Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Meski bukan hasil resmi, metode hitung cepat (quick count) kini jadi rujukan masyarakat untuk mengetahui hasil pilpres. Itu karena metode tersebut jauh lebih cepat ketimbang menunggu hasil resmi.
ADVERTISEMENT
Ternyata, manfaat metode quick count bukan hanya soal mempersingkat waktu untuk mengetahui hasil pilpres. Ada momen di mana metode tersebut bisa membuktikan adanya indikasi kecurangan dari hasil resmi penyelenggara proses pemilihan.
Hal itu terjadi pada Pilpres Filipina pada 1986. Saat itu, ada dua pasangan yang bertarung, yakni Ferdinand Marcos sebagai petahana dan Corazon Aquino sebagai sang penantang. Saat itu, masyarakat Filipina menginginkan Marcos lengser dari posisi yang sudah didudukinya sejak 1965.
Selama masa pemerintahannya, isu korupsi, nepotisme, dan kolusi begitu menyeruak. Ia juga tak segan-segan melakukan tindakan ekstrim terhadap lawan-lawan politik atau pihak-pihak yang melayangkan kritik kepadanya.
Dalam kondisi itu, lembaga National Citizens Movement for Free Election (NAMFREL) memutuskan untuk melakukan proses pengawalan Pilpres 1986. Cara mengawal mereka adalah melakukan metode hitung cepat dan telah terverifikasi Komisi Pemilu Filipina (Comelec).
ADVERTISEMENT
Demi mendapatkan hasil yang konkret, NAMFREL sampai menyebar 500 ribu relawannya di berbagai TPS wilayah Filipina. Hasil yang diumumkan Comelec menyatakan Marcos dan Aquino sama kuat pada sehari setelah pemilihan, lalu Marcos dinyatakan menang dengan 10.807.197 juta suara (53,62 persen).
Data yang dihasilkan NAMFREL justru berbeda. Mereka mengambil hasil 70 persen dari total TPS di Filipina. Hasilnya quick NAMFREL menunjukkan Aquino menang dengan 7.502.601 suara, sedangkan Marcos mendapatkan 6.787.556 suara.
Hasil pilpres itu menimbulkan indikasi kecurangan yang dilakukan Marcos. Tak terima, tindakan kekerasan pun terjadi setelah itu. Banyak aktivis NAMFREL yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan, bahkan ada yang digantung di Ilocos.
Puncak kekacauan adalah aksi mogok yang dilakukan 35 teknisi COMELEC. Mereka mendapat perintah untuk memanipulasi hasil Pilpres 1986 demi keuntungan Marcos. Setelah itu, revolusi pun terjadi di Filipina hingga Aquino dilantik pada 25 Februari 1986.
ADVERTISEMENT