Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pentingkah Kurikulum Pendidikan Bencana?
3 Januari 2019 15:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Avianto Amri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serangkaian kejadian bencana yang terjadi di Indonesia di penghujung tahun 2018 telah memunculkan kembali diskusi mengenai pentingnya pendidikan bencana, terutama untuk anak-anak di sekolah. Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyoroti pentingnya hal ini dalam dua kesempatan, di Pandeglang dan juga Lampung , saat meninjau dampak tsunami dan gelombang tinggi di Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan dari Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana, dua kejadian bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah telah menyebabkan lebih dari 2.400 sekolah terkena dampak, yang merupakan tempat belajar bagi lebih dari 480.000 murid.
Kejadian gempa di Lombok dan Sulawesi Tengah ini merupakan kesekian kalinya di mana bencana terjadi di saat luar jam sekolah. Saat gempa dan tsunami Aceh (2004), gempa Yogyakarta (2006), dan gempa Sumatera Barat (2009), semuanya terjadi di luar jam sekolah pula. Tiga kejadian bencana ini saja telah menyebabkan kerusakan di lebih dari 7.700 unit sekolah/madrasah . Hal ini belum termasuk kejadian bencana lainnya dalam skala kecil yang sering terjadi di seluruh wilayah Indonesia, seperti banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari, puluhan jutaan orang tua mempercayakan anak-anaknya di sekolah di mana anak-anak ini menghabiskan hingga sepertiga waktunya. Mirisnya, pemetaan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan sebagian besar sekolah di Indonesia terancam bahaya bencana, dengan setidaknya lebih dari 37.000 sekolah di Indonesia berada di lokasi yang rawan bencana. Dengan menggunakan asumsi satu sekolah terdapat 200 murid, tandanya lebih dari 7.4 juta anak-anak di Indonesia hampir setiap hari terancam jiwanya saat di sekolah.
Kurikulum Tanggap Bencana
Masih sedikit yang paham bahwa sebenarnya pendidikan bencana sudah terakomodir di dalam kurikulum yang saat ini digunakan, yaitu Kurikulum 2013. Dalam kurikulum ini, pengajar memiliki keleluasaan dalam menyusun rencana kegiatan pembelajaran yang biasa disebut Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Saat ini sudah ada guru-guru yang menerapkan pendidikan kebencanaan di dalam kelas, misalnya saat mengajarkan tentang gunung, pantai, atau tema-tema lainnya. Bahkan, di beberapa daerah seperti di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Timor Tengah Utara, pendidikan kebencanaan menjadi muatan lokal. Intinya, bukan kurikulum lah yang akan menghambat para guru dalam melakukan pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah.
ADVERTISEMENT
Banyak guru yang tidak “pede” dalam mengajarkan pengetahuan dan keterampilan terkait mitigasi dan siap siaga bencana. Hal ini disebabkan, ilmu ini tidak diajarkan di pendidikan guru. Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah memiliki program semenjak tahun 2012 dengan melakukan pelatihan untuk guru-guru terkait sekolah aman bencana dan berkat kolaborasi dengan beberapa LSM kebencanaan di Indonesia, saat ini sudah ada lebih dari 25,000 sekolah percontohan yang sudah terpapar terkait sekolah aman bencana.
ADVERTISEMENT
Namun, jumlah ini sangatlah kecil, yaitu hanya 5 persen dibandingkan total sekolah di Indonesia yaitu hampir 500.000 sekolah. Apabila Indonesia ingin memastikan generasi berikutnya menjadi tangguh bencana, maka sebenarnya pendidikan pengetahuan dan keterampilan siap siaga bencana mesti diajarkan kepada para calon guru di saat mereka melakukan pendidikan guru.
Hambatan kedua adalah terkait materi ajar. Saat ini apabila kita jalan-jalan ke toko buku, masih sedikit buku pegangan yang bisa digunakan oleh guru untuk mengajarkan materi pendidikan kebencanaan. Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri untuk para guru dalam mengajarkan pendidikan kebencanaan. Ada sekolah-sekolah yang bekerja sama dengan instansi terkait seperti Dinas Pemadam Kebakaran, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), atau LSM-LSM kebencanaan yang kemudian mengundang relawan dan praktisi untuk menjelaskan tentang kesiapsiagaan bencana. Namun, hal ini tentunya perlu juga diimbangi dengan media ajar untuk membantu guru dalam menyampaikan materi kebencanaan.
ADVERTISEMENT
Hambatan berikutnya adalah lemahnya kebijakan terkait perwujudan sekolah aman bencana di negeri ini. Sayangnya, satu-satunya kebijakan tertinggi yang telah dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang terkait penanggulangan bencana adalah berupa Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional nomor: 70A/MPN/SE/2010 di tahun 2010 yang berisikan mengenai anjuran untuk menerapkan pengurangan risiko bencana di sekolah. Walaupun surat edaran ini disebarkan ke seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota, kebijakan ini hanyalah sebatas anjuran tanpa kekuatan yang mengikat.
Tanggung Jawab bersama
Saat ini kurikulum pendidikan Indonesia sudah bisa mengakomodasi pendidikan kebencanaan secara tematis mulai dari tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu, terdapat minimal tiga tugas penting yang perlu dilakukan oleh Pemerintah, khususnya pihak Kementerian Pendidikan Nasional. Pertama adalah untuk melatih guru-guru terkait pengetahuan dan keterampilan terkait mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, termasuk mengikutsertakan pendidikan kebencanaan menjadi materi dalam jenjang pendidikan guru. Yang kedua adalah penyediaan materi ajar, di mana untuk hal ini, instansi terkait seperti BMKG, LIPI, PVMBG, dan BNPB perlu terlibat sebagai sumber informasi dan kemudian diolah informasi tersebut menjadi bahan ajar.
ADVERTISEMENT
Hal ketiga dan terpenting adalah perlunya kebijakan yang mengikat untuk sekolah-sekolah, terutama yang berada di lokasi yang rawan bencana untuk memiliki program sekolah aman bencana. Kebijakan ini juga mesti meliputi upaya rehabilitasi bangunan-bangunan sekolah yang tidak aman dan memastikan setiap sekolah memiliki prosedur untuk kesiapsiagaan dan tanggap darurat di masa bencana. Juga perlunya simulasi bencana yang rutin untuk menguji kesiapsiagaan. Di Jepang, anak-anak bahkan melakukan latihan siap siaga gempa di sekolah tiap bulan.
Mewujudkan sekolah aman bencana adalah pekerjaan besar dan merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah berkewajiban mewujudkan rasa aman dari bahaya bencana, terutama pada anak-anak yang merupakan kelompok yang memiliki risiko tertinggi dari ancamana bahaya bencana.
Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mesti menjadi motor penggerak utama didampingi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan juga Kementerian Agama, instansi yang mendampingi madrasah. Salah satu kegiatan utamanya adalah mengeluarkan kebijakan dan aturan yang mengikat dan didampingi oleh pengawasan secara berkala.
ADVERTISEMENT
Target seluruh sekolah aman bencana adalah sangat penting dan tentu dapat dicapai, dengan syarat adanya kerja sama yang baik dengan semua pihak. Saya sebagai bagian dari jutaan orang tua murid tentunya mengharapkan kepala daerah lainnya juga bisa menempatkan keselamatan dan keamanan anak-anak di sekolah sebagai prioritas pembangunan di daerah. Jangan sampai kita menunggu kejadian bencana berikutnya untuk menyadarkan akan pentingnya hal ini.
Avianto Amri
Kandidat Doktor di Macquarie University, Australia
Pendiri PREDIKT