Konten dari Pengguna

Ladang Ganja di Taman Nasional dan Kerapuhan Tata Kelola Kawasan Konservasi

Basuki Kurniawan
Basuki Kurniawan Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Syariah, UIN KHAS Jember. Aktif menulis opini hukum, terlibat dalam kajian kebijakan publik dan isu-isu konstitusional. Saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral bidang hukum di Universitas Jemb
6 Mei 2025 20:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kebun Ganja. Foto:  REUTERS/Amir Cohen
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kebun Ganja. Foto: REUTERS/Amir Cohen
ADVERTISEMENT
Temuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengejutkan masyarakat. Bukan hanya karena tindakan itu melanggar hukum pidana, tetapi juga karena terjadi di wilayah yang seharusnya berada dalam pengawasan ketat oleh Negara. Kasus ini mengingatkan kita pada pentingnya meninjau ulang desain hukum dan tata kelola kawasan konservasi.
ADVERTISEMENT
Meskipun Balai Taman Nasional bukan merupakan institusi penegak hukum, namun sebagai organ administrasi negara, Balai Taman Nasional tetap memiliki kewenangan atributif yang melekat. Dalam perspektif hukum administrasi negara, kelalaian dalam fungsi pengawasan terhadap kawasan konservasi dapat dikualifikasikan sebagai bentuk maladministrasi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kerja internal di lingkungan Balai Taman Nasional, termasuk peninjauan ulang standar operasional prosedur (SOP) pengawasan dan mekanisme akuntabilitas pejabat yang berwenang.
Selain itu, kebijakan mengenai akses ke kawasan konservasi perlu diperketat dan diperjelas. Bilamana benar bahwa kebijakan akses di kawasan Taman Nasional saat ini relatif longgar—misalnya karena pertimbangan wisata atau aktivitas budaya—maka kebijakan tersebut perlu dikoreksi kembali secara substantif. Setiap bentuk keterbukaan akses harus disertai dengan analisis risiko hukum dan lingkungan yang mendalam, serta dibatasi melalui sistem pengawasan berlapis.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hanya berfokus pada perlindungan ekosistem, flora, dan fauna, tanpa mempertimbangkan dimensi kriminalitas modern yang mengeksploitasi kawasan konservasi. Dalam konteks saat ini, kawasan konservasi tidak hanya menghadapi ancaman ekologis, tetapi juga menjadi target penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal seperti narkotika, penebangan liar (illegal logging), hingga potensi ekstremisme berbasis teritorial.
Oleh sebab itu, diperlukan perubahan dan perbaikan dalam undang-undang tersebut yang secara eksplisit mengatur tentang keamanan kawasan konservasi, yang mencakup: kewenangan pengawasan multidisipliner antar-lembaga; pengamanan terhadap infiltrasi kriminal terorganisir; serta pengendalian akses data spasial dan pemetaan agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak ilegal.
Selain regulasi, pola pengawasan yang selama ini bersifat top-down dan birokratis perlu direformasi menjadi sistem yang lebih responsif dan berbasis kolaborasi lapangan. Untuk itu, pemerintah perlu membentuk Unit Gabungan Pengawasan Kawasan Konservasi di setiap taman nasional, yang terdiri dari: Balai Taman Nasional sebagai pengelola administratif kawasan; Polisi Kehutanan yang memiliki kompetensi fungsional; Satuan Reserse Narkoba (Satreskoba) Polres setempat; Intelijen wilayah untuk mendeteksi pola infiltrasi kejahatan; tokoh adat dan tokoh lokal sebagai penjaga nilai sosial; serta masyarakat sekitar dalam skema pengawasan partisipatif terstruktur.
ADVERTISEMENT
Salah satu hambatan utama dalam pengawasan kawasan konservasi adalah keterbatasan anggaran operasional. Fungsi pengawasan sering kali dikalahkan oleh prioritas anggaran lain yang lebih administratif atau rutin. Oleh karena itu, dalam revisi Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam, perlu dimasukkan nomenklatur baru dalam struktur APBN dan DIPA Kementerian Kehutanan.
Nomenklatur tersebut dapat berbentuk Program Penjagaan Kawasan dari Infiltrasi Kriminalitas—yakni program pengawasan yang didesain secara khusus untuk mencegah penggunaan kawasan konservasi oleh jaringan kriminal, baik dalam bentuk narkotika, perambahan, maupun aktivitas terlarang lainnya. Program ini harus didukung dengan alokasi anggaran berbasis mitigasi risiko, bukan hanya sekadar pemeliharaan infrastruktur atau operasional rutin.
Selain penguatan anggaran, peningkatan kesejahteraan dan profesionalitas aparatur pengelola kawasan konservasi Taman Nasional juga sangat krusial. Petugas lapangan harus mendapatkan pelatihan, perlindungan hukum, dan jaminan kesehatan kerja yang memadai agar mampu menjalankan fungsi pengawasan secara optimal dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Tidak kalah penting, keterlibatan masyarakat harus ditingkatkan dari sekadar partisipatif menjadi kolaboratif strategis. Pemerintah perlu mendorong model community-based surveillance, di mana masyarakat tidak hanya dilibatkan dalam pengawasan, tetapi diberdayakan sebagai penjaga hutan sipil yang dilindungi secara hukum dan terintegrasi dalam sistem pelaporan resmi. Pelatihan dan insentif bagi masyarakat lokal sangat penting agar tercipta sistem pengawasan akar rumput yang efektif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, reformasi konservasi tidak boleh sekadar reaktif terhadap pelanggaran, tetapi harus membangun sistem perlindungan yang berbasis pencegahan. Kita tidak cukup hanya menghukum pelanggar, tetapi harus memastikan sistem yang mampu mencegah kejahatan sebelum terjadi. Karena itu, transformasi hukum konservasi harus mengadopsi pendekatan manajemen risiko dan desain keamanan hukum yang proaktif untuk kepentingan publik.
ADVERTISEMENT