potensi ancaman harus selalu diiringi dengan langkah-langkah yang jelas dan mudah diikuti oleh masyarakat.
2. Kolaborasi dengan Media dan Pihak-pihak Lainnya
BMKG harus berhenti menjadi "Badan Membuat Kecemasan berGerombolan" dan mulai merangkul serta berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, serta kelompok masyarakat . Ini termasuk bekerja sama dengan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyampaikan informasi secara lebih efektif dan kontekstual.
ADVERTISEMENT
3. Penyederhanaan Bahasa dan Pesan
Informasi yang disampaikan harus dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Penggunaan infografis, video, dan media interaktif lainnya dapat membantu menjelaskan konsep-konsep ilmiah yang kompleks dengan cara yang lebih mudah dimengerti.
4. Pelatihan dan Edukasi
BMKG dan instansi terkait perlu memperluas program edukasi dan pelatihan tentang kesiapsiagaan bencana di komunitas-komunitas . Melalui simulasi dan latihan tanggap darurat yang rutin, masyarakat dapat merasa lebih siap dan tidak mudah panik ketika menerima informasi tentang potensi bencana.
5. Respons Cepat dan Proaktif
Ketika muncul kepanikan di masyarakat, BMKG dan otoritas terkait harus segera memberikan klarifikasi dan informasi tambahan yang dapat menenangkan situasi. Ini bisa berupa konferensi pers, pernyataan resmi di media sosial, atau bahkan menggandeng para kepala daerah, LSM, dan tokoh masyarakat untuk melakukan klarifikasi.
ADVERTISEMENT
Belajar dari Keberhasilan Menghadapi Pandemi
Masyarakat Indonesia hidup di wilayah yang rawan bencana, dan kesiapsiagaan adalah kunci untuk mengurangi dampak dari bencana tersebut. Penting untuk diingat bahwa salah satu alasan Indonesia berhasil meredam pandemi COVID-19 adalah karena adanya komunikasi risiko yang efektif , di mana seluruh pihak terkait bekerja sama dalam mengedukasi warga. Pendekatan ini perlu diterapkan juga dalam komunikasi risiko terkait ancaman bencana lainnya.
BMKG memiliki peran krusial dalam menyediakan informasi yang dapat menyelamatkan nyawa, tetapi informasi tersebut harus disampaikan dengan cara yang tidak hanya memberi tahu tentang ancaman, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk bertindak dengan tepat. Dengan pendekatan komunikasi risiko yang lebih efektif dan kolaboratif, BMKG, bersama dengan kementerian, lembaga, dan masyarakat, dapat menciptakan masyarakat yang lebih tanggap dan tangguh terhadap bencana.
ADVERTISEMENT